Kongres Perempuan Indonesia Pertama berlangsung di Yogyakarta pada 22 Desember 1928. Kemudian, oleh Presiden Soekarno, tahun 1953 ditetapkan sebagai Hari Ibu dan diperingati sampai hari ini.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Pawai akbar yang diinisiasi Gerakan Masyarakat untuk Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menyusuri Jalan Medan Merdeka Barat menuju ke Taman Aspirasi di depan Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (8/12/2018). Pawai ini sebagai bentuk desakan kepada DPR dan Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sejak 2014, Indonesia sudah pada status darurat kekerasan seksual.

Berbeda dari Hari Ibu di banyak negara yang merupakan hari untuk menghargai jasa para ibu bagi keluarga, Hari Ibu pada 22 Desember merupakan peringatan perjuangan politis perempuan mendapatkan kesetaraan. Kongres ini juga harus dilihat dalam rangkaian gerakan membangun kesadaran menuju Indonesia merdeka, yaitu Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Pada awal abad ke-20, meski pemerintah kolonial Belanda menyenggarakan Politik Etis, banyak anak perempuan tak mendapatkan kesempatan belajar, seperti anak laki-laki. Meningkatkan kesempatan anak perempuan mendapatkan pendidikan menjadi salah satu rekomendasi kongres pada pemerintah kolonial, selain tuntutan memperbaiki kedudukan perempuan dalam perkawinan serta hak perempuan dalam perceraian dan perkawinan. Setelah Kongres Perempuan Pertama berlalu 90 tahun, banyak kemajuan dicapai perempuan Indonesia.

Anak perempuan mendapat kesempatan belajar sama seperti anak laki-laki. Perempuan berada di berbagai lapangan pekerjaan, termasuk yang dianggap sebagai dunia laki-laki. Meski demikian, sumbangan pendapatan perempuan secara nasional menurut Badan Pusat Statistik (BPS) masih 36,62 persen pada 2017.

Sebelumnya, DPR dan pemerintah melahirkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-undang ini memberikan perlindungan bagi relasi yang terjadi di dalam rumah tangga.

Kita boleh berbesar hati akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang membedakan usia bisa menikah antara perempuan dan laki-laki, yaitu 16 tahun dan 19 tahun. Dalam waktu tiga tahun pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang dapat memperbaiki pasal mengenai usia menikah.

Keputusan MK itu membuka peluang bagi masyarakat untuk meminta pemerintah dan DPR menaikkan batas usia menikah yang diperjuangkan beberapa organisasi perempuan selama ini.

Yang sekarang sedang ditunggu segera selesai pembahasannya oleh pemerintah dan DPR adalah undang-undang penghapusan kekerasan seksual. Terus berulangnya kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan anak menjadi pendorong pembahasan undang-undang ini.

Dengan telah adanya undang-undang yang melindungi perempuan dan anak, sebagian cita-cita Kongres Perempuan Indonesia Pertama sudah terpenuhi. Tantangannya adalah melaksanakan undang-undang itu. Perkawinan anak perempuan di bawah usia 16 tahun, misalnya, masih terjadi meskipun dilarang UU Perkawinan.