"Len jani di Bali,liu anak Jawa nyambret turis." Artinya, beda kini di Bali, banyak orang Jawa menjambret turis. Kalimat seperti ini tidak enak didengar, tetapi kerap menjadi bagian dari realitas sosial. Orang lain—dari sudut etnis, agama, ras, dan lainnya—"dilainkan" dan dicurigai menyimpan sifat negatif ini atau itu.

Bagaimana menghadapi fenomena ini? Atau lebih tepat: bagaimana memikirkannya agar menanggulanginya dengan lebih jitu?

Merenungkan hal ini, saya teringat pernyataan seorang sosiolog muda dari Jawa, yang membicarakan soal dinamika sosial di Bali. Kata dia, "Apabila orang Jawa datang untuk bermukim tetap di dekat rumah orang Bali, seorang saja: no problem. Dua atau tiga orang pun, no problem juga. Namun, kalau sepuluh, orang Bali itu akan merasa 'terasing'. Dia merasa kehilangan cultural capital dan akan pindah."

Artinya, tempat itu menjadi tempat para pendatang saja. Jadi, mengacu secara sederhana pada konsep cultural capital dari Bourdieu, sosiolog muda kita—yang enggan disebut namanya—mengungkap wajah realitas sosial Indonesia: bisa jadi kaum berpendidikan tinggi Indonesia mampu bergaul secara lintas etnis, lintas agama, dan bahkan lintas bangsa, tetapi kebanyakan rakyat memilih menghadapi dinamika sosial dengan merapatkan barisan di seputar komunitas etno-religius asal muasal, yaitu etnis dan kelompok aslinya.

Kenyataan ini tidak menimbulkan masalah selama evolusi ekonomi masyarakat multietnis berjalan lamban dan arus migrasi kecil. Komunitas-komunitas hidup berdekatan membangun pola komunikasi dan kekuasaan tertentu yang dibakukan dalam adat, misalnya sikap terhadap ibadah kelompok lain, sikap terhadap wanita, pesta bersama, dan lain-lain.

Alhasil, keseimbangan antarkelompok etnisreligius dicapai dan umumnya berhasil ajek, seperti di Toraja (atau dulu di Ambon).

Namun, apabila terdapat akselerasi sejarah, seperti sekarang ini (berkat telepon genggam, globalisasi, dan urbanisasi), keseimbangan di atas mudah goyah. Sebabnya sederhana, setiap kelompok itu berbeda kultur, dengan warisan historis yang berbeda di dalam hal teknik, pengetahuan umum, keterampilan, serta modal sosial. Jadi, aksesnya pada sumber kekuasaan politik dan ekonomi tidak sama.

Ada kelompok yang mewariskan sikap dan keterampilan dasar yang mempermudah adaptasi pada modernitas—dus lebih cepat mendapat keuntungan darinya. Sebaliknya, ada yang gagal maju, lalu tersisihkan. Misalnya, orang Tionghoa dan Minang cenderung lebih gesit memanfaatkan peluang ekonomi modern dan lebih "maju" tinimbang orang Dayak pedalaman atau bahkan petani Jawa, karena disokong baik oleh jaringan lintas pulau/negara maupun oleh modal tradisi dan pengetahuan yang lebih terbuka.

Hal-hal yang bersifat kultural-historis ini sering menimbulkan persaingan dan bahkan menyulut ketegangan. Ketika hal itu terjadi dan adat tidak lagi mempan adalah tugas pemerintah menghindarkan hal terakhir ini dengan kebijakan korektif yang tepat sasaran. Namun, tidak semudah itu. Tak semua kekisruhan bisa diurai dengan gampang.

Di dalam karut-marutnya perubahan sosial ini justru kerap terjadi para politikus bersikap buta terhadap tragedi-tragedi sejarah etnis Indonesia dan melupakan hakikat kehidupan bernegara, yaitu menyejahterakan seluruh bangsa. Mereka hanya menyuarakan kepentingan sepihak kelompok—sikut-menyikut—demi memonopoli kekuasaan.

Indonesia akan masuk masa Pemilu 2019. Bisa dibayangkan risiko yang membayangi pemilu tersebut apabila "bahasa agama" dibiarkan membungkus "sikut-menyikut" itu di tengah situasi sosio-ekonomi yang rawan dengan persaingan. Amat disayangkan, dinamika sosiologis bangsa cenderung mengarah ke situ, terutama di daerah luar Jawa, di mana alur migrasi tengah mengubah keseimbangan sosio-religius lama.

Memang, wajar jika perubahan demografis akibat migrasi mengubah peta politik lokal dan jika para pendatang terwakili di kantor DPR, DPRD, dan DPD. Namun, selama migrasi disertai oleh kecenderungan berkelompok sebagaimana diutarakan di awal tulisan ini dan selama dinamika ekonomi menimbulkan kesenjangan, tentu politik agama amatlah berbahaya. Harus dihindari apakah di Bali, di Papua, atau di mana pun.

Di dalam hal ini, hendaknya para politikus menyadari bahwa kendati pun seruan "agamisnya" bersifat moderat, kenyataan bahwa seseorang tengah menunggangi agama anutan sebagai kendaraan politik sudah cukup untuk menimbulkan kristalisasi politik dari pengikut agama itu pada tingkat akar rumput. Maka, insaflah kalian, bapak-bapak dan ibu-ibu calon wakil rakyat! Seruan persatuan bangsa yang kalian bakal utarakan sepanjang kampanye bergemakan Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika tidak berfaedah jika kalian tidak memahami mekanisme sosiologis yang dipaparkan sepanjang tulisan ini.