KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA

Kegiatan deklarasi damai oleh keluarga besar Theys Eluay di Sentani, Kabupaten Jayapura, Sabtu (10/11/2018). Dalam kegiatan ini pihak keluarga memaafkan para pelaku dalam aksi pembunuhan Theys selaku Ketua Presidium Papua pada 10 November 2001.

Tanah Papua pada medio November 2018 mengembuskan kedamaian. Deklarasi damai yang disampaikan  Yanto Eluay, mewakili keluarga besar mendiang Theys Hiyo Eluay, di Sentani, Jayapura, Papua, Sabtu (10/11/2018), membawa kesejukan. Yanto melalui deklarasi itu antara lain memaafkan pelaku pembunuhan Theys, Ketua Presidium Dewan Papua, 17 tahun lalu.

Theys ditemukan tak bernyawa lagi dalam mobil yang terperosok ke dalam jurang di daerah Koya, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, 10 November 2001. Ia tewas dibunuh dalam perjalanan seusai menghadiri peringatan Hari Pahlawan yang diselenggarakan Satgas Tribuana Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Hamadi, Kota Jayapura. Terkait kasus pembunuhan itu, sejumlah anggota Kopassus dijatuhi hukuman (Kompas, 11/11/2018).

Melalui berita yang sama,  Pelaksana Tugas Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua, Frits Ramandey menyambut positif deklarasi damai yang memaafkan pelaku pembunuhan Theys.  Frits juga menyertakan dua harapan menantang. Pertama, ia meminta para pelaku pembunuhan Theys untuk juga menyampaikan permohonan maaf. Harapan lainnya, supaya dituntaskan pula kasus penghilangan paksa Airstoteles Masoka, sopir Theys.

Sikap keluarga memaafkan para pembunuh Theys patut diapresiasi setingi-tingginya. Alasannya jelas, tidak hanya memaklumi kesalahan para pelaku dalam kasus pembunuhan itu. Sikap memaafkan itu sejatinya sekaligus mengenyahkan rasa benci bahkan dendam keluarga besar Theys atas kesalahan yang dilakukan orang lain (para pembunuh Theys).

DOK.KOMPAS/EDDY HASBY

Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua.

Seiring sikap keluarga Theys ini, kita perlu juga mengutip Limas Sutanto, psikiater  yang juga konsultan psikoterapi itu. Ia  mengatakan, memelihara kebencian atau rasa dendam berpotensi meremukkan, menghancurkan, dan bahkan memusnahkan (Kompas, 25/11/2016). Dale Carnegie (Petunjuk Hidup Tenteram dan Bahagia, Gramedia Pustaka Utama, 2005), mengatakan, memaafkan itu membebaskan diri dari rasa benci atau dendam.

Memelihara rasa benci atau dendam apalagi diikuti hasrat membalas dendam berdampak tidak hanya akan menjauhkan kedamaian atau suasana harmoni, tetapi juga membuat diri anda menjadi lemah, payah, gelisah dan berpengaruh pada naiknya tekanan darah.

Fredy Sebho SVD (Monologion, 2016) secara menarik menguraikan, dendam itu sejenis benang jiwa yang dihasilkan dari endapan kata-kata dan sikap buruk orang lain. Semakin jiwa terbenani, semakin tinggi pula keinginan untuk membalas dendam. Dan, ketika semuanya dibongkar, muncul rasa lega, puas, bahkan nikmat. Namun aksi balas dendam sebenarnya berefek ganda. Di sisi lain juga justru berpotensi menghasilkan tragedi baru. Karena itu, perasaan balas dendam semestinya dilumpuhkan dengan tindakan pemaafan.

Menyarikan berbagai sumber tersebut, memaafkan itu bermakna ganda. Selain mengsongkan diri dari rasa benci dan dendam, juga membebaskan pelaku dari perilaku buruknya sekalian mengajaknya memulai hidup tanpa dendam.

Sebaliknya, meminta maaf itu bermakna memohon kesediaan untuk membebaskan diri dari belenggu ketertekanan. Dan, ketika uluran tangan meminta dan member maaf terjadi – mengutip Fredy Sebho – maka yang terjadi ketika itu sesungguhnya sedang mengulurkan cinta. Maaf adalah cara luhur memulai kedamaian atau suasana harmoni dengan menguburkan rasa benci atau dendam.

Belum sempurna

Keluarga Theys yang diwakili Yanto Eluay sudah mencontohi cara luhur, yakni memaafkan oknum-oknum pembunuh Theys. Pesan di balik tindakan itu adalah contoh sikap memulai langkah hidup baru dalam suasana damai  dan harmoni tanpa rasa benci atau dendam. Namun harapan melalui pesan itu tentu terus saja menggantung kalau hanya bertepuk sebelah tangan.

Berdasarkan hasil penyidikan pihak kepolisian, pembunuhan Theys dilakukan sejumlah oknum anggota Kopassus. Mereka telah diajukan ke Mahkamah Militer dan sudah pula dijatuhi hukuman. Termasuk di dalamnya Komadan Satgas Tribuana X Kopassus di Jayaputra, saat itu, Letkol Hartomo.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Empat dari tujuh anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang diadili di Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) III Surabaya, Senin (21/4/2018), divonis bersalah dan dipidana penjara yang beragam dalam kasus terbunuhnya Ketua Pre – sidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay. Tujuh anggota Kopassus dihukum beragam antara 2-3,5 tahun penjara dan empat di antara mereka dipecat dari dinas militer.

Karena itu – seiring dan mendukung harapan Pelaksana Tugas Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua, Frits Ramandey –  meminta sejumlah okum anggota Kopassus pelaku pembunuhan Theys supaya juga menyampaikan permohonan maaf. Maknanya, selain mengakui kesalahan, juga bagian dari upaya pembebasan diri dari belenggu ketertekanan.

Faktanya, keluarga Theys sudah memaafkan, yang juga berarti sudah membebaskan oknum-oknum pelaku pembunuhan, dari belenggu keterkekanan. Namun, pemaafan dari keluarga Theys akan lebih sempurna jika para oknum pelaku pembunuhan juga menyampaikan permohonan maaf.

Masyarakat bangsa Indonesia kini menunggu perwakilan keluarga mendiang Theys dan para oknum pelaku pembunuhan sama sama mengulurkan tangan pertanda saling memaafkan. Seperti kata Fredy Sebho, ketika uluran tangan itu terjadi maka peristiwanya langsung ditangkap sebagai uluran cinta. Saling memaafkan dalam selimut cinta, sungguh merukapan langkah luhur menguburkan rasa dendam menuju suasana harmoni.***

(Frans Sarong,  Wartawan Kompas 1985 – 2016, kini sebagai Wakil Ketua DPD Golkar Nusa Tenggara Timur, dan menetap di Kupang)


Kompas, 18 November 2018

#kompascetak