Sebanyak 535 anggota Kongres AS marah luar biasa saat tahu pimpinan perusahaan asuransi American International Group Inc bermewah-mewah sehari setelah menerima 85 miliar dollar AS dari dana talangan yang sudah disetujui Kongres.

Dana tersebut diberikan untuk menyelamatkan AIG dari salah urus para bos perusahaan asuransi itu. Bos AIG dilaporkan mengeluarkan dana 440.000 dollar AS untuk berkumpul di St Regis, tempat peristirahatan di Los Angeles, California. Sembari menikmati spa, berpesta dan menjajal lapangan golf. AIG mulai kelimpungan seiring dengan bangkrutnya badan investasi Lehman Brothers.

Agar situasi krisis di AS yang dipicu kredit macet itu tak kian menyebar, dana pemerintah yang intinya uang rakyat yang dikumpulkan lewat pajak sebesar 85 miliar dollar AS dipinjamkan kepada AIG (Kompas, 10/10/2008) Asuransi Jiwasraya (Persero) melayangkan surat bertanggal 10 Oktober 2018 ke sejumlah mitra bancassurance yang menyatakan  keterlambatan pembayaran polis asuransi JS Proteksi Plan yang jatuh tempo. Problem kesulitan perusahaan asuransi pelat merah itu nilainya mencapai Rp 802 miliar.

Penurunan signifikan risk based capital (RBC) dari posisi 200,15 persen pada 2016 menjadi minimalis 123,16 persen pada akhir 2017 mengindikasikan adanya masalah solvabilitas.

Disebutkan dalam laporan keuangan yang belum diaudit (unaudited) Jiwasraya nonkonsolidasi 2017 mencatat laba bersih Rp 2,4 triliun. Manajemen baru meminta mitra lokal PricewaterhouseCoopers (PwC) mengaudit. Hasilnya laba bersih direvisi sangat signifikan. Laba bersih berdasarkan laporan audit mitra PwC berubah menjadi Rp 360 miliar. Hasil audit PwC menemukan kekurangan perhitungan cadangan yang dibuat oleh aktuaris internal hingga senilai Rp 7,6 triliun.

OJK mengatakan, kesulitan likuiditas yang dialami Jiwasraya disebabkan perusahaan tidak bisa melakukan cut loss terhadap sejumlah portofolio investasi saham untuk membayar polis yang jatuh tempo. Perseroan juga kesulitan mendapatkan tambahan modal karena statusnya sebagai BUMN.

Dalam UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan, negara tidak lagi menyediakan dana talangan untuk menyelamatkan institusi keuangan, melainkan menerapkan semangat penyehatan perusahaan dari dalam (bail in).

Ketika perbankan atau asuransi berdampak sistemik, maka dapat dicegah dan ditangani melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Kondisi ini dikategorikan tak normal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 45 Ayat (2) UU OJK.

Dalam  kondisi tidak normal yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan, untuk pencegahan dan penanganan krisis, maka menteri keuangan, gubernur Bank Indonesia, ketua dewan komisioner OJK, dan/atau ketua dewan komisioner Lembaga Penjamin Simpanan masing-masing dapat mengajukan kepada FKSSK untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah untuk pencegahan atau penanganan krisis.

Perlu disadari, produk asuransi dalam saluran bancassurance bukan produk perbankan dan tidak dianggap sebagai simpanan dari bank, tak dijamin oleh bank, dan bukan bagian dari program penjaminan yang dijamin LPS berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan paling banyak Rp 2 miliar untuk setiap nasabah pada satu bank.

Pengawasan dan peraturan OJK

Kasus tunda bayar Jiwasraya menimbulkan pertanyaan soal  pengawasan OJK sejak gagalnya restrukturisasi AJB Bumiputera yang tak kunjung membuahkan penyelesaian hingga kini. OJK yang overregulated  kerap tak menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri. Sebut beberapa  Peraturan OJK (POJK), antara lain No 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan; POJK No 23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi; POJK No 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian; POJK No 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; POJK Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Nonbank; dan POJK Nomor 55/POJK.05/2017 tentang Laporan Berkala Perusahaan Perasuransian Dengan berbagai kewenangan OJK tersebut dan instrumen deteksi dini, seperti RBC, kondisi mismatch perusahaan asuransi seharusnya bisa dicegah.

Lemahnya pengawasan perasuransian OJK terhadap perasuransian tampak pada lemahnya tata kelola dan kepastian hukum pada usaha perasuransian. Soal pemailitan asuransi yang tak melindungi kepentingan  hak pemegang polis, pembatasan kegiatan usaha yang terlalu lama sehingga mengganggu reputasi perusahaan, tata kelola dan kepatuhan buruk, ketiadaan kepastian hukum (lembaga penjamin polis,  aturan mutual, asuransi wajib  amanat UU No 40/2014 belum terwujud).

Pelanggaran mengenai batas waktu laporan bulanan, batas waktu pencapaian ekuitas minimum pialang sampai Juni 2018, pelanggaran ketidakcukupan RBC di bawah minimal 120 persen. Kriminalisasi asuransi oleh nasabah atas nama UU perlindungan konsumen.

OJK menerbitkan POJK No 17/POJK.05/2017 tentang Prosedur dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Perasuransian dan Pemblokiran Kekayaan Perusahaan Asuransi, Asuransi Syariah, Reasuransi dan Reasuransi Syariah. Bahwa OJK berwenang mengenakan sanksi administratif kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU 40/2014 tentang perasuransian dan peraturan pelaksanaannya.

Sanksi administratif berupa peringatan tertulis; pembatasan kegiatan usaha, sebagian atau seluruhnya; larangan memasarkan produk asuransi; pencabutan izin usaha; pembatalan pernyataan pendaftaran pialang asuransi/reasuransi, agen asuransi; pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi atau asosiasi; denda administratif; dan/atau larangan jadi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi. Sanksi administratif ditetapkan dan disampaikan OJK secara tertulis  (Pasal 2).

Sanksi administratif dikenakan kepada asuransi secara bertahap diawali dengan sanksi administratif berupa peringatan tertulis. Pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dilakukan paling banyak tiga  kali atas setiap pelanggaran yaitu sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama, peringatan tertulis kedua, peringatan tertulis ketiga (terakhir).

Peringatan tertulis pertama dan kedua dapat dikenakan sebagai peringatan tertulis terakhir jika (1) asuransi pernah melakukan pelanggaran yang sama dalam satu tahun terakhir sebelum tanggal pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis; (2) sedang dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha karena pelanggaran lain; (3) berdasarkan pertimbangan OJK, sanksi peringatan tertulis berikutnya tak diperlukan.

Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif bisa lebih dari 30  hari jika OJK menilai jenis pelanggaran yang dilakukan tak mungkin dapat diatasi dalam jangka tersebut menjadi paling lama enam bulan. Selain itu, juga dalam hal asuransi dikenai sanksi administratif karena tak terpenuhinya ketentuan minimum tingkat solvabilitas dan/atau ekuitas minimum; serta dalam hal asuransi tak dapat mengatasi pelanggaran yang merupakan penyebab terbitnya sanksi peringatan tertulis terakhir hingga jangka waktu yang ditentukan.

OJK dapat mengenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dalam hal kondisi kesehatan keuangan asuransi memburuk dan/atau dinilai membahayakan kepentingan pemegang polis. Asuransi yang sedang dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha tetap dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis jika melakukan pelanggaran baru.

Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha paling lama satu tahun untuk pembatasan kegiatan usaha sebagian; atau paling lama tiga  bulan untuk pembatasan kegiatan usaha keseluruhan (Pasal 4). Asuransi dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha untuk seluruh kegiatan usaha jika tidak dapat mengatasi pelanggaran yang merupakan penyebab terbitnya sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha untuk sebagian kegiatan usaha.

Pencabutan izin

Asuransi  dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha jika tak dapat mengatasi pelanggaran yang merupakan penyebab terbitnya sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha untuk seluruh kegiatan usaha. OJK dapat mengenakan sanksi administratif pencabutan izin usaha jika kondisi keuangan memburuk drastis; pemegang saham tak kooperatif; direksi, dewan komisaris tak memiliki jalan keluar untuk mengatasi permasalahan yang membahayakan kepentingan pemegang polis dan/atau kondisi lain yang menurut penilaian OJK dapat membahayakan kepentingan pemegang polis.

Asuransi dapat dikenai sanksi administratif berupa larangan memasarkan produk asuransi. Jangka waktu sanksi paling lama satu tahun. OJK mengumumkan kepada masyarakat mengenai pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha  dan larangan untuk memasarkan produk asuransi melalui laman resmi OJK dan/atau media cetak berskala nasional (Pasal 6).

Beredar kabar sejumlah asuransi saat ini sedang menghadapi masalah yang sama. Sejauh ini kita hanya menemukan pencabutan izin usaha asuransi dan tak menemukan publikasi OJK tentang penetapan sanksi administratif berupa larangan memasarkan produk tertentu. Pencabutan izin di antaranya Jiwa Nusantara (2013), Bumi Asih Jaya (2013), Indo Surya (2013), MAA (2015), Asuransi Raya (2017). Terakhir, OJK mencabut izin usaha PT Gelora Karya Jasatama, pialang asuransi, lewat Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP-58/NB.1/2018 tanggal 28 September 2018.

Kita dapat membandingkan  dengan apa yang dilakukan regulator asuransi terhadap AJB Bumiputera pada era Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK). Dalam kurun 2009-2010 AJB Bumiputera dapat 11 surat peringatan (SP) Bapepam LK: peringatan pengelolaan investasi 2 SP, kontrak pengelolaan dana 2 SP, perimbangan kekayaan dan kewajiban 2 SP, penyampaian laporan perhitungan solvabilitas dan operasional 1 SP, penyampaian laporan auditor independen 2009 1 SP dan sanksi denda 1 SP.

Selain itu, izin pembukaan kantor cabang tanpa tenaga ahli 1 SP, penempatan investasi serta perimbangan kekayaan dan kewajiban 1 SP level tiga.

Dengan gambaran di atas, maka, pertama, kita perlu meningkatkan pengawasan terhadap OJK. Saat ini belum ada lembaga pengawasan yang terpisah dari struktur organisasi OJK seperti halnya Badan Supervisi BI yang bertanggung jawab kepada DPR. Pengawasan satu-satunya terhadap OJK saat ini hanya pengawasan jarak jauh oleh DPR dan bersifat insidentil.

Kedua, memisahkan pencatatan pendapatan premi yang murni proteksi dengan produk asuransi  yang dikaitkan dengan investasi. Ketentuan dalam International Financial Reporting Standards (IFRS) yang dicapai di forum G-20 di Washington DC tahun 2008 mengharuskan laporan keuangan perusahaan asuransi memisahkan transaksi premi proteksi dan premi investasi. Ketiga, meningkatkan keterbukaan informasi dan akuntabilitas asuransi yang dapat diakses semua pemangku kepentingan tanpa kecuali.