Di dalam dinamika seni tari Indonesia, kanon-kanon tari tradisi yang didaulat sebagai bentuk klasik dan kerakyatan berbagi ruang hidup dengan kanon-kanon modernis yang diunduh dari berbagai pengalaman pertukaran budaya.

Catatan-catatan geliat tari Indonesia tahun 1950-an hingga 1960-an menyimpan kekayaan pengetahuan mengenai sejumlah kegiatan pertukaran ke luar negeri, dan sebaliknya, kedatangan para seniman tari dari luar negeri ke Indonesia. Cita-cita Soekarno mengenai identitas nasional tak hanya berakar pada identitas kesukuan, tetapi juga sesuatu yang dibentuk melalui interaksi antar-daerah dan antar-bangsa.

Salah satu manifestasi strategi kebudayaan Soekarno adalah dengan mengirimkan rombongan misi kesenian ke negara-negara Asia, Eropa, dan Amerika. Selain memamerkan ragam seni tari Indonesia, misi-misi kesenian tersebut juga memberikan ruang bagi seniman Indonesia untuk mempelajari estetika seni tradisi dan modern negara lain.

Beragam bentuk pertukaran dan pengalaman mengenyam praktik dan konteks kultural lain tersebut membawa pengaruh ke dalam praktik penciptaan karya, cara membangun komunitas, metode pengajaran seni, dan infrastruktur seni di Indonesia.

Pada era Soekarno, sebagian besar perhelatan seni budaya bernuansa kosmopolitan diinisiasi oleh negara sebagai bagian dari politik kebudayaan. Namun, pada era setelahnya, inisiatif kegiatan kesenian yang memiliki kelekatan dengan wacana internasionalisme mulai muncul dari lembaga seni non-pemerintah dan individu. Indonesian Dance Festival (IDF) merupakan salah satu kegiatan kesenian yang diprakarsai oleh individu di Indonesia.

Mengulik beberapa tulisan di dalam katalog IDF, kita akan dapat meraba nuansa internasionalisme di dalam strategi kuratorialnya. Sal Murgianto, salah satu pendiri IDF, di dalam katalog "3rd Indonesian Dance Festival '94" menulis bahwa kerja sama antar-bangsa di bidang tari telah mulai merebak.

Sal memaparkan, IDF yang kedua (1993) memperluas jangkauan kegiatannya dengan mengundang peserta dari dalam dan luar negeri. Tahun berikutnya, Indonesian Dance Festival 1994 menjadi tuan rumah proyek tari Triangle Art Program (TAP) yang untuk pertama kalinya diselenggarakan atas kerja sama antara Asian Cultural Council (New York dan Tokyo), Jacob's Pillow Dance Festival (Lee, Mass, Amerika Serikat), dan Yayasan Kesenian Jakarta bersama Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki dan Institut Kesenian Jakarta.

Strategi

Strategi kuratorial IDF untuk menjembatani pertukaran praktik tari dan pengalaman kultural lintas negara tidak hanya berhenti dengan cara menyandingkan karya-karya tari dari Indonesia dan mancanegara dan atau menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga seni budaya internasional.

Tahun 2006, IDF mengundang Tang Fu Kuen, kurator seni pertunjukan yang telah memiliki pengalaman panjang di skena seni pertunjukan internasional, untuk menjadi bagian dari Artistic Board yang memilih karya seniman dari banyak negara. Dua tahun kemudian, Daisuke Muto, kritikus tari dari Jepang, diundang untuk bergabung di dalam Artistic Board.

Kehadiran Tan Fu Kuen dan Daisuke Moto di dalam praktik kerja kuratorial IDF menopang upaya pemetaan perkembangan praktik dan wacana tari di skema global sekaligus upaya penyusunan ruang-ruang dialog baik di dalam maupun di luar panggung pertunjukan.

Daisuke Moto pun turut mengelaborasi pembacaannya atas posisi IDF di dalam dinamika global. Di dalam katalog IDF 2010 "Powering the Future", ia menyebut bahwa ketika IDF pertama dirintis tidak lama setelah jatuhnya Uni Soviet, dunia sedang mengalami globalisasi yang bergerak cepat mengikuti disintegrasi dari kekuatan dunia Cold-War.

Meleburnya ekonomi dunia telah merevitalisasi mobilitas masyarakat dan barang, yang didukung dengan perkembangan internet dan teknologi informasi. Selanjutnya, ia juga mengulas bahwa dunia masa kini telah didesentralisasi, setiap orang terekspos pada pluralitas dan keanekaragaman masyarakat dan budaya, tak terkecuali tari.

Kini kita bertukar informasi melalui e-mail dan memberi tahu teman-teman untuk mengecek video di Youtube. Kita bahkan dapat mengundang perkumpulan tari dari luar negeri. Daisuke menandai, kita kini sudah menganggap biasa hal-hal seperti itu dan semakin sulit bagi kita untuk mengingat bahwa tidak ada satu orang pun yang menyangka kemajuan drastis ini sebelum 1992.

IDF sebagai festival yang beroperasi di Indonesia dan melekatkan dirinya pada wacana internasionalisme tak pelak membawanya ke dalam wilayah arsir antara praktik tari dari konteks lokal dan global. Helly Minarti, peneliti dan kurator tari dari Indonesia, yang bergabung dengan IDF sebagai kurator pada tahun 2014, mencatat perihal tegangan praktik kuratorial ketika harus berhadapan dengan praktik dan karya tari dari beragam konteks kultural.

Helly berpendapat di dalam praktik kuratorialnya di IDF, Fu Kuen dan Daisuke sering berhadapan dengan kontras antara pendekatan mereka dan konten karya lokal yang tidak memiliki struktur internasional dalam menyediakan jembatan menuju pemahaman konteks penciptaan karya-karya tersebut.

Diskusi intensif

Melalui proses diskusi yang intensif, tahun 2014, IDF menyusun strategi kuratorial baru yang diwujudkan di dalam tajuk "EXPAND". Perspektif kuratorial EXPAND tampak menggeser fokus ke perkembangan tari di dalam negeri, sembari terus memaknani ulang keterhubungan praktik tari Indonesia dengan dinamika tari global.

Apabila kecenderungan IDF pada periode-periode yang lalu adalah menyajikan karya koreografi yang sudah ada, kerangka kerja kuratorial EXPAND mengambil peran sebagai katalisator perkembangan praktik dan wacana koreografi kritis. Khazanah kolaborasi lintas disiplin dan budaya dilakukan melalui dua komisi.

Yang pertama adalah memasangkan koreografer Retno Maruti dengan perupa Nindityo Adipurnomo untuk menggarap ulang drama tari Roro Mendut karya Retno Maruti yang dipentaskan pertama kali tahun 1977.

Kolaborasi kedua adalah koreografer Arco Renz dari Brussel dan koreografer Ali Sukri yang melibatkan para penari muda dari ISI Padang Panjang. Karya yang dihasilkan, Kris Is, adalah ko-produksi internasional pertama IDF, yang dimaknai sebagai sebuah lompatan besar di waktu yang tepat sebagai upaya secara organik memperpanjang wacana praktik tari Indonesia dalam kaitannya dengan tari global. Di antara program-program EXPAND lainnya, program "Spesial: Ibu-Anak" digelar untuk menyoroti fenomena budaya lokal terkait dengan hubungan maternal di kota kosmopolitan Jakarta.

Menyadari pentingnya praktik kuratorial, pada tahun 2015, di luar tahun pelaksanaan festival, IDF menyelenggarakan lokakarya kuratorial tari bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada.

Alih-alih terburu berambisi melahirkan kurator-kurator baru, lokakarya tersebut memilih untuk menjadi ruang pertukaran dan diskusi mengenai beragam pengalaman kerja seni pertunjukan yang berarsiran dengan praktik kuratorial.

Tahun berikutnya, IDF meluncurkan subdivisi program Akademi IDF dengan kerangka kerja kuratorial yang menekankan pada penciptaan ruang-ruang belajar dan bertukar bagi praktisi tari muda Indonesia.

Rangkaian lokakarya mulai dari kepenarian/koreografi, riset artistik, penulisan jurnalisme/kritik tari diselenggarakan secara simultan hingga saat ini.

Kerangka kuratorial "Demo/Cratic Body: How Soon is Now?" yang disusun secara kolaboratif oleh kurator IDF 2018, Helly Minarti, Arco Renz, didukung oleh tiga kurator muda turut memberikan perhatian khusus pada ruang belajar dan eksperimen alternatif.

Sejak tahun lalu, platform koreografi Kampana digabungkan dengan showcase sebagai formula penghubung antara Akademi IDF dan festival. Enam karya dari seniman partisipan Kampana yang telah dedah melalui serangkaian lokakarya dan pendampingan selama lebih kurang satu tahun akan dipresentasikan di IDF pada tanggal 7-8 November 2018.

Dengan demikian, kita akan kembali menyaksikan tarik ulur dan manuver strategi kuratorial IDF yang tak henti-hentinya bergerak di dalam arsiran konteks lokal dan global.