Minggu lalu, masyarakat Bali dikejutkan sebuah berita dari Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang populer ini. Kabarnya, kawasan Teluk Benoa di Bali Selatan terbuka lagi untuk reklamasi.
Bali pun kembali tersentak. Sebab, beberapa bulan lalu kawasan itu telah dinyatakan tertutup bagi reklamasi dan proyek pembangunan pariwisata terkait. Proyek pembangunan kawasan wisata raksasa (700 ha) supermewah ala Dubai ini diajukan berapa tahun yang lalu oleh jaringan investor nasional dan internasional mahakuat. Oleh karena itu, sulit ditangkal.
Keputusan pembatalan itu diambil menyusul demonstrasi besar-besaran yang melanda "Pulau Dewata" dalam rentang waktu empat tahun lebih.
Mengapa proyek pariwisata yang menjanjikan tak kurang dari 200.000 kesempatan kerja di Bali ditentang keras sebagian besar masyarakat. Beberapa tokoh antireklamasi, di antaranya putri seorang anggota DPR, bahkan menyatakan dirinya siap "puputan", meneruskan tradisi perlawanan Bali pada 1906, 1908, dan 1946. Lontaran ini mesti dibaca arif.
Alasan penolakan itu amat sederhana: di antara para penentang memang ada yang mengatasnamakan ekologi, suatu perjuangan modern di tengah kerusakan lingkungan dunia. Ada juga yang digerakkan apa yang disebut kesakralan kawasan Benoa—suatu perjuangan religius tradisional.
Tetapi, kenyataan mendasar ialah bahwa proyek tersebut mengancam keseimbangan keseluruhan tatanan sosial Bali. Mengapa? Bukankah ada janji? Konon 200.000 kesempatan kerja bakal terciptakan jika proyek itu rampung.
Namun, menurut perkiraan, Bali hanya mampu mengisi 30.000 di antara pos kerja tersebut. Di situlah masalahnya. Dengan menghitung anggota keluarga dan migran lainnya, tak kurang dari 1 juta orang non-Bali dapat diajak masuk untuk menempati posisi kerja yang disediakan.
Hal ini dengan sendirinya akan mengubah keseluruhan wajah politik, etnis, dan religius pulau. Sesuatu yang sulit dipaksakan pada masyarakat apa pun.
Kasus Bali ini mesti dilihat di dalam perspektif lebih luas, yaitu perspektif pembangunan kapitalistis modern. Tak tersangkal bahwa sistem kapitalis modern menciptakan sirkulasi modal, manusia, dan pengetahuan yang dapat memperkokoh kesatuan nasional. Bahkan, kini sudah diakui semua sejarawan: negara bangsa terlahir pada abad 17-18 dari institusionalisasi kapitalisme di dalam ruang geografis tertentu.
Namun, wujud konkret rasa berbangsa itu tidak sesederhana apa diduga orang. Peneguhan rasa berbangsa oleh kapital itu hanya terjadi jika kapitalisasi
cukup merata secara geografis dan etno-religius. Jika kelompok tertentu terlalu diuntungkan dan kelompok lain (kelompok etnis, kelompok tertinggal) sebaliknya tersisihkan, perluasan ruang kapitalisasi justru tidak mempererat hubungan berbangsa. Sebaliknya, justru memperlemah.
Indonesia adalah negara yang sudah "makan garam" dan semestinya mau belajar dari pengalaman pahit di Aceh bahwa "pembangunan" tidak akan berhasil jika tidak merangkul elite-elite lokal di dalam sistemnya.
Dari Sampit, Poso, dan kini Papua, negara tercinta ini
semestinya sudah juga belajar bahwa "pembangunan" yang menguntungkan pendatang (para manajer dan aneka ragam tukang) dan sebaliknya menyisihkan penduduk lokal (yang tertinggal dan berpendidikan rendah) cenderung menebarkan ketegangan dan konflik etno-politik.
Jadi, para teknokrat Jakarta lainnya semestinya menyadari, jika kapital itu bisa konstruktif serta menciptakan pengetahuan, keterampilan, dan kemakmuran, tetapi kapital juga dapat bersifat destruktif, bermuara pada konflik. Kapital itu bak kuda: tanpa pelana dan pecut, dia binatang liar. Dengan pelana, pecut, dan penunggang lihai, dia menjadi sekutu manusia paling disayangi.
Agaknya Bali cukup kuat, cukup berdaulat, dan disokong elite-elite cukup canggih untuk menolak ragam pembangunan kapitalistis yang dianggapnya mengancam jati diri. Tetapi, bagaimana dengan pulau-pulau di timur Bali yang direncanakan menjadi ladang investasi besar-besaran pariwisata tahun-tahun mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar