
HERYUNANTO
Musim semi 1846 di Brussel, seorang aktivis revolusi berucap, "Ketidaktahuan tidak akan menolong siapa pun." Sementara, Lord Acton (1834-1902) mengeluarkan ungkapan yang sangat populer: "Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely (Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak menghasilkan korup yang mutlak)".
Dua potong kalimat itu menjadi rujukan dalam upaya membagi pengetahuan atas masa lalu, khususnya mengenai kejahatan korupsi yang hingga kini masih tetap terwarisi, sehingga terus-menerus menemui hadangan untuk membasmi kejahatan tersebut.
Teori pengetahuan yang kritis dipadukan dengan data, dapat mengantarkan kita memahami suatu masalah dengan lebih baik. Survei korupsi terkait kolusi pelaku usaha besar dan pemerintah, Political and Economic Risk Consultancy (PERC), memberikan catatan buruk yang cenderung meningkat terhadap Indonesia sepanjang 1995-1999, yaitu skor 7,30 (1995), 7,69 (1996), 8,67 (1997), 8,95 (1998), dan 9,91 (1999). Sejak 2000, kecenderungan itu mulai menurun meskipun masih tinggi (PERC: 2001).
Tahun 1999 adalah transisi dari pemerintahan Orde Baru kepada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Skor korupsi mulai berkurang selama tahun 2000-2001 meski masih tinggi, karena tak gampang dipangkas dan tak pula mendapatkan dukungan politis yang kuat dari DPR.
Kesulitan besar untuk memangkas korupsi itu tak dapat dilepaskan dari warisan Orde Baru yang telah mengembangbiakkan koloninya dalam relasi patronase kekuasaan politik, birokratik, dan bisnis (Robison, 1986).
Di sinilah pusat masalahnya, khususnya relasi oligarki berwatak predatoris yang dipimpin oleh "raja rampok" tanpa dibatasi hukum (Hadiz, 2005).
Kekayaan negara—beberapa di antaranya APBN, BUMN dan utangnya, fasilitas proteksi dan lisensi, besarnya konsesi, serta sumber daya alam (SDA)—menjadi sarana pemupukan kekayaan pejabat, pengusaha, dan sebagian lapisan birokrasi negara.
Sebagai contoh, setahun setelah Presiden Soeharto tumbang, sebuah media asing terkemuka menyajikan lika-liku meraup hasil korupsi dan beroperasinya "kerajaan bisnis Soeharto" (Suharto Inc.), dengan kekayaan yang tersebar di berbagai lokasi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan kisaran kekayaan 15-73 miliar dollar AS (Time, 24/5/1999).
Kasus masa lalu
Dugaan korupsi di bawah Orde Baru tak hanya pada Soeharto dan keluarganya, tetapi juga melibatkan sejumlah pejabat dan pengusaha kroninya yang selama ini tanpa pertanggungjawaban hukum. Selain itu, terlalu banyak harta kekayaan mereka yang tidak disita oleh negara yang kemudian dapat berubah bentuk melalui proses pencucian uang.
Sebagian besar hasil korupsi itu tanpa dipertanggungjawabkan. Tak sedikit pula pengusaha kroni yang membobol sumber-sumber kekayaan negara dan berkembang sebagai konglomerat, juga tanpa disita kekayaan mereka, melainkan hanya sekadar dijuluki sebagai "konglomerat hitam".
Ke manakah mereka sekarang? Ke mana pula kekayaan hasil korupsi dan kolusi itu berubah bentuk atau disembunyikan? Apakah dibiarkan terus-menerus tanpa pertanggungjawaban, apa pun bentuk pertanggungjawabannya? Jikapun mau "diputihkan", seharusnya tetap terlebih dulu diakui kekayaan yang diperoleh. Suatu penyelidikan sangat diperlukan sebelum menyelesaikan kasus-kasus korupsi masa lalu. Jika dihitung dari besaran nilainya, beberapa korupsi besar di masa lalu jauh lebih besar nilainya dibandingkan ribuan kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Beberapa di antaranya adalah dugaan skandal korupsi Pertamina. Surat kabar Indonesia Raya, dengan dua koper bukti, membongkar simpanan Direktur Utama Pertamina Letjen Ibnu Sutowo mencapai Rp 90,48 miliar, kekayaan yang sangat besar saat itu. Jaksa Agung Ali Said tidak berkutik dengan sodoran dokumen itu. Sutowo ibarat the untouchable.
