Tsunami lebih kompleks dibandingkan bencana alam lain, seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan, atau "hanya" gempa bumi. Tsunami mengisap hampir semua yang ada di darat dan mengempaskannya ke laut. Ia menghanyutkan segalanya: harta benda, tempat tinggal,  dokumen berharga, nyawa, dan kenangan. Tsunami memberikan dampak derita meluas bagi masyarakat dan wilayahnya.

Contohnya, bencana gempa dan tsunami Aceh dan Nias pada 26 Desember 2004 dengan kekuatan 9,1 skala Richter (SR) telah menjadi momen duka dunia. Katastrofi tsunami itu menarik perhatian dunia untuk berkomitmen memberikan bantuan lebih dari 7 miliar dollar AS hanya dalam satu bulan setelah bencana.

Meskipun tsunami yang terjadi pada 26 Desember tersebut berdampak terhadap 14 negara Asia dan Afrika, komitmen filantropi global terbesar diberikan kepada Indonesia (Aceh).

Tsunami yang mengharu biru jiwa dan raga tersebut telah menyebabkan lebih dari 185.000 jiwa melayang dan hilang (dari total 230.000 jiwa korban di seluruh dunia).

Tahun tsunami

Tahun ini dapat dikatakan sebagai tahun tsunami dengan korban terbesar sepanjang lima puluh tahun belakangan (kecuali Aceh).

Bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018 berkekuatan 7,7 SR telah menewaskan 2.113 jiwa dan lebih 1.300 orang hilang, sebagian oleh likuefaksi atau pencairan tanah. Adapun tsunami di Selat Sunda yang "hanya" bermagnitudo 5 telah menyebabkan 429 meninggal dan 154 hilang. Korban terbanyak di Kabupaten Pandeglang, Banten.

SUPRIYANTO

.

Dua bencana ini bukan tidak terprediksi. Bencana di sesar Palu-Koro telah diulas panjang lebar di media ini (Kompas, 31/5/2017). Adapun riset bencana tsunami di Pandeglang sudah disiarkan kepada publik pada bulan April lalu.

Anehnya, riset ancaman tsunami "57 meter" ditolak keilmiahannya dan dipolisikan karena dianggap meresahkan publik. Dampak besar bencana terjadi, salah satunya, karena meminggirkan hasil penelitian saintifik. Penyesalan baru terjadi ketika bencana membuat segalanya berantakan.

Hal yang juga menggelisahkan adalah tidak ada perubahan pada pola pencegahan, kesiapsiagaan, dan mitigasi bencana. Padahal, perangkat regulasi telah dipersiapkan untuk meneguhkan kebijakan antisipatif dan responsif.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana bertujuan mengorganisasikan perangkat negara untuk mengantisipasi dan mengurangi risiko bencana seminimal mungkin.

Adapun UU No 31/2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika berfungsi mendayagunakan data, penelitian, dan teknologi demi memperbesar keselamatan manusia dan harta benda dari kerusakan akibat bencana alam. Sayangnya, undang-undang itu hanya menjadi lampu kristal yang rapuh dan tak mengilaukan.

Setelah bencana tsunami Palu-Donggala, baru diketahui alat deteksi dini tsunami di laut dalam (bouy) di perairan laut kita ternyata sudah lama tidak berfungsi.

Dalam bencana tsunami di Selat Sunda yang terjadi pada akhir pekan ketiga Desember 2018, di saat banyak orang sedang menikmati liburan menjelang akhir tahun, peringatan yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial tidak banyak bermanfaat karena dalam waktu lima menit tsunami telah memorakporandakan daratan.

Artinya, energi bangsa melalui kurva kecerdasan dan resultan teknologi belum bermanfaat mencegah dan mengurangi risiko kerusakan akibat tsunami. Kesejahteraan sosial dan ketahanan nasional masih labil dipukul oleh bencana.

Deklinasi kultural

Yang tak kalah penting untuk diperhatikan dari bencana skala besar seperti tsunami ialah munculnya deklinasi kultural dari level negara-lembaga donor yang berdampak atas masyarakat.

Berangkat dari kasus rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami, pola pembangunan yang terlalu determinan pada kapitalisasi bantuan dan supervisi lembaga donor telah memperkecil modal sosiokultural, melemahkan solidaritas sosial, dan menyebabkan semakin rendahnya penghargaan pada folklor dan pengetahuan lokal untuk bangkit dari keterpurukan.

Itu terlihat dari matra "membangun kembali menjadi lebih baik" (build back better). Slogan pembangunan yang digerakkan oleh industri pembangunan global ini (Bank Dunia, lembaga donor global, dan negara-negara penyedia bantuan) secara tak sadar memacu alter ego; meremehkan kemampuan komunitas lokal untuk mendesain kampung, rumah, dan ingatan sosialnya secara harmoni.

Rekonstruksi di Aceh dilabeli sebagai model "pembangunan progresif" di dunia karena "sukses" melakukan rekonstruksi di daerah yang baru terdampak konflik militer cukup lama.

Namun, sayangnya, ia tidak menjadi model ideal-berkelanjutan. Inisiatif perdamaian tidak membentuk karakter demokrasi lokal.

Representasi politik dan "demokrasi partisipatif"-nya malah membuka pintu teka-teki yang berkamar-kamar berupa konflik, eksploitasi, ketidakadilan, dan penyalahgunaan kekuasaan (Aspinal, 2009; dan Daly dkk, 2012).

Kata progresif yang digunakan saat rekonstruksi masa itu begitu ironis, kira-kira berbunyi "jangan terlalu melihat masa lalu yang hilang, tapi kejar masa depan baru yang menjulang".

Politik pasifikasi memperburuk mental kerja dan berdampak juga pada lembaga bentukan pemerintah.

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias yang bertugas membangun kembali Aceh pun bekerja dengan logika business as usual dalam mendesain bantuan.

Alih-alih mematutkan diri sebagai representasi kedaulatan nasional, BRR Aceh-Nias malah tercitra sebagai perpanjangan tangan kuasa internasional ketika mengimplementasikan bantuannya. Sebagian pekerjanya adalah mereka yang telah tertungkus-lumus di Bank Dunia dan lembaga-lembaga asing.

Akibatnya, timbul "luka baru" karena visi infrastruktur membuat cacat lingkungan. Demikian pula model "pengembangan kapasitas" bercita rasa impor.

Lembaga-lembaga donor memang memperlihatkan perbedaan kinerja, tetapi sesungguhnya seragam dengan visi yang sangat neoliberalistik. Politik bantuan seperti itu memberikan kerapuhan pada pengetahuan lokal dan resiliensi sosial (Patrick Daly dkk, Blueprints for Change in Post-Tsunami Aceh, Indonesia, 2016).

Aceh telah usai dengan rekonstruksinya dan kini era rehabilitasi Palu dan Donggala baru saja dimulai. Sementara bencana tsunami Selat Sunda (Banten dan Lampung) masih meninggalkan kerawanan dan kegamangan di masa tanggap darurat. Jangan sampai gempa dan tsunami fisik menciptakan tsunami sosiokultural pada tahap rekonstruksi. Erupsi sosiokultural-ekologis akan menjadi bencana baru jika tidak diantisipasi sejak dini.

Bencana harus mampu bertransformasi secara konstruktif. Kehilangan dan kesedihan harus berganti harapan. Jangan sampai menghapus luka dengan duka ketika mengimplementasikan politik bantuan.

Di tepi keheningan laut, energi sosial dan pengetahuan lokal-etnografis harus menjadi panglima dalam membangun kembali kampung-kampung yang rusak di Sulawesi Tengah, Banten, dan Lampung akibat tsunami. Itulah pagar kampung (pageu gampong) sebenarnya.