Kepala BPS Kecuk Haryanto baru saja mengeluarkan Laporan Potensi Desa yang pendataannya dilakukan pada Mei 2018 dengan judul "Hasil Pendataan Potensi Desa 2018".

Buku laporan ini memuat hasil pendataan potensi desa yang merupakan kegiatan sensus terhadap seluruh wilayah administrasi terendah setingkat desa/kelurahan, termasuk pendataan di kecamatan dan kabupaten/kota. Pendataan yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dilakukan tiga kali tiap 10 tahun, mendahului kegiatan Sensus Penduduk 2020. Pendataan tahun 2018 dianggap sebagai pendataan terakhir menjelang Sensus Penduduk 2020.

Tujuan pendataan, selain mengumpulkan informasi dasar untuk Sensus Penduduk 2020, juga menghasilkan data potensi desa/kelurahan berupa data sosial, ekonomi, sarana dan prasarana wilayah, klasifikasi/tipologi desa, dan melengkapi data guna membentuk indeks pembangunan desa. Pendataan yang dilakukan mencakup 83.931 wilayah administrasi setingkat desa, meliputi 75.436 desa yang terdiri dari 74.517 desa dan 919 nagari di Sumatera Barat, 8.444 kelurahan, serta 51 unit permukiman transmigrasi atau satuan permukiman transmigrasi.

Pada awal 2018, dibandingkan 2014, BPS mencatat terjadi penambahan potensi desa/kelurahan sebanyak 1.741 desa. BPS mencatat potensi desa/kelurahan wisata mengalami kenaikan sebanyak 1.734 desa.

Indeks pembangunan desa yang dikembangkan terdiri atas lima jenis, yaitu ketersediaan pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, aksesibilitas/transportasi, pelayanan umum, dan penyelenggaraan pemerintahan. Indeks tersebut membagi desa menjadi tiga kategori, yaitu desa mandiri, desa berkembang, dan desa tertinggal.

Membesarkan hati

Dengan dikucurkannya dana desa sejak 2015 langsung ke desa sebanyak Rp 187 triliun, dikawal oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa), terjadi kemajuan desa yang luar biasa.

Dibandingkan keadaan pada 2014, terjadi kemajuan yang membesarkan hati karena jumlah desa mandiri telah meningkat dari 2.894 desa (3,93 persen) pada 2014 menjadi 5.559 desa (7,55 persen) pada 2018, kemajuan hampir 200 persen. Ini kemajuan yang sangat tinggi. Sebaliknya, desa tertinggal menurun dari 19.750 desa (26,81 persen) pada 2014 menjadi 13.232 desa (17,96 persen) dari seluruh jumlah desa di Indonesia: penurunan yang dramatis.

Sementara jumlah desa berkembang meningkat dari 69,26 persen (2014) menjadi 74,49 persen (2018) atau sebanyak 54.479 desa. Ini berarti bahwa desa tertinggal berkurang hingga 5.918 desa, sementara desa mandiri bertambah sebanyak 2.865 desa. Sudah sepatutnya kita membuka mata bahwa sesungguhnya dalam tiga tahun program pembangunan desa dan masyarakat desa yang dikawal oleh Kemendesa telah terjadi kemajuan yang luar biasa.

Pembangunan yang dibiayai oleh dana desa juga dikembangkan untuk sarana desa, seperti jalan, jembatan, dan sarana umum lain, seperti pasar desa. Juga sarana kebutuhan dasar, seperti klinik dan fasilitas umum lain.

Pembangunan ini rupanya juga merangsang masyarakat desa membangun sarana tambahan, seperti rumah obat atau apotek. Juga sarana pelayanan modern lain, seperti tempat penjualan elpiji untuk keperluan umum yang meningkat karena penduduk makin menikmati hidup modern. Karena itu, dalam rentang tiga-empat tahun terakhir, yakni sejak pendataan tahun 2014 hingga saat ini (2018), terjadi kemajuan pada hampir semua dimensi desa.

Kemajuan yang cepat terjadi pada dimensi pemerintahan itu secara otomatis terangsang karena harus melayani masyarakat yang makin modern berkat adanya pembangunan berbagai sarana desa yang gegap gempita. Dimensi pelayanan dasar relatif lamban karena masyarakat perlu belajar menjadi masyarakat modern, misalnya dengan kehidupan "baru" yang harus buang kotoran tidak lagi di halaman rumahnya.

Kemajuan itu, misalnya, juga terlihat pada ketersediaan lembaga pendidikan setara SMA yang meningkat 14 persen, kemudahan akses ke apotek yang meningkat drastis 54 persen, kemudahan akses rumah sakit meningkat 20 persen, penjualan elpiji meningkat 14 persen, penggunaan jamban naik 26 persen, penggunaan layanan pos meningkat 59 persen, dan fasilitas olahraga naik 8 persen. Sementara di sisi lain, gizi buruk turun 29 persen, desa dengan kejadian luar biasa turun 6 persen. Adapun otonomi desa naik 50 persen, desa dengan sekretaris desa naik 13 persen, dan pendidikan kepala desa minimum lulusan SMA naik 10 persen.

Masih nyaman

Yang masih banyak dikeluhkan adalah banjir (19.675 desa/kelurahan), tanah longsor (10.246 desa/kelurahan), gempa bumi (10.115 desa/kelurahan), kekeringan (8.587), angin puyuh/puting beliung/topan (7.251), kebakaran hutan (4,394). Peristiwa-peristiwa tersebut selalu menyebabkan rakyat sangat prihatin biarpun tiap-tiap daerah telah berusaha memiliki prasarana seperti sistem perintah dini bencana alam, perlengkapan kesetaraan jender, sistem peringatan dini, dan jalur evakuasi.

Dari kondisi itu, BPS menyimpulkan bahwa jumlah desa yang mengalami pencemaran selama satu tahun terakhir ini masih relatif rendah karena sebanyak 61.891 desa dianggap tidak ada pencemaran, biarpun ada sekitar 16.847 desa/kelurahan memiliki pencemaran air, 2.200 desa/kelurahan mengalami pencemaran tanah, dan 8.882 desa/kelurahan terkena pencemaran udara. Melihat jumlah desa yang terkena pencemaran itu, umumnya desa di Indonesia masih bebas dari pencemaran apa pun dan tetap nyaman untuk permukiman.

Dari segi gangguan, BPS mencatat, pengaruh narkoba merambah 14,99 persen desa di Indonesia dan 3,75 persen desa menjadi lokasi perkelahian antarpemuda atau penduduk sekitarnya. Dari kondisi hasil pendataan tahun 2018 dapat diambil kesimpulan bahwa tinggal di desa di Indonesia masih nyaman dan menyenangkan. Lebih-lebih dengan adanya pembangunan dan mengalirnya dana desa yang melimpah langsung ke desa di seluruh Indonesia. Mari beramai-ramai tinggal di desa.