Satu hal yang sering terlupakan dalam peringatan Hari Nusantara, juga dalam pembahasan hak Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dunia, adalah pembahasan tentang hak dan pengelolaan ruang udara yang menjadi luas karena adanya perluasan perairan Indonesia.
Di Indonesia pernah terdapat pandangan yang mempertanyakan apa urusannya hukum laut mengatur ruang udara. Ruang udara adalah rezim khusus: jangan ikut campur!
Memang benar, ruang udara berada di bawah rezim hukum udara dengan dasar Konvensi Chicago 1944. Namun, konvensi ini jelas dibuat oleh para imperialis yang tidak mengakui prinsip negara kepulauan.
Konvensi Chicago 1944 memberikan kedaulatan "complete and exclusive" di ruang udara (Pasal 1) secara tidak "complete", yaitu hanya di atas pulau dan laut teritorial saja (Pasal 2). Dan, jelas bahwa konvensi ini tidak memberikan laut teritorial selebar 12 mil laut dari garis pangkal.
Sementara UNCLOS 1982 telah menciptakan ruang-ruang baru bagi kedaulatan negara, yaitu di atas laut pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial 12 mil laut beserta dasar laut dan seisinya serta ruang udara di atasnya. Konvensi Chicago 1944 yang diklaim sebagai dasar hukum hak kedaulatan di ruang udara jadi ketinggalan zaman.
Pada 1984, Sekretariat ICAO (Organisasi Penerbangan Sipil Internasional) hanya menyusun studi implikasi UNCLOS 1982 terhadap Konvensi Chicago 1944, dan menyimpulkan bahwa "Tanpa perlu mengubah Konvensi Chicago, Pasal 2 memiliki arti bahwa teritori suatu negara meliputi daratan, laut teritorial, dan perairan kepulauan".
Meski demikian, hal ini tidak mengikat secara hukum. Indonesia pada 2008 mengusulkan amandemen Pasal 2 Konvensi Chicago melalui Sidang Ke-33 Komite Hukum ICAO (Dokumen LC/33-WP/4-7 17/04/08). Usulan ini tampaknya belum mendapatkan tanggapan berarti.
Dalam forum ICAO, Indonesia sudah tidak menjadi anggota dewan sejak 1998. Indonesia telah gagal keenam kalinya pada pemilihan Dewan ICAO (Cat-III) 2016.
Sementara dalam diplomasi maritim, Indonesia telah menjadi anggota Dewan IMO (Cat C) (Organisasi Maritim Internasional) sejak 1983 hingga hari ini (35 tahun). Posisi Indonesia dalam dewan lebih dari separuh masa keanggotaan di IMO, yaitu 57 tahun (sejak 1961).
Dari sisi keselamatan navigasi kemaritiman, Indonesia memiliki kepemimpinan dalam pembentukan "cooperative mechanism" yang dimulai dengan pertemuan tiga menteri luar negeri Selat Malaka dan Singapura di Batam pada 2005, yang diikuti dengan Jakarta Meeting 2005, Kuala Lumpur Meeting 2006, dan Singapore Meeting 2007. Hasilnya adalah suatu mekanisme kerja sama regional yang didukung negara pengguna dan organisasi internasional yang relevan, yaitu IMO.
Di sisi keamanan maritim, panglima angkatan bersenjata dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura memiliki kesepakatan bersama untuk berbagai jenis saling tukar informasi kondisi laut di Selat Malaka dan Singapura, termasuk pola patroli terkoordinasi. Sementara kegiatan latihan keamanan laut multilateral yang dilakukan TNI AL telah menjadi suatu kegiatan internasional yang banyak ditunggu oleh berbagai angkatan laut negara di kawasan ini dan juga di Eropa.
Keniscayaan
Dalam menghadapi ancaman baru di laut, yaitu keterkaitan antara IUUF (illegal, unreported, unregulated fishing) dengan tindakan kriminal yang bersifat transnasional, Indonesia juga memimpin dengan upaya pembentukan suatu instrumen hukum internasional tentang tindakan kriminal di rantai pasok perikanan.
Dengan dinamika pencanangan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dan penyusunan Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI), berbagai langkah diplomasi maritim yang telah dilakukan pada tingkat regional dan global, baik dari sisi strategis pertahanan maupun keselamatan pelayaran dan lingkungan hidup, jadi semakin terstruktur. Terlebih, Indonesia punya kewajiban hukum sesuai dengan KKI untuk membentuk suatu buku putih tentang diplomasi maritim.
Sebaliknya, diplomasi dirgantara Indonesia masih belum memiliki bentuk dan arah yang jelas. Di sisi lain, Indonesia adalah negara yang memiliki ruang udara yang sangat luas dan di kawasan yang sangat strategis, memiliki industri strategis dirgantara yang mampu bersaing di tingkat global, memiliki industri transportasi udara yang berkembang jauh lebih pesat daripada industri transportasi laut, dan bandara yang lebih sibuk daripada Singapura dan New York.
Diplomasi maritim Indonesia selama ini yang telah mampu membuat Indonesia menjadi anggota Dewan C IMO selama lebih dari tiga dekade terus-menerus perlu ditularkan ke dalam diplomasi dirgantara Indonesia.
Indonesia sebenarnya memiliki modal yang kuat di bidang industri strategis udara, industri transportasi udara, industri infrastruktur udara, keselamatan penerbangan, dan keamanan penerbangan.
Kekuatan ini perlu dirinci berbagai elemennya, diperkuat, disinergikan, dan diarahkan ke ruang diplomasi bilateral, regional, dan global. Permasalahan keselamatan penerbangan seyogianya dilihat dari konteks yang lebih luas dan tidak hanya kasus per kasus, tetapi dalam konteks Indonesia sebagai negara dengan sejumlah kekuatan dirgantara di atas.
Ruang diplomasinya pun perlu diperluas. Tak hanya dalam konteks antar-negara, juga dengan industri penerbangan global sehingga Indonesia mampu melangkah ke depan sebagai salah satu pusat sertifikasi, pelatihan, dan bisnis MRO (maintenance, repair, and overhaul) pesawat udara di kawasan Asia-Pasifik.
Kiranya, diplomasi ekonomi tak lagi berada pada pengertian ekspor-impor dan investasi, tetapi juga membuat Indonesia sebagai pusat penyedia jasa global, termasuk jasa industri udara.
Diplomasi dirgantara Indonesia adalah keniscayaan bagi kita. Apakah kita akan terus berada di pinggir lapangan pengambilan keputusan strategis ICAO pada saat banyak anggota Dewan ICAO bahkan berada jauh di luar peringkat negara dengan bandara tersibuk di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar