Pada 10 November lalu, Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, atau yang lebih akrab disebut Taman Ismail Marzuki (TIM), genap berusia setengah abad. TIM menemani denyut perkembangan kesenian di Indonesia. TIM bukanlah semata ruang, gedung, atau tempat, melainkan menjadi simpul yang menyatukan dan mempertemukan berbagai kesenian lintas batas.
Di situlah ajang silaturahmi kultural dibangun. Suka Hardjana lewat artikelnya di harian Kompas berjudul "Pekan Komponis Muda di TIM" (1979), menjelaskan bahwa ikhtiar menyelenggarakan forum kesenian seperti pekan komponis di TIM adalah sebuah upaya dalam membingkai sekaligus memetakan jejak kreativitas komposer muda di Indonesia.
Berpentas di TIM menjadi sebuah kemuliaan bagi seniman. Tolok ukur keberhasilannya adalah tidak sedikit seniman besar yang dilahirkan lewat TIM. Di hari ini, kita banyak melihat seniman musik yang telah menjadi empu atau maestro di bidangnya karena pernah ditempa lewat Pekan Komponis Muda besutan Suka Hardjana di TIM. Menyusul kemudian pergelaran monumental lain seperti tari dan teater, sastra, serta seni rupa.
TIM lahir atas prakarsa gubernur Jakarta kala itu, Ali Sadikin. Kehendak mendirikan TIM diikuti dengan semangat agar Jakarta bukan semata menjadi ibu kota negara, melainkan juga mercusuar kebudayaan dan seni. Jakarta dirasa tidak memiliki tempat representatif bagi berkumpul dan bertemunya seniman, berdiskusi tentang kebudayaan, serta tak memiliki ruang bagi aktivitas-aktivitas berkesenian.
Ali dengan segala kenekatannya "menggusur" Kebun Binatang Cikini (Taman Raden Saleh) untuk menjadi cikal bakal TIM. Kehendak itu tak selalu berjalan mulus. Ia mendapat kritikan, hujatan, juga cacian. Ia dipandang menghamburkan dana, membangun sesuatu yang tak menguntungkan secara pamrih ekonomi.
Namun, Ali sadar bahwa hidup di Jakarta tak melulu harus disibukkan dengan urusan kemajuan ekonomi atau masalah perut, tapi juga urusan kebudayaan. Manusia yang baik adalah manusia yang berbudaya. Ali sekaligus berhasrat menjadikan warga Jakarta lebih arif dan bermartabat lewat TIM.
Gelora
Kebun binatang yang awalnya berlokasi di Cikini itu dipindah ke Ragunan (hingga saat ini). Tanah Cikini dengan luas lebih kurang 9 hektar itu dibangun dan ditempati TIM. Nama Ismail Marzuki, komponis kenamaan Indonesia, dipakai sebagai nama kompleks kebudayaan dan seni itu. Sesaat setelah TIM berdiri, forum-forum bergengsi digelar, menjadi magnet bagi seniman-seniman untuk bertemu secara kreatif.
Forum-forum itu dikelola secara profesional dengan sosok-sosok berpengaruh di baliknya (baca peran Sal Murgiyanto dan Suka Hardjana dalam dimensi seni pertunjukan). TIM kemudian menjadi rujukan.
Seniman-seniman dari daerah berlomba-lomba untuk dapat berpentas dan berpameran di TIM. Terlebih letaknya di Jakarta, menguntungkan secara publikasi lewat pemberitaan di berbagai media masa nasional.
Pada dekade tahun 1970-1980-an, di Indonesia belum ada tempat serepresentatif TIM. Daerah-daerah lain masih tertatih-tatih mencari format ideal dalam membentuk ruang-taman-berkesenian. TIM menjadi model rujukan, yang di tahun-tahun sesudahnya melahirkan "TIM-TIM" lain di banyak daerah di Indonesia.
Bagi warga Jakarta, mengunjungi TIM adalah aktivitas yang menyenangkan. Bukan semata hendak mencari hiburan, melainkan juga detoksifikasi dari berbagai persoalan yang ada. TIM terdiri dari panggung pementasan, galeri untuk pameran, lembaga pendidikan, bioskop, dan planetarium.
Semua itu dimaksudkan untuk memberikan teladan berharga bahwa berkesenian bukan semata urusan estetika, melainkan juga pendidikan yang mencerdaskan.
Beberapa tahun kemudian dibangunlah Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang juga berada dalam satu kompleks TIM. Bagi seniman daerah, tak lengkap kiranya berkunjung ke Jakarta tanpa mampir ke TIM. Tak harus melihat pameran, pertunjukan, ataupun film, cukup dengan hanya nongkrong, bertemu seniman lain, ngobrol sambil minum secangkir kopi panas di lingkungan TIM adalah sebuah kenikmatan tersendiri. TIM menjadi rumah yang ramah bagi siapa pun, tanpa batas status dan golongan.
Kini, 50 tahun sudah TIM berdiri. Telah melewati berbagai peristiwa di negeri ini, dari satu pemimpin ke pemimpin lain. TIM menjadi saksi penting bagi detak hidup kebudayaan di Jakarta dan Indonesia pada umumnya.
Ali Sadikin melihat Jakarta secara bijak. Gebrakannya mendirikan TIM adalah sebuah pencapaian yang monumental. Sayang semangat itu tak lantas diikuti oleh generasi gubernur-gubernur sesudahnya.
Mereka terlalu sibuk mengurusi Jakarta dalam berbagai hal, tetapi menihilkan peran kebudayaan dan seni. TIM bukan hanya menjadi milik warga Jakarta, melainkan juga Indonesia.
Di kala pamornya semakin surut, gedung-gadung baru bermunculan, berbagai alternatif berkesenian silih berganti lahir, TIM tetap bertahan hingga kini. Setidaknya ia mengekalkan sebuah lakon tentang perjuangan, doa, tanggung jawab, dan semangat dalam membentuk manusia yang berbudaya luhur.
Di kala Jakarta kehilangan rasa empati, sebuah kearifan hidup, Ali Sadikin menghadirkan TIM. Di kala hari ini kita terlalu gaduh dengan berbagai hal, terlalu sibuk saling menyalahkan, saling membenci satu dengan yang lain, tak ada salahnya kita mengingat arti penting hadirnya TIM sebagai misi penyadaran.
TIM dibangun agar manusia Indonesia menjadi pribadi yang lebih beradab. Hasrat dalam membangun TIM diikuti dengan laku serius memajukan kebudayaan yang kini sayup-sayup semakin tak terdengar, tertutup oleh berbagai kepentingan yang cenderung banal.
TIM hadir setengah abad lalu, membekukan ingatan kita bahwa di balik riuh ramainya Jakarta, ada rumah untuk merenung, berkontemplasi, dan menyadari tentang siapa dan dari mana kita berasal. TIM menjembatani semua itu sejak 50 tahun lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar