"Life is what happens to You while You're busy making others plans (Hidup adalah apa yang terjadi pada Anda saat Anda sedang sibuk membuat rencana lain)." –John Lennon

Disadari atau tidak, kutipan ungkapan di atas berlaku untuk siapa pun. Tak terkecuali untuk Indonesia.

Sementara membahas mimpi-mimpi indah dan banyak lagi rencana tentang masa depan, tetapi apabila dalam realitasnya dilakukan dalam kerangka melanjutkan ketersesatan "way of thinking" dan tidak merasa kalau terbelenggu residu masa lalu, akan menjadi kontraproduktif, bahkan lalai, lengah, dan terlena bahwa tetangga kita sudah berpacu dalam menata diri dan memanfaatkan peluang-peluang zaman yang didorong oleh berbagai faktor perubahan.

Negara-negara lain telah berhasil menata kembali "negara-bangsa" yang dikelolanya untuk masuk dalam integrasi global secara elegan dan percaya diri. Kita juga menyaksikan bagaimana "pertempuran" "Market Forces" versus "Government Forces". Peran pemerintah semakin hari semakin berkurang karena diambil alih oleh mekanisme pasar.

Terlebih apabila pemerintah lambat, tidak efisien, ditambah lagi korup, maka persoalan negara gagal bukan hal yang mustahil, bahkan bisa jadi berimbas pada terancamnya eksistensi negara-bangsa itu sendiri. Sebab, pemerintah semacam itu tidak hanya akan menjadi beban bagi rakyatnya, tetapi juga bagi keseluruhan sistem.

Potret internal bangsa

Dirasakan atau tidak, sesungguhnya dalam diri bangsa ini ada kesalahan mendasar, yaitu ketika dibangun tanpa akal sehat. Contoh, kalau Tap MPR—sebuah produk hukum resmi negeri ini—ternyata memaksakan logika sesat kepada setiap orang, termasuk anak-anak sekolah akan mendapat rapor merah apabila tidak menjawab seperti berikut: "Bung Karno terlibat G30S. G30S kudeta.

Kudeta terhadap pemerintah yang sah. Pemerintah yang sah dipimpin oleh Bung Karno. Bung Karno tahanan rumah", dan masih banyak lagi contoh lain.

Tidak heran kalau akhirnya terjadi penurunan kualitas budaya yang ditandai oleh suatu rigiditas (kekakuan) pada hampir semua sisi kehidupan, tak terkecuali dalam kehidupan bermasyarakat, teknologi (tak peduli dengan ekosistem), dan bahkan dalam beragama, sehingga bangsa ini semakin sulit untuk merespons perubahan zaman.

Hilangnya fleksibilitas ini juga dibarengi hilangnya keharmonisan yang mengarah pada perpecahan sosial. Padahal, kita tahu, bahwa kepunahan suatu peradaban ditandai kegagalan fungsi entitas-entitas pembentuk tatanan sosial, seperti pemerintahan (birokrasi), masyarakat (agama), pelumas perekonomian (perbankan), dan keteladanan sosial.

Kentalnya perilaku negara otoriter di masa lalu hingga kini juga masih menyisakan sikap birokrasi pemerintahan yang menggunakan kewenangannya dengan kesewenang-wenangan, dibarengi budaya suap dari meja ke meja, yang dipermaklumi secara bersama sehingga membudaya.

Alhasil, terbentuklah mentalitas birokrasi yang mengidap penyakit "kleptomania". Masih banyak lagi buruknya perilaku alat negara, tak terkecuali di lembaga peradilan yang tidak lagi didasarkan etika moral. Kebenaran sering kali dikalahkan oleh prosedur, yang sejujurnya inilah kesengajaan atau rekayasa.

Sementara, di sisi lain, masyarakat dininabobokan oleh ajaran sesat yang diatasnamakan sebagai ajaran agama. Tidak sedikit di antara pensyiar agama yang menawarkan surga-neraka, mengajarkan manusia untuk berdoa memohon surga, tetapi ketika ada kesempatan untuk segera masuk surga, mereka enggan dan cepat-cepat menolaknya. Sebuah kontradiksi yang mendorong suburnya sikap kemunafikan.

Bangsa ini juga terlalu lama membiarkan sejumlah proses edukasi yang lebih mengutamakan agar anak didik punya bekal pengetahuan untuk kehidupan di akhirat (setelah mati), tanpa memberi bekal keterampilan dan atau keahlian yang cukup untuk menghadapi kehidupan nyata di dunia nyata.

Kondisi tersebut diperparah oleh praktik dunia perbankan, yang seharusnya sebagai pelumas roda perputaran sektor riil justru menjadi rentenir dan pengisap darah perekonomian, yang sering justru mencekik rakyat.

Pendek kata, ibarat keluarga, bangsa ini sedang dilanda krisis kebersamaan, krisis kepercayaan, krisis harmoni, dan juga krisis kebegawanan yang seharusnya ada kalangan yang menjadi panutan dan memberi keteladanan bagi masyarakat luas.

Lalu apa yang harus kita perbuat dalam menyikapi hal tersebut? Apakah kita terus sibuk dengan urusan "tetek-bengek" di dalam negeri yang tidak jelas ujung pangkalnya sehingga tak kunjung usai? Inilah agenda besar bangsa dalam tahun 2019 mendatang.

