Salah satu rubrik majalah Penyebar Semangat yang menarik adalah "Alaming Lelembut" (Dunia Makhluk Halus). Di dalam rubrik ini dikisahkan tentang dunia makhluk halus. Walau rubrik ini sungguh aneh mengingat majalah Penyebar Semangat didirikan oleh dr Sutomo, tokoh pendiri Boedi Oetomo.
Majalah Penyebar Semangat, yang didirikan 2 September 1933, awalnya adalah majalah politik yang digunakan sebagai media perjuangan. Karena itu, berita politik jelas memperoleh tempat khusus. Namun, bagaimana menyiasati majalah itu agar tetap hidup? Nah, para pengelolanya menemukan resep, yakni membuat rubrik Alaming Lelembut.
Bukan hanya Penyebar Semangat yang memiliki rubrik dunia makhluk halus. Majalah bahasa Jawa lainnya, semisalDjaka Lodang (terbit sejak 1971 di Yogyakarta) memiliki rubrik "Jagating Lelembut" dan Jaya Baya (1945) mempunyai "Cerita Misteri".
Mengapa majalah-majalah itu mempunyai rubrik dunia makhluk halus?
Sunu Wasono, doktor dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dengan disertasinya: "Dongeng Lelembut di Rubrik Alaming Lelembut: Ciri, Makna, dan Fungsinya bagi Majalah Panjebar Semangat dan Masyarakat Jawa", punya analisis tersendiri. Kata Sunu, kalau tidak ada cerita hantu, majalah itu, Penyebar Semangat, tidak akan bertahan hingga sekarang. Itu berarti bahwa cerita-cerita hantu diminati masyarakat pembaca (Historia, 2017).
Dunia roh halus hidup di dalam masyarakat Jawa (juga masyarakat lain). Dahulu, di masa kecil, ketika masih tinggal di desa, sering ada pesan atau nasihat yang bernada menakutkan. "Kamu jangan dekat-dekat ke pohon yang gede dan rindang itu. Pohon itu menjadi rumahnya makhluk halus, genderuwo." Sebagai anak kecil, takut juga mendengar pesan itu.
Mitologi Jawa
Makhluk halus, antara lain genderuwo, hidup dalam mitologi Jawa. Hingga kini, mitos itu masih hidup.
Kata mitos berasal dari bahasa Yunani,mythos, dan bahasa Belanda, mite, yang bermakna cerita atau perkataan. Mitos merupakan cerita masa lampau atau tradisional yang mengisahkan kehidupan dewa-dewa dan peristiwa gaib yang dianggap benar-benar terjadi oleh orang yang percaya akan mitos tersebut.
Selain itu, mitos juga bisa diartikan sebagai cerita rakyat yang menceritakan kisah masa lampau, penafsiran mengenai alam semesta dan makhluk-makhluk fantastis di dalamnya.
Mitologi memainkan peranan integral dalam setiap peradaban di seluruh dunia. Lukisan-lukisan pra-sejarah di goa-goa, goresan-goresan di batu, makam, dan monumen-monumen, semua itu menjelaskan bahwa jauh sebelum manusia menuliskan mitos dalam kata-kata, mereka telah mengembangkan struktur kepercayaan berkaitan dengan definisi tentang mitos.
Menurut psikiatris Carl Gustav Jung (1875-1965) dari Swiss, mitos adalah suatu aspek penting dari psyche manusia yang perlu menemukan makna dan keteraturan dalam dunia yang sering menampilkan dirinya kacau dan tidak berarti.
Seorang peneliti mitologi dari Perancis, Roland Barthes (1972), dalam bukunya,Mithologies, mendefinisikan mitos sebagaimyth is associated with classical fables about spirits, gods, and heroes. Ringkasnya, mitos merupakan kisah klasik tentang roh, Tuhan/Dewa, dan pahlawan.
Javanolog HA Van Hien dalam penelitiannya, De Javaansche geestenwereld… (1896), menyebut 95 jenis makhluk halus di Jawa. Sementara itu, dari hasil penelitiannya di Mojokuto, Jawa Timur, pada 1950-an, antropolog Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priayi, Priayi dalam Masyarakat Jawa (1985) membagi makhluk halus di Jawa menjadi lima golongan besar: memedi, lelembut, tuyul, demit, dan danyang.
Dalam mitologi Jawa, terdapat beberapa nama makhluk mitos yang hingga saat ini diyakini keberadaannya, seperti genderuwo, tuyul, dan banaspasti.
Genderuwo adalah makhluk mitos di dalam kepercayaan masyarakat Jawa. Makhluk ini sejenis bangsa jin yang berwujud manusia mirip kera yang bertubuh besar dan kekar dengan warna kulit hitam kemerahan, tubuhnya ditutupi rambut lebat yang tumbuh di sekujur tubuh; seperti yang diarakkan sepanjang jalan dalam acara Saparan di Gamping, Yogyakarta.
Yang menarik, masyarakat meyakini bahwa genderuwo ini bersifat cabul, senang menggoda wanita terlebih lagi kepada istri-istri yang kesepian atau janda yang telah ditinggal suaminya.
Genderuwo juga memiliki kemampuan untuk mengubah diri menyamar menjadi manusia dalam menjalankan sifatnya yang iseng serta cabul. Maka, di desa sering ada orang mengatakan "anak itu anak genderuwo".
Dalam wujud apa pun, genderuwo sangat senang menggoda kaum perempuan, mulai dari menepuk, mencolek, mengelus, bahkan sampai berhubungan badan berkat kemampuannya menggendam (hipnotis). Biasanya genderuwo menyamar sebagai pasangan si wanita yang diincar.
Ada keyakinan dalam kepercayaan Jawa, apabila genderuwo akan menampakkan diri atau mengisyaratkan bahwa dia ada di dekat kita maka mulai tercium bau aneh, seperti singkong bakar atau kentang rebus. Namun, ada juga yang mengatakan akan tercium bau kambing.
Karena mitos tentang genderuwo ini hidup di tengah masyarakat, maka tidak aneh kalau cerita tentang genderuwo ini pernah diangkat ke layar lebar. Film Genderuwo(2007) menceritakan legenda hantu yang menurut cerita adalah hantu terseram, paling ganas, dan terbesar di dunia. Film ini digarap oleh KK Dheeraj dan dibintangi oleh Davina Veronica, Robby Shine, dan Indah Kirana.
Makhluk politik
Manusia, menurut Aristoteles (384-332 SM), adalah zoon politicon, untuk menyebut makhluk sosial. Kata zoonberarti hewan dan kata politicon yang berarti bermasyarakat. Secara harfiah,zoon politicon berarti hewan yang bermasyarakat.
Dengan memberikan sebutan seperti itu, Aristoteles ingin mengatakan bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain. Sebuah hal yang membedakan manusia dengan hewan.
Sementara filosof, pendidik, ekonom, dan juga wartawan Adam Smith (1723-1790) lebih memilih istilah homo homini socius, yang berarti manusia sahabat bagi manusia lainnya.
Friedrich Nietzsche (1844-1900) menyebut manusia itu sebagai makhluk komunitas. Ahli ekonomi politik dan sosiolog Jerman, Max Weber (1864-1920), dan ahli politik internasional Hans Joachim Morgenthau (1904-1980) lebih memilih istilah manusia itu adalah makhluk yang mencari kekuasaan.
Dengan kata lain, kekuasaan (politik) dalam arti luas, sebenarnya adalah sebagai ungkapan sifat dasar manusia. Harus diakui, manusia sejati adalah makhluk yang kompleks dan ambivalen, berada di tengah-tengah antara jalan akal budi dan tak berakal budi, antara baik dan jahat, campuran antara egoisme dan kebaikan.
Dengan ambivalensi itu, manusia dapat mempergunakan kekuasaan dengan baik atau buruk, baik dalam hal-hal kecil maupun dalam hal-hal besar, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kancah politik (Hans Kung: 2002)
Kekuasaan dengan demikian bermakna ganda. Di satu sisi, kekuasaan manusia dapat untuk tujuan kebaikan, dengan cara yang betul-betul yang manusiawi, baik untuk kemakmuran mereka yang berkepentingan, untuk mereka di sekitar kekuasaan tersebut, dan lingkungannya. Kekuasaan itu tegasnya adalah untuk melayani.
Namun, di sisi lain, kekuasaan manusia bisa juga untuk kejahatan. Melalui cara yang tidak manusiawi dan tidak mengenal perikemanusiaan, baik dengan sengaja untuk merugikan mereka yang berkepentingan maupun untuk mereka yang ada di sekitarnya dan lingkungannya. Kekuasaan yang tak berperikemanusiaan ini lebih sering muncul malah menjadi yang hal biasa.
Dalam perkembangannya dibutuhkan etika; etika politik, etika kekuasaan. Mengapa? Karena kehidupan manusia senantiasa terus diwarnai oleh pertarungan, oleh konflik, yakni pertarungan antara kekuatan baik dan kekuatan jahat; antara anak-anak terang dan anak-anak kegelapan. Pertarungan itu seperti tidak ada masa akhirnya; terus terjadi dengan alasan apa pun dan atas nama apa pun.
Etika kemudian memberikan dasar moral kepada politik. Tentu saja, politik bukan seperti yang dipahami para politikus, melainkan yang dimengerti oleh orang yang mencari makna dan nilai di dalam politik (Haryatmoko, 2014).
Meski kehidupan politik adalah salah satu ekspresi dari kehidupan sosial manusia, keterkaitannya dengan yang transenden tidak akan terlepas. Politik adalah pula pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa. Tujuan berpolitik adalah terciptanya bonum commune(kebaikan/kesejahteraan bersama), dansummum commune ( kebaikan umum). Dengan kata lain, politik merupakan tanda dan sarana untuk membebaskan rakyat dari kemelaratan hidup.
Politik pun adalah sebuah perayaan kemanusiaan. Meski selama ini, praktik politik tidak untuk merayakan kemanusiaan, tetapi untuk memenuhi dan memuaskan nafsu kekuasaan.
Jangan heran, kata Morgenthau, kerap terjadi perebutan kekuasaan. Untuk memperebutkan kekuasaan itu, dibutuhkan energi. Politik pun dapat memperoleh energinya dari usaha manusia yang paling bervariasi, dari agama, ekonomi, moral, dan antitesis lainnya.
Oleh karena itu, menghilangkan etika dari kehidupan politik berimplikasi pada praktik politik yang bersifat machiavellistis, yaitu politik sebagai alat untuk melakukan segala sesuatu, finis iustificat medium, baik atau buruk tanpa mengindahkan kesusilaan, norma, dan berlaku seakan bernuansa positivistik (bebas nilai).
Bahkan, tidak jarang politik terperosok ke lembah omong kosong, kebohongan, janji palsu, pendangkalan masalah, ujaran kebencian, intimidasi, selalu memberikan pandangan pesimistis, dan konsensus asal-asalan. Padahal sebenarnya, dasar politik menghendaki kejujuran, ketulusan, kebenaran, pendalaman masalah, persaudaraan, dan pencapaian konsensus lewat pengambilan keputusan bermartabat.
Inilah kiranya yang dimaksudkan dengan "Politik Genderuwo" atau "Genderuwo Politik." Keduanya, sifatnya adalah menggelisahkan, menakut-nakuti, dan meneror, serta lebih memilih finis iustificat medium. Padahal, semestinya tujuan yang baik tidak boleh dicapai dengan cara-cara yang tidak baik (finis non iustificat medium).
"Politik Genderuwo" atau "Genderuwo Politik" tidak menghadirkan ketenangan, ketenteraman, kerukunan, dan kedamaian masyarakat, tetapi sebaliknya, mendatangkan ketakutan, perasaan tertekan, dan stres yang mendalam.
Kehadiran genderuwo-genderuwo itu, yang hidup dalam mitos di tengah masyarakat, menguasai hati dan pikiran mereka. Para genderuwo dengan politics of fear-nya menghadirkan rasa takut.
Ketakutan mendominasi setiap gerakan masyarakat banyak; meliputi kehidupan dan setiap aspek dari keberadaannya. Apabila rasa ketakutan dimanipulasi dan diintensifkan oleh retorika media dan politisi, maka akan menghancurkan kemampuan orang untuk berkomunikasi secara efisien dengan orang lain atau dengan diri kita sendiri.
Ketakutan adalah musuh akal yang paling kuat. Akal terkadang bisa menghilangkan rasa takut, tetapi rasa takut sering kali menutup akal budi. Seperti yang ditulis Edmund Burke di Inggris 20 tahun sebelum Revolusi Amerika, "Tidak ada nafsu yang secara efektif merampas pikiran dari semua kekuatan bertindak dan bernalar selain rasa takut" (Al Gore, 2007).
Memang, ketakutan dan kecemasan selalu menjadi bagian dari kehidupan dan akan selalu ada. Rasa takut ada di mana-mana dan universal di setiap masyarakat manusia. Itu adalah bagian normal dari kondisi manusia dan itu selalu menjadi musuh akal.
Filsuf Romawi dan guru retorika Lactantius (240-320) menulis, Ubi timor adest, sapientia adesse nequit, di mana rasa takut hadir, kebijaksanaan tidak bisa hadir. Padahal, unum bonum verbum tres hiemale menses calefacere potest, sepatah kata yang manis dapat membuat hangat tiga bulan musim dingin.
Sayangnya, di negeri ini tidak ada musim dingin sehingga yang muncul adalah politik genderuwo dan genderuwo-genderuwo politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar