Kasus kebohongan publik yang kemudian menjadi kebohongan politik itu sangat berpotensi membakar masyarakat, terutama warga kebanyakan. Apalagi, isu awalnya adalah soal "digebuki", suatu hal yang sering diekspos sebagai cara rakyat kecil mengungkap emosi ketidakpuasan dan ketidakberdayaan.

Elite yang dengan gampang mengangkat isu ini tanpa verifikasi sangat tidak mendidik dan jelas-jelas membodohi masyarakat. Hal ini hendaknya dipahami semua pihak. Namun, mungkin partai politik dan pendukungnya tidak bisa lagi diajak untuk menahan diri.

Kenyataannya, sekarang banyak pejabat, ketua lembaga, calon pejabat, pendukung tokoh, yang asal ngomong dan tak ada bobotnya. Dampaknya adalah pelbagai keresahan dan perseteruan dalam masyarakat, berawal dari komentar yang disebarluaskan oleh media.

Oleh karena itu, saya mengimbau kalangan pers untuk menjadi filter penyaring pertama setiap informasi sebelum diberitakan. Tidak setiap ocehan narasumber penting bagi orang banyak.

Tidak semua informasi harus diberitakan. Ketua Dewan Pers dalam diskusi peluncuran buku Pers Ideal untuk Masa Demokrasi, Senin (21/10/2018), menyebutkan bahwa kini banyak website bodong dengan nama-nama mirip media besar agar pembaca percaya.

Kita paham dalam jurnalistik wartawan harus tepat mengutip narasumber atau melaporkan peristiwa. Namun, tidak semua informasi perlu dipublikasikan.

Maka, menghadapi politisi nyinyir, media arus utama—cetak, televisi, radio, daring—perlu menimbang manfaat dan mudaratnya untuk persatuan bangsa.
Ingatlah "tanggung jawab wartawan terhadap masyarakat melebihi tanggung jawab lain bahkan terhadap majikan ataupun pejabat negara" (Piagam Muenchen, 1971).

Kita ingin bangsa ini juga dididik untuk bisa memilah informasi yang layak dipercaya sehingga proses demokrasi juga bisa berjalan dengan jujur dan adil.

Renville Almatsier, Jl KH Dewantara, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten

 

Terima Kasih

Ungkapan di atas saya sampaikan kepada pengelola surat pembaca harian Kompas, yang berkenan memuat kisah saya ketika menjadi murid SMP Kanisius Salatiga 1953–1955 dan tinggal di asrama Tjoeneng.

Senang dan haru membaca surat saya diKompas, 7 Agustus 2018. Apalagi, ada tiga teman seasrama menghubungi saya.

Karena penggalan kisah tersebut sudah lewat 60 tahun lalu, saya yakin sudah banyak yang menghadap Yang Kuasa.

Sekali lagi, dari lubuk hati yang dalam, saya ucapkan syukur kepada keluargaKompas yang berkenan menyediakan kolomnya untuk saya.

FS Hartono, Purwosari RT 004 RW 059, Sinduadi, Sleman, Yogyakarta

 

Koperasi Ingkar Janji

Kami sekeluarga anggota Koperasi Jasa Hukum (KJH), kantor pusat di Bandung, No 11, 613/BH/KWK10/X/1995.

Koperasi ini banyak kegiatan usahanya, termasuk simpan pinjam dan investasi di bidang pertanian, seperti investasi buah kesemek yang berjangka waktu tiga tahun.

Saat ini ada beberapa Surat Perjanjian Penyertaan Modal Budi Daya Kesemek yang sudah jatuh tempo, tetapi belum ada pembayaran pelunasan dari koperasi sesuai perjanjian.

Kantor cabang di Pontianak, Kalimantan Barat, sudah lama kosong. Surat ke kantor pusat tidak dibalas. Telepon tidak bisa dihubungi dan radio tidak mengudara lagi. Ke mana kami mengadu?