Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 15 Desember 2018

Efisien dan Efektif//Tanggapan untuk Deddy Mulyana//Asap Rokok di Setiabudi 1 (Surat Pembaca Kompas)


Efisien dan Efektif

Saya ingin meneruskan perbincangan tentang efisien dan efektif dalam surat Prof Hendrawan Supratikno (Kompas, 12/12/2018) meski sesungguhnya surat itu terkait dengan tulisan Prof Soedradjad Djiwandono tentang kepanjangan EMH (Kompas, 3/11/2017).

Kedua kata itu acap ditemukan dalam peraturan perundang-undangan, bahkan tercantum dalam UUD 1945, dan sering jadi perbincangan. Di antaranya dalam UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pasal 4 Ayat (3) merumuskan, "Pemeriksaan Kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas".

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa menjelaskan ekonomis sebagai 'berhati-hati dalam pengeluaran uang, penggunaan barang, bahasa, waktu'. Juga dilengkapi dengan 'hemat'. Efektif adalah 'berhasil guna, manjur atau mujarab, mangkus', dan seterusnya. Efisien adalah 'tepat atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu dengan tidak membuang-buang waktu', 'sangkil', dan seterusnya.

Berdasarkan UU No 15/2004 itu, tugas-tugas pemeriksaan kinerja tersebut dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang hasil pemeriksaannya diserahkan kepada DPR, DPD, dan pemerintah untuk menindaklanjutinya.

Demikian juga masuknya kata efisiensi dalam Pasal 33 Ayat (4) UUD NKRI, yang sering kali dianggap sebagai penyebab kian menjurus ke liberal dan kapitalisnya perekonomian nasional. Padahal, kata itu satu rangkaian dengan kata berikutnya, berkeadilan. Menjadi efisiensi berkeadilan. Artinya, efisiensi di bidang ekonomi yang dijalankan senantiasa berkeadilan.

Pelaksanaan UUD 1945 diturunkan pada UU serta peraturan perundang-undangan. Baik legislasi, penganggaran, maupun pengawasan, pelaksanaannya akan terletak pada DPR. Tentu juga DPD meski dalam bentuk yang terbatas.

Sebagai anggota DPR yang terhormat, Prof Hendrawan Supratikno (dengan fraksi terbesar di DPR) memegang peran yang amat penting dalam hal ini. Khususnya dalam menjaga istilah efektif dan efisien tersebut.

Baharuddin Aritonang
Bendungan Hilir, Jakarta Pusat

Tanggapan untuk Deddy Mulyana

Berikut tanggapan sekaligus koreksi saya terhadap tulisan Deddy Mulyana, "Calo Scopus", di Opini Kompas (10/12/2018).

Deddy menguraikan informasi mengenai kasus sitiran diri sendiri (self-citation) yang dilakukan Robert J Sternberg (Universitas Stanford) dan selanjutnya menyebutkan bahwa artikel bermasalah tersebut topiknya tentang kecerdasan.

Artikel yang dimaksud berjudul "Am I Famous Yet? Judging Scholarly Merit in Psychological Science" yang kontennya sama sekali tidak berkaitan dengan kecerdasan, seperti yang disampaikan penulis dalam tulisan tersebut.

Sebagian kecil dari tulisan tersebut sepertinya terinspirasi dari tulisan yang sebelumnya sudah terbit di The Conversation, tetapi penulis kelihatannya alpa menyebutkan sumbernya.

Sebenarnya semua tulisan yang diterbitkan oleh The Conversation berlisensi (CC) sehingga siapa pun boleh merepublikasi seluas-luasnya. Namun, akan lebih elok apabila penulis menyebutkan sumbernya memperoleh informasi, seperti yang dilakukan oleh penulis yang tulisannya dimuat di Suara Merdeka. Terima kasih.

Rizqy Amelia Zein
Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga,
Surabaya


Asap Rokok di Setiabudi 1

Pada Selasa (27/11/2018) sore saya datang ke Restoran Pizza e'Birra di Gedung Setiabudi 1, Jakarta. Saya dikejutkan asap rokok yang memenuhi ruang ber-AC itu. Manajer yang bertugas mengatakan sudah dapat izin dari pengelola gedung.

Irawan E Prasetyo

Duren Sawit, Jakarta Timur

Kompas, 15 Desember 2018
#indeksdemokrasi 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger