Secara tidak sadar para dosen hukum pidana di perguruan tinggi telah terlena menggunakan KUHP kolonial Belanda yang telah berusia lebih dari satu abad sebagai salah satu sumber materi ajarannya dan para penegak hukum pidana juga telah hanyut menerapkannya dalam penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana.

KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Indonesia) mengatur tentang kodifikasi hukum pidana materiil yang merefleksikan eksistensi hukum pidana obyektif (ius poenale), yakni aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat berupa sanksi pidana dan hukum pidana subyektif (ius poeniendi)berupa hak dari negara atau alat-alat perlengkapannya untuk mengenakan atau mengancam sanksi pidana tersebut.

Ironisnya, KUHP tersebut tidak pantas dibanggakan karena merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlansdsh-Indie  (WvSNI) yang berasal dari KUHP Belanda 1886, yang berlaku di bumi Nusantara ini sejak tanggal 1 Januari 1918 atas dasar Staatsblad (S) Tahun 1915 Nomor 732 melalui Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33, tanggal 15 Oktober 1915.

Pasca-Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, atas dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dan Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, ditegaskan bahwa KUHP yang berlaku adalah KUHP yang ada pada tanggal 8 Maret 1942 (sebelum masuknya Jepang) dan  semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dinyatakan dicabut. Selanjutnya, atas dasar UU Nomor 73 Tahun 1958, UU Nomor 1 Tahun 1946 tersebut diberlakukan di seluruh wilayah Republik Indonesia.

UU Nomor 1 Tahun 1946 menegaskan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsh-Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht, yang untuk selanjutnya disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dengan demikian, sebenarnya teks aslinya pun masih berbahasa Belanda dan belum ada terjemahan resminya.

Ketentuan Pasal 5 UU Nomor 1 Tahun 1946 mengisyaratkan bahwa peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang ini tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruh atau sebagian sementara tidak berlaku. Sayangnya, ketentuan ini bersifat open ended dan implementasinya sering bersifat subyektif. Di kemudian hari, hal ini memberi kesempatan bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengujinya secara materiil (judicial review) apabila ada permohonan dari pihak-pihak yang merasa bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan karena bertentangan dengan konstitusi.

Karakter kolonial

Karakter kolonial KUHP tidak terlepas dari pengaruh Code Penal (KUHP) Perancis terhadap KUHP Belanda. Perancis pernah menjajah Belanda sampai tahun 1815. Baru pada tahun 1881 Belanda mulai menyusun KUHP-nya sendiri dan diberlakukan pada tahun 1886. Pengaruh aliran klasik abad ke-18 pasca-Revolusi Perancis 1789 menuntut, antara lain, agar ada definisi hukum dari kejahatan, pidana harus sesuai dengan kejahatannya, tidak adanya riset empiris, pidana ditentukan secara pasti (definite sentence), dan pidana mati dipertahankan. Hukum pidana ini ditengarai sebagai hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan semata-mata (daad strafrecht). Aspek kemanusiaan dimarjinalkan.

Pada abad ke-19, pengaruh aliran modern atau aliran positif  yang mendasarkan pada riset empiris ilmu pengetahuan alam mulai berpengaruh terhadap perbaikan kebijakan hukum pidana. Beberapa cirinya adalah menolak definisi hukum kejahatan yang kaku, pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana (individualisasi pidana), penghapusan pidana mati, perlunya riset empiris, dan pidana jangan ditentukan secara pasti (indeterminate sentence). Hukum pidana yang sangat berorientasi pada orang (pelaku) ini dinamakan dader strafrecht.

Pada akhirnya negara-negara di dunia banyak mengadopsi aliran neoklasik yang merupakan perpaduan antara kedua aliran tersebut, yang secara simultan mempertimbangkan pentingnya perhatian baik pada aspek perbuatan maupun aspek pelaku tindak pidana. Hukum pidana tersebut disebut sebagai daad-dader strafrecht. Karakter yang tampak antara lain diterimanya kesaksian ahli, dirumuskannya hal-hal yang meringankan pidana, dan alasan penghapus pidana. Setelah Perang Dunia II terjadi pengaruh lain berupa promosi dan perlindungan HAM, termasuk perhatian terhadap korban kejahatan karena pengaruh viktimologi serta pengaruh budaya masyarakat setiap negara
terkait dengan ideologi, konstitusi, dan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law), yang melengkapi apresiasi terhadap asas-asas hukum umum yang diakui bangsa-bangsa beradab.