Tahun 1975, ketika petrodollar melimpah, Pertamina malah dililit utang 10,5 miliar dollar AS. Skandal ini bikin Soeharto mencopot Sutowo, tetapi tanpa diproses hukum (Jenkins: 1984).
Skandal korupsi Pertamina kembali terungkap dalam kasus Haji Thahir, gara-gara anaknya berebut harta dengan istri mudanya pada 1998. Namun, dampak korupsi di Pertamina terus diwariskan hingga kini sehingga sulit berkembang sebagai perusahaan yang sehat dan bebas dari kolusi dan penggelembungan nilai (mark up).
Selanjutnya, ada dugaan terhadap mantan Presiden Soeharto melakukan kejahatan korupsi dengan mengeluarkan banyak keputusan presiden (keppres) untuk (1) menguntungkan bisnis keluarga dan para pengusaha kroninya, serta (2) pemupukan kekayaan pada yayasan-yayasannya atau dikenal dengan Yayasan Soeharto. Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) telah melakukan penelitian mengenai 53 keppres yang menyimpang pada periode 1993-1998.
Beberapa keppres yang menyimpang itu antara lain Keppres No 20/1992 tentang Tata Niaga Cengkeh yang sangat menguntungkan praktik monopoli Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dipimpin Tommy Soeharto; Keppres No 57/1993 tentang Pembebasan Bea Masuk; Keppres No 3/1996 tentang Dana Bantuan Kredit Usaha Keluarga; Keppres No 42/1996 tentang Mobil Nasional; dan Keppres No 93/1996 tentang Pinjaman PT Kiani Kertas.
Selain itu, ada pula Keppres No 92/1996 yang memerintahkan setiap pembayar pajak dan perusahaan yang berpenghasilan 40.000 dollar AS per tahun diwajibkan menyumbang 2 persen pendapatannya untuk Yayasan Dana Sejahtera Mandiri.
Dalam kasus yayasan, Soeharto ditetapkan sebagai tersangka bahkan meningkat menjadi terdakwa oleh Kejaksaan Agung. Sementara dalam kasus BPPC, giliran Tommy Soeharto yang dijadikan tersangka.
Tommy juga dijatuhi hukuman 18 bulan penjara dalam kasus tukar guling PT Goro dan Bulog pada 2000, serta dihukum 15 tahun atas pembunuhan hakim Syafiuddin Kartasasmita pada 2001, tetapi diringankan menjadi 10 tahun oleh putusan Mahkamah Agung.
Pelajaran
Masih banyak kasus dugaan korupsi lainnya, seperti skandal pembelian kapal perang bekas Jerman Timur senilai 1,1 miliar dollar AS (mark up 62 kali lipat), serta skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara Rp 138,44 triliun dengan penyehatan perbankan mencapai Rp 640,9 triliun.
Oleh karena itu, selain perlu ada usaha-usaha baru pembentukan tim yang terdiri dari KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri untuk menyelidiki lebih jauh atas berbagai dugaan korupsi pada masa Orde Baru, mendalami pola relasi kekuasaan politik, birokratik, dan bisnis yang terwarisi, serta rekomendasinya, juga penyelidikan ini dapat menjadi alat untuk memahami lebih baik dan pelajaran bagi pemerintah sekarang dan publik.
Dengan mengenali kejahatan korupsi masa lalu, generasi sekarang dapat menolong mereka untuk kritis terhadap pameran pendapat yang seolah-olah berprestasi sehingga diharapkan mereka tidak tergiring ke dalam kepentingan praktis pendulangan suara elektoral yang membesar-besarkan Orde Baru. Kita tak lagi hidup di masa lalu, dan tidak pula berada di dunia seolah-olah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar