Disrupsi Kesantunan
Kata