Padahal, dalam diri bangsa ini banyak sekali keindahan, keagungan, dan kekuatan yang besar untuk melakukan perubahan besar. Apa yang tidak ada di negeri ini? Bukankah berkah Tuhan Yang Maha Esa begitu melimpah ruah, tercurah di negeri ini?

Potret eksternal dunia

Permainan "uang beranak uang" di pasar uang tanpa kegiatan ekonomi secara riil, hanya memperdagangkan uang dan kertas-kertas berharga dengan berbagai turunannya—tidak perlu repot-repot menghadapi masalah sosial sebagaimana dalam bisnis di bidang sektor riil, seperti repotnya perizinan, pemogokan buruh, dan lain-lainnya—akan melahirkan gelembung ekonomi.

Sementara di luar sana, China dengan persiapan yang matang—melalui pabrik-pabrik mereka yang berkolaborasi pemasaran di Amerika dan Eropa—berhasil mendominasi 10 besar pasar modal dunia untuk mengeruk devisa dalam jumlah sangat besar. Kondisi ini membuat AS harus berpikir keras untuk mengimbangi China yang dengan perlahan, tapi pasti akan menggeser peran dollar sebagai mata uang rujukan dunia.

Di sisi lain, perkembangan pesat teknologi telematika, khususnya blockchain dan cryptocurrency—mata uang digital, juga terus berproses untuk menjadi platform transaksi "tanpa batas" di seluruh dunia, menggeser peran uang kertas, perbankan, dan mata uang sejumlah negara, utamanya dollar AS.

Perang mata uang ini akan dan sedang menandai pergeseran peran "negara-bangsa" ke arah yang lebih relevan di kemudian hari, yakni dari negara berbasis politik ekonomi mengarah menjadi negara berbasis budaya sebagai jati diri bangsa-bangsa di dunia.

Arus besar gerakan dunia lainnya adalah munculnya kesadaran bersama masyarakat dunia sebagai sebuah kesatuan entitas. Ibarat tubuh manusia, kalau paru-paru (Indonesia)-nya bengek, bagian tubuh yang lain akan ikut menderita.

Dari sanalah muncul setidaknya ada 10 "kekhawatiran global" yang menjadi agenda bersama seluruh dunia, di antaranya soal perubahan iklim, kesetaraan (jender, suku, ras, agama), dan hak asasi manusia.

Agenda pasca-Pilpres 2019

Dengan penampilan yang oleh sejumlah pihak disebut dengan istilah "plonga-plongo", Presiden Jokowi telah melakukan proses "detoksifikasi" terhadap penyakit kronis yang diderita bangsa ini. Slogan "Kerja… Kerja… Kerja…", dari sisi global sejalan dengan skenario perubahan peradaban yang tengah meninggalkan model "kapitalisme malas".

Maka, sesungguhnya dengan modal yang telah dicapai saat ini, untuk pemerintahan ke depan sepanjang berani membikin sejarah dengan mendobrak realitas yang selama ini membelenggu bangsa, dalam waktu singkat niscaya kita akan tampil sebagai percontohan dan sekaligus mercu suar dunia.

Sebagai bangsa kita memiliki potensi untuk membentuk model ekonomi baru, yaitu people cybernomics melalui proses revolusi kebudayaan. Suatu sistem yang mengembalikan nilai-nilai luhur Nuswantara sebagai falsafah hidup holistik yang sejalan dengan gerakan kembali ke alam (back to nature) untuk penyelamatan bumi dan masalah global lainnya sehingga keluarannya akan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat secara konkret.

Rakyat akan menjadi terorganisasi dalam bentuk semacam korporasi melalui aplikasi telematika. Konsep ini mempertemukan antara kapitalisme dan sosialisme dalam korporasi kerakyatan, walaupun tidak harus berbentuk badan hukum koperasi, secara rigid. Dalam konsep ini, otomatis terjadi persamaan dan pemerataan hak dan kesempatan.

Ke depan kita perlu merajut kembali kebinekaan kita. Dendam lama harus kita akhiri. Ke depan, makna kebinekaan tidak boleh lagi jadi sumber malapetaka bangsa. Maka, Indonesia ke depan adalah Indonesia yang bisa mewadahi semua aliran, golongan, suku, agama, budaya, daerah, kearifan lokal, dan juga segenap anak bangsa tanpa kecuali.

Kita harus memahami bahwa kapitalisme dan komunisme adalah produk peradaban, melalui proses dialektika apa yang dahulu digambarkan Bung Karno tentang Pancasila kini tanpa disadari sudah menjadi realitas peradaban manusia di mana pun.

Maka, yang diperlukan adalah bagaimana bangsa ini bisa merumuskan model kolaborasi baru dalam memainkan geopolitik dan geoekonomi sehingga bangsa ini berperan dalam perdamaian dunia dan rakyat kebagian rezeki serta keadilan dari proses perubahan itu.

Sejarah perjuangan keadilan bangsa- bangsa di dunia sudah menempatkan Indonesia sebagai pemimpin Asia-Afrika yang setiap tahun diperingati di Bandung. Sepatutnya dalam menyambut HUT Ke-74 Konferensi Asia-Afrika (KAA) mendatang, bangsa ini merancang agenda "Bung Karno Milenial" untuk kembali memimpin Asia-Afrika dengan contoh nyata.