Tema global yang dibicarakan pada tahun depan masih berkisar antara lain soal pelemahan pertumbuhan ekonomi global, dampak perang dagang, serta pelemahan ekonomi Amerika Serikat yang berdampak pada pelemahan dollar. Sementara dari dalam negeri masih berkisar pada tahun politik, tekanan terhadap rupiah dan kenaikan harga bahan bakar minyak.

Perang dagang AS-China yang menjadi bahasan menarik pada tahun ini akan memengaruhi kinerja ekonomi negara-negara berorientasi ekspor.

Perang dagang AS-China yang menjadi bahasan menarik pada tahun ini akan memengaruhi kinerja ekonomi negara-negara berorientasi ekspor. Di kawasan Asia, negara yang termasuk dalam kelompok ini antara lain Singapura, Taiwan, dan Malaysia. Sementara bagi negara yang bergantung pada konsumsi domestik seperti Indonesia dan Filipina, isu perang dagang itu lebih sedikit memengaruhi kinerja perekonomiannya.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan negara-negara  yang menjadi tujuan ekspor Indonesia seperti China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa diperkirakan melambat tahun depan.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (16/7/2018). Nilai ekspor Indonesia Juni 2018 mencapai 13,00 miliar dollar AS atau menurun 19,80 persen dibandingkan ekspor Mei 2018, sementara dibandingkan Juni 2017 naik 11,47 persen.

Menurut perhitungan OCBC, di kawasan Asia, negara yang  paling terpapar oleh ketegangan kedua raksasa itu adalah negara yang banyak bertransaksi dagang dengan AS dan China serta negara yang memiliki sektor manufaktur dominan yang terkait erat dengan rantai perdagangan global. Singapura dan Malaysia merupakan negara ASEAN yang memiliki struktur perdagangan paling terbuka.

Sementara dilihat dari perdagangannya, 28 persen perdagangan Mynmar dengan China dan Laos (24,5 persen), Vietnam (22 persen), dan Indonesia (18,1 persen) berdagang dengan China. Adapun porsi perdagangan Vietnam (11,9 persen), Malaysia (10,6 persen), dan Filipina (10,2 persen) terkait dengan AS.

Terlihat bahwa Myanmar, Laos, dan Vietnam merupakan negara-negara yang paling bergantung pada perdagangan dengan China. Tetangga terdekat China, Jepang, Korea, dan Hong Kong, berada dalam posisi yang paling rentan jika terjadi perang dagang antara AS dan China karena mereka banyak mengekspor barang ke China.

Untuk Indonesia, industri yang mungkin terdampak perang dagang ini antara lain mesin, batubara, karet, minyak, besi, dan baja. Ekspor ke China dari industri-industri itu sekitar 13,7 persen. Indonesia juga dapat memperoleh keuntungan dari perang dagang ini. Misalnya, di industri garmen, upah buruh di Indonesia masih lebih rendah ketimbang di China. Walaupun demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk menarik investor, tidak hanya dari sisi upah.

Dollar tak lagi perkasa

Kurs dollar AS yang menguat dan menekan mata uang di negara berkembang, termasuk rupiah, akan berbalik pada 2019. Faktor dari pelemahan dollar AS antara lain adalah pelemahan ekonomi AS, terutama yang terjadi pada paruh kedua tahun ini. Perlambatan ini diperkirakan terus terjadi pada tahun depan.

Perekonomian AS diperkirakan melemah dari harapan semula, 3,2 persen pada 2018 menjadi 2 persen tahun depan. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan sekitar 2 persen. Pelemahan pertumbuhan ini terkait dengan program pemangkasan pajak dan reformasi yang sudah melempem.

Stimulus ekonomi dari bank sentral yang sudah menaikkan suku bunga selama delapan kali sejak akhir 2015 pun sudah tidak terlihat lagi dayanya. Akibat pelemahan ini, Federal Reserve diperkirakan tidak akan terlalu agresif menaikkan tingkat suku bunga pada tahun depan.

Kenaikan suku bunga diperkirakan semakin menekan dollar AS. Situasi pasar keuangan yang menjadi lebih mudah bergejolak dan kebutuhan modal di luar AS juga membuat terjadi pelarian dana dari AS ke luar negeri.

Pemilu

Di kawasan Asia juga akan ada pemilu, khususnya di Indonesia dan India.  Belanja prapemilu ini diharapkan akan mendongkrak permintaan domestik.

Pada 2018, Indonesia juga sudah menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah secara serentak di 171 daerah. Namun, dampaknya terhadap perekonomian nasional tidak terlalu signifikan. Anggaran pemerintah untuk  penyelenggaraan pilkada serentak itu Rp 20 triliun, hanya dari dana APBN. Masih ditambah lagi dengan dana yang dikeluarkan oleh partai dan para calon anggota legislatif.

Adsensity, sebuah lembaga yang mencermati iklan televisi menyebutkan, belanja iklan untuk Pilkada 2018 pada 13 stasiun televisi nasional pada periode 15 Februari hingga 23 Juni 2018 mencapai Rp 29,02 miliar. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan Pilkada 2017 yang antara lain Pilkada DKI dengan jumlah belanja iklan mencapai Rp 43 miliar.

Pilkada juga lebih banyak membantu konsumsi rumah tangga kelas menengah bawah. Pada konsumsi nasional, porsi konsumsi masyarakat kelas tersebut hanya sekitar 17 persen.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Spanduk besar tentang partai-partai politik yang ikut dalam pemilu serentak 2019 terpampang di salah satu sudut Komisi Pemilihan Umum Jakarta, Selasa (7/8/2018).

Meski demikian, terlihat pertumbuhan konsumsi masyarakat pada kuartal kedua dan ketiga tahun ini. Badan Pusat Statistik mencatat, pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua sebesar 5,27 persen.

Porsi konsumsi sebesar 55,43 persen dengan pertumbuhan 5,14 persen. Pertumbuhan konsumsi pada kuartal kedua tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal pertama 2017 yang bertumbuh 4,94 persen dan kuartal kedua  2017 yang bertumbuh 4,95 persen. BPS mencatat, pendukung pertumbuhan konsumsi yang cukup tinggi itu antara lain adalah penjualan eceran yang tumbuh sebesar 6,42 persen. Pada kuartal kedua ini ada Ramadhan dan Lebaran. Seperti biasa, pola konsumsi masyarakat meningkat.

Sementara pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga 2018 tercatat sebesar 5,17 persen, lebih tinggi jika dibandingkan dengan pencapaian pada kuartal ketiga 2017 yang sebesar 5,06 persen, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan pencapaian pada kuartal kedua yang besar 5,27 persen.

Sama seperti kuartal kedua, konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi paling besar terhadap struktur produk domestik bruto, sebesar 55,26 persen. Kontribusi lain adalah pembentukan modal tetap bruto sebesar 31,12 persen, ekspor sebesar 22,14 persen, dan konsumsi pemerintah sebesar 8,70 persen.

Pada kuartal ketiga ini, konsumsi rumah tangga bertumbuh sebesar 5,01 persen, lebih tinggi dari pertumbuhan konsumsi pada kuartal ketiga 2017 yang sebesar 4,93 persen, tetapi lebih rendah dari kuartal kedua 2018 yang sebesar 5,14 persen.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Lanskap kota Jakarta dengan kepadatan hunian dan gedung pencakar langit, Jumat (7/9/2018). Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019, pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen yang masih digerakkan oleh investasi dan konsumsi.

Konsumsi masyarakat masih akan menguat pada tahun depan. Pendorong dari kenaikan konsumsi masyarakat itu antara lain adalah kebijakan populis pemerintah yang biasa dikeluarkan menjelang pemilu. Jumlah dana bantuan sosial dalam Program Keluarga Harapan (PKH) menjadi Rp 38 triliun, berlipat dua dari dana yang disediakan pada 2018 yang sebesar Rp 19 triliun.

Jika dijumlahkan, total dana yang mungkin didapatkan KPM bisa mencapai Rp 3,6 juta.

Tahun depan, keluarga penerima manfaat (KPM) tidak hanya menerima bantuan tetap sebesar Rp 550.000, tetapi juga ada tambahan dana lain. Jika dijumlahkan, total dana yang mungkin didapatkan KPM bisa mencapai Rp 3,6 juta. Ada beberapa kondisi yang memungkinkan KPM mendapatkan dana lebih banyak, seperti istri yang sedang hamil akan mendapatkan bantuan Rp 1 juta. Juga keluarga yang memiliki anak balita atau anak yang masih sekolah bisa mendapatkan tambahan lagi.

Tahun depan dana PKH akan dilakukan dalam empat tahap, yaitu pada Januari, April, Juli, dan Oktober. Jumlah keluarga yang menerima dana dari program ini sekitar 10 juta.

Kenaikan harga BBM

Kemungkinan ada kenaikan harga bahan bakar minyak. Kenaikan harga minyak menjelang pemilu merupakan langkah yang tidak populer bagi petahana. Setelah hajatan politik selesai, harga BBM mungkin akan naik mengingat harga minyak mentah dunia sudah terlebih dahulu naik, tetapi belum ada kenaikan harga BBM dari pemerintah.

