Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Organisasi Kerja Sama Islam akan menghelat pertemuan Otoritas Regulatori Obat (National Medicine Regulatory Authorities) untuk pertama kalinya pada tanggal 20-21 November 2018 di Jakarta.

Pertemuan ini merupakan tindak lanjut pertemuan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Sekretaris Jenderal Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) HE Al-Othaimeen di Jeddah pada 14 November 2017. Pertemuan diselenggarakan sebagai forum komunikasi interaktif antar-pemimpin otoritas regulatori obat untuk memperkuat dan mewujudkan kemandirian (self-reliance) produksi dan akses obat dan vaksin yang murah di negara anggota OKI.

Mengapa pertemuan ini penting dilakukan? Kenyataan, 21 dari 56 negara anggota OKI merupakan least developed countries—negara-negara miskin dan negara dalam konflik sosial politik—yang sangat membutuhkan dukungan di bidang kesehatan, termasuk untuk mengatasi masalah akses obat dan vaksin.

Akses dan ketersediaan obat yang aman, bermutu, dan terjangkau sangat penting untuk pencegahan dan penyembuhan penyakit serta pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, terutama di sebagian negara OKI yang memiliki beban penyakit cukup tinggi.

Beberapa negara anggota OKI menghadapi keterbatasan seperti tidak ada produksi obat dan vaksin yang mandiri dan kapasitas otoritas regulatori obat masih rendah sehingga pemenuhan kebutuhan obat dan vaksin masih mengandalkan impor dari negara lain atau pihak ketiga seperti Unicef. Hanya sedikit negara anggota OKI yang sudah memiliki kapasitas produksi obat, terutama vaksin, di antaranya Indonesia, Iran, Senegal, Uzbekistan, Bangladesh, Tunisia, dan Mesir.

Forum berbagi

Kerja sama mewujudkan kemandirian produksi dan akses sangat penting untuk mengurangi ketergantungan negara OKI terhadap obat/vaksin impor yang mahal. Pertemuan November ini diharapkan menghasilkan kesepakatan kerja sama dalam memastikan ketersediaan obat dan vaksin yang terjamin keamanan, mutu, dan khasiatnya, melalui penguatan fungsi Otoritas Regulatori Obat di negara-negara anggota OKI. Isu-isu penting keamanan dan mutu obat untuk mencapai regulatori obat yang efektif akan dibahas pada pertemuan ini.

Negara OKI akan berbagi pengalaman dan pengetahuan mengenai program kesehatan, sistem regulasi obat di negaranya, termasuk tantangan/kendala yang dihadapi serta terobosan-terobosan yang sudah dilakukan. Mitra pembangunan internasional, seperti WHO dan Unicef, juga akan terlibat dalam konteks sinergi kegiatan ini dalam mendukung program kesehatan di negara berkembang untuk mencapai target pembangunan kesehatan global, sebagaimana diagendakan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Nomor 38: "…. access to safe, effective, quality and affordable essential medicines and vaccines for all".

Pertemuan juga akan mendiskusikan isu pengembangan dan harmonisasi standar di bidang obat dan vaksin, penguatan teknologi dan kapasitas produksi industri farmasi, serta peluang dukungan pembiayaan dari Bank Pembangunan Islam (IDB). Isu dan terobosan strategis dalam mendukung produksi obat dan vaksin halal di negara OKI juga menjadi salah satu topik bahasan. Hal tersebut untuk membuka peluang pengembangan obat dan vaksin halal yang dapat memperluas cakupan dan meningkatkan keberhasilan program kesehatan di negara OKI.

Pengembangan industri farmasi di negara-negara OKI yang sudah siap mengimplementasikan standar yang terharmonisasi hingga sistem jaminan halal akan didorong melalui berbagai upaya dan strategi yang efektif.

Materi pertemuan otoritas regulatori obat semakin komprehensif dengan pembahasan tentang tantangan peredaran obat substandar dan obat palsu, termasuk vaksin dan alat diagnostik palsu. Negara OKI akan berbagi pengalaman implementasi strategi untuk mencegah, mendeteksi, dan menanggulangi peredaran obat dan vaksin substandar dan/atau palsu sehingga diharapkan dapat dirumuskan strategi/program kolaborasi untuk membasmi peredaran obat dan vaksin substandar dan/atau palsu di seluruh negara OKI.

Berdasarkan uraian tersebut, cukup banyak isu penting dan aktual yang akan dibahas pada pertemuan pertama otoritas regulatori obat negara OKI. Strategi penguatan kolaborasi otoritas regulatori obat negara-negara OKI diharapkan dapat disepakati dalam resolusi Deklarasi Jakarta dan rencana kegiatan untuk dua tahun ke depan (2019-2021) sebagai hasil dari pertemuan ini.