Keadilan retributif

Sekalipun sudah terpengaruh oleh pengaruh aliran modern secara intensif dan munculnya aliran neoklasik, harus dicatat bahwa struktur bangunan KUHP tetap berlandaskan konsep keadilan retributif (retributive justice) karena pengaruh aliran modern hanya bersifat ad hoc atau tambal sulam.

Fondasi keadilan retributif atas dasar filosofi pembalasan atas dasar pembuktian kesalahan pelaku tindak pidana masa lalu (adversarial relationship and establishing blame on guilty on the past) tampak mengemuka, persyaratan kriminalisasi banyak mengapresiasi nilai-nilai liberal kolonial dan miskin dari persyaratan sifat melawan hukum materiil partikularistik, ketiadaan hakikat tujuan pemidanaan dan pidana kecuali penerapan penderitaan dan pencegahan umum (imposition of pain to deter and prevent), tidak adanya pedoman pemidanaan yang komprehensif, tidak cukup tersedianya alternatif pidana kemerdekaan, pidana penjara merupakan pilihan utama (prima donna), pidana mati masih menonjol tanpa pedoman, tidak diaturnya hukum pidana anak, dan adanya hal-hal lain yang sudah ketinggalan zaman (obsolete).

Kelemahan tersebut di atas sudah berusaha diatasi dalam proses perkembangan masif hukum pidana di luar KUHP pascakemerdekaan. Namun, hal ini justru menjadikan KUHP semakin pelangi dan compang-camping (ragged) dan cenderung tidak memiliki karakter baku. Perkembangan yang terjadi  bisa bersifat evolusioner (amandemen), misalnya dengan penambahan Pasal 107a-107f dalam  tindak pidana terhadap keamanan negara, bisa pula dalam pola (semi) global dalam bentuk perundang-undangan tindak pidana khusus di luar KUHP yang mengatur pula kelembagaan dan hukum acara pidana sendiri, misalnya UU Tipikor, UU Pencucian  Uang, UU Narkotika, UU Terorisme, dan UU Pengadilan HAM.

Pola perkembangan lain dapat  berupa pendekatan kompromi dengan menambahkan bab baru ke dalam KUHP dengan pasal-pasal yang cukup banyak akibat ratifikasi terhadap suatu konvensi internasional. Contoh, dimasukkannya Bab XXIXA KUHP dengan 18 pasal baru tentang kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan sebagai konsekuensi pengesahan Konvensi Tokyo, The Haque, dan Montreal tentang kejahatan penerbangan.

Selanjutnya, ada pula yang menggunakan pola komplementer yang menggunakan sanksi hukum pidana untuk memperkuat sanksi hukum administratif yang jumlahnya tidak sedikit (administrative penal law), antara lain di bidang perpajakan, kehutanan, dan lingkungan hidup. Terakhir, perkembangan akibat putusan Mahkamah Konstitusi dengan dikabulkannya permohonan uji materiil (judicial review). Contoh pembatalan Pasal 134, 136, dan 137 KUHP tentang tindak pidana penghinaan terhadap presiden.

Pengesahan RKUHP bersifat monumental

Penggantian segera KUHP warisan kolonial Belanda yang sudah (akan) berusia 101 tahun melalui pengesahan RKUHP yang sudah dibicarakan lebih dari 40 tahun dan sudah mendekati 95 persen selesai tidak dapat ditunda lagi. Dalam sisa waktu rezim pemerintahan saat ini yang tinggal menghitung bulan, DPR dan pemerintah, walaupun dalam suasana tahun politik, harus memprogramkan penuntasan RKUHP tersebut disertai keyakinan bahwa rezim mana pun yang dapat menuntaskannya akan dikenang sepanjang masa karena karyanya yang sangat monumental.

Misi RKUHP, di samping membawa misi dekolonialisasi, sekaligus juga melakukan rekodifikasi total dan konsolidasi hukum pidana materiil yang cenderung sudah compang- camping tanpa karakter khas. RKUHP, terutama Buku I-nya (Ketentuan Umum), akan menjadi mekanisme pengendali perkembangan hukum pidana nasional agar menjadi suatu sistem yang terintegrasi. Prof Dr Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, berpendapat bahwa penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Hukum Pidana merupakan alternatif keniscayaan. Hal ihwal kegentingan yang memaksa terkait dengan betapa pentingnya keberadaan KUHP nasional baru, tetapi terkendala oleh waktu yang sangat terbatas untuk merampungkannya, pantas menjadi alasan.