PM May, Kamis (15/11/2018), bertemu dengan Majelis Rendah Inggris untuk menjelaskan draf setebal 585 halaman hasil negosiasi final antara Inggris dan UE, termasuk periode transisi bagi kedua pihak untuk penyesuaian pascaperceraian.

Reaksi parlemen sangat keras. PM May dicecar tanpa henti oleh pertanyaan tajam, baik dari kubunya sendiri, Partai Konservatif, maupun dari kupu oposisi, Partai Buruh. Semua itu mengarah pada satu kesimpulan, kesepakatan Brexit sulit diterima parlemen.

May terbukti tak mampu menyatukan dua kubu yang terbelah di partainya. Kubu garis keras Brexit menganggap May telah mengkhianati mandat dari rakyat Inggris yang menginginkan negara itu putus total dari Uni Eropa. Sebaliknya, kubu pro-Eropa juga menilai kesepakatan itu akan merugikan karena menjauhkan Inggris dari pasar terbesar di dunia.

May yang berupaya keras mengakomodasi tuntutan kedua kubu itu juga harus berhadapan dengan tuntutan UE yang harus mengedepankan kepentingan blok dan memastikan tidak akan ada lagi anggotanya yang keluar pasca-Brexit. Alhasil, semua pihak pada akhirnya mengancam akan menolak kesepakatan itu, termasuk partai koalisi Uni Demokrat Irlandia Utara (DUP).

Posisi May makin terdesak karena empat menteri kabinetnya sekaligus mengundurkan diri sebelum ia bertemu parlemen, termasuk juru runding Brexit, Dominic Raab. Ini merupakan juru runding Brexit kedua yang mundur setelah David Davis. Alasannya sama, keduanya tidak sepakat dengan arah negosiasi yang diinstruksikan May. Puncaknya adalah ketika anggota parlemen Konservatif, Jacob Rees-Mogg, mengirimkan surat mosi tidak percaya atas May.

Untuk bisa meloloskan kesepakatan Brexit di Majelis Rendah (House of Commons), May membutuhkan sedikitnya 326 suara. Saat ini Konservatif dan DUP (10 kursi) memiliki 327 kursi. Namun, ada sekitar 51 anggota garis keras Konservatif yang menolak kesepakatan, sementara DUP juga menarik dukungan. Alhasil, akan sulit bagi PM May untuk mengegolkan draf kesepakatan.

Menurut rencana, Uni Eropa akan segera mengadakan pertemuan darurat pada 25 November untuk menandatangani kesepakatan tersebut. Brussels sudah menegaskan, tak akan ada lagi negosiasi terkait Brexit. Parlemen Inggris dan Eropa kemungkinan akan melakukan voting terhadap draf kesepakatan pada awal Desember.

Jika parlemen Inggris menolak draf kesepakatan itu, opsi yang tersedia adalah apakah Inggris akan keluar dari UE pada 29 Maret 2019 tanpa kesepakatan, yang berarti juga tanpa masa transisi.

Kegagalan di parlemen tentunya akan berdampak serius bagi kepemimpinan May, termasuk pergantian kekuasaan melalui percepatan pemilu.

Kompas, 17 November 2018 

#tajukrencanakompas 

#kompascetak 

#brexit