Peran BPOM

Pertemuan pertama kepala otoritas regulatori obat negara OKI, di mana BPOM menjadi tuan rumah, menimbulkan pertanyaan: apa peran BPOM dalam kerangka politik luar negeri dan kepentingan dalam kerja sama tersebut?  Bagaimana kemandirian obat dan vaksin dapat diwujudkan dalam wilayah kerja sama multilateral negara-negara OKI?

Indonesia sebagai salah satu anggota OKI yang memiliki populasi Muslim terbesar di dunia dan menerapkan sistem politik luar negeri bebas-aktif dapat secara aktif berperan dalam kerangka kerja sama ini. BPOM sebagai lembaga pemerintah yang memegang otoritas pengawasan obat dan makanan di Indonesia dapat memainkan peran sentral, terutama dalam perspektif dukungan pemerintah dan peningkatan pengembangan industri dan perdagangan obat.

Indonesia dapat dikatakan terdepan di antara negara anggota OKI lain dalam hal produksi obat, terutama vaksin. Saat ini Indonesia, diwakili oleh perusahaan farmasi milik negara, PT Bio Farma, telah menerima status Pre-Qualification WHO (PQ-WHO), yaitu syarat pemenuhan standar mutu, keamanan, dan penggunaan secara internasional untuk produksi vaksin. Hanya dua negara OKI, Indonesia dan Senegal, yang telah memperoleh akreditasi PQ-WHO, sehingga produk vaksin dari kedua negara tersebut dapat diekspor dan digunakan pada program Unicef dan lembaga PBB lain. Indonesia juga patut berbangga karena memiliki jumlah produk vaksin terbanyak yang telah memperoleh PQ-WHO sejak tahun 1997, dibandingkan dengan Senegal yang hanya memiliki satu produk vaksin mendapat PQ-WHO.

Kepiawaian Indonesia dalam industri vaksin tentunya karena didukung kapasitas otoritas BPOM yang mumpuni. BPOM telah tiga kali berturut-turut (2005, 2012, dan 2018) dinyatakan sebagai otoritas regulatori obat yang fungsional berdasarkan penilaian oleh WHO. Artinya, BPOM memiliki sistem yang baik dalam melaksanakan pengawasan sehingga dapat menjamin mutu obat, terutama vaksin, ekspor dari Indonesia sesuai standar internasional.

Dengan kemampuan terdepan tersebut, Indonesia ditunjuk sebagai center of excellence (pusat keunggulan) di bidang vaksin untuk negara-negara OKI sehingga diharapkan menjadi tuan rumah pertemuan otoritas regulatori obat negara OKI yang efektif. Pengalaman dan pengetahuan tentang vaksin yang lebih maju menjadikan Indonesia berkewajiban melakukan alih pengetahuan kepada negara anggota OKI lainnya. BPOM juga berkomitmen untuk berperan aktif mewujudkan kemandirian ketersediaan produksi obat dan vaksin negara anggota OKI, salah satunya melalui Kerja Sama Selatan-Selatan yang sudah dimulai bersama dengan Otoritas Regulatori Obat Palestina dalam kegiatan berbagi pengetahuan beberapa waktu lalu.

Kerja sama strategis

Program Strategis OKI (OKI 2025) difokuskan pada 18 skala prioritas dengan 107 target yang harus dicapai. Salah satunya adalah domain pengetahuan dan teknologi, dengan fokus penguatan riset dan pengembangan sebagai bagian dari kerangka kelembagaan untuk pengetahuan, teknologi, dan inovasi.

Bagi BPOM, domain tersebut merupakan peluang yang harus ditindaklanjuti melalui diplomasi dan kerja sama dengan otoritas regulatori obat negara-negara OKI melalui pengembangan pengetahuan untuk mewujudkan kemandirian dan kemudahan akses obat dan vaksin yang aman, bermutu, dan murah. Dalam kerangka OKI, BPOM dinilai memiliki peran kepemimpinan yang penting untuk mendorong kerja sama strategis di bidang obat dan vaksin tersebut.

Perhelatan pada November ini menjadi sarana diplomasi penguatan posisi Indonesia sebagai produsen obat, terutama vaksin, yang telah mendapatkan pengakuan internasional. Citra ini harus ditanamkan, tidak hanya kepada negara-negara anggota OKI, tetapi juga gaung pesan juga diharapkan tersampaikan kepada masyarakat global. Kita akan memperoleh berbagai manfaat untuk kemajuan sektor kesehatan, antara lain dukungan OKI terhadap penyediaan obat generik, terutama obat yang masih dalam perlindungan paten, serta penyediaan obat yang halal.

Kegiatan sampingan, seperti ekshibisi, forum bisnis, dan kunjungan ke industri farmasi juga akan menjadi bagian pertemuan mendatang. Kegiatan ini adalah upaya untuk mempromosikan produk obat dan vaksin Indonesia sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya saing dan produk ekspor kita, terutama ke negara anggota OKI.