Apalagi, negara-negara produsen minyak yang tergabung dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) telah sepakat memangkas produksi hingga sebesar 1,2 juta barel per hari pada 2019. Pemangkasan ini akan membuat harga minyak naik lagi.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Petugas menunggu pembeli di SPBU 31.129.02 di kawasan Kuningan, Jakarta, Senin (2/7/2018). Setelah hajatan pemilu, harga bahan bakar minyak (BBM) kemungkinan bisa naik.

Para analis energi memperkirakan rata-rata harga minyak mentah masih bisa naik hingga 70 dollar AS per barel pada tahun depan. Sementara Bank Dunia memperkirakan harga rata-rata minyak mentah pada 2019 mencapai 71 dollar AS per barel. Dalam kesempatan lain, Badan Energi AS memperkirakan rerata harga minyak 72 dollar AS per barel.

Hingga November lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia mencatat rerata harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar 62,98 dollar AS per barel. Rerata ini turun dari Oktober yang sebesar 77,56 dollar AS per barel. Padahal, asumsi harga minyak ICP dalam APBN 2018 sebesar 48 dollar AS saja per barel.

Tanpa ada kenaikan harga BBM, subsidi energi membengkak. Hingga Oktober 2018, realisasi belanja subsidi energi mencapai Rp 117,4 triliun. Jumlah tersebut naik 77,3 persen dibandingkan dengan periode sama pada tahun lalu.

Diperkirakan, jika ada kenaikan harga bensin Premium Rp 500 per liter tahun depan, inflasi akan bertambah sebesar 0,7 persen. Total, diperkirakan inflasi sepanjang 2019 menjadi 4,5 persen, lebih kurang sama dengan sasaran inflasi 2019-2021 yang ditetapkan sebesar 3,5 persen plus minus 1 persen.

Dampak kenaikan harga minyak ini terhadap belanja keluarga tampaknya akan diredam dengan kucuran dana pada PKH. Sehingga, diharapkan tidak akan ada gejolak di masyarakat.

Prospek pasar modal

Situasi perekonomian secara umum juga memengaruhi pasar saham dan obligasi. Pada awal tahun, terlihat optimisme bahwa pasar modal akan menguat, tetapi hal itu berubah antara lain karena genderang perang dagang yang di kawasan Asia rerataprice to earning ratio (PER) sudah berada di bawah rata-rata. Artinya, harga sudah mencerminkan dampak paling buruk terhadap perang dagang terhadap negara di kawasan Asia. Sebaliknya, PER bursa di negara maju, masih berada di atas rata-rata, mencerminkan hal yang sebaliknya.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (27/11/2018).

Bursa saham Indonesia pun memiliki PER yang berada di bawah rata-rata. Padahal, perolehan laba emiten masih positif. Manulife Aset Manajemen Indonesia memperkirakan, masih akan ada potensi keuntungan yang bisa didapatkan dari pasar modal.

Investor asing banyak meninggalkan pasar Indonesia pada 2018, mencari peluang di pasar negara maju, antara lain karena pelemahan kurs. Pada 2019, seiring dengan pelemahan dollar AS dan laba perusahaan yang masih meningkat, tidak tertutup kemungkinan para investor asing itu akan berpaling ke bursa di negara berkembang lagi seperti Indonesia, melihat peluang yang ada. Potensi pertumbuhan saham bahkan diperkirakan lebih tinggi dibandingkan dengan 2018 jika melihat valuasi yang sudah lebih rendah dari rata-rata selama lima tahun ke depan.

Menjelang akhir 2018, kondisi pasar saham mulai membaik. Saham bertumbuh 3,85 persen dengan kurs rupiah yang menguat 5,93 persen pada November lalu. Hajatan pemilihan presiden April 2019 juga bukan merupakan hal yang mengkhawatirkan. Secara historis, indeks saham cenderung menguat pada tahun pemilu. Penopangnya adalah ekspektasi ekonomi yang dapat berkontribusi bagi dunia usaha dan masyarakat.

Tekanan pada pasar obligasi juga akan jauh berkurang pada 2019. Langkah-langkah preemtif pemerintah dan Bank Indonesia untuk menjaga postur fiskal, defisit neraca berjalan dan rupiah mendapat respons positif dari para pelaku pasar. Para investor asing sudah terlihat kembali masuk ke pasar obligasi, dengan akumulasi Rp 50 triliun hingga akhir November 2018.

Bagi investor domestik dan asing, pasar obligasi menarik karena imbal hasil yang lebih baik dibandingkan dengan imbal hasil surat utang di negara lain. Apalagi, imbal hasil obligasi pemerintah AS berdurasi 10 tahun yang sekitar 3-3,5 persen. Imbal hasil obligasi Indonesia untuk tenor 10 tahun diperkirakan turun lagi mencapai 7-7,5 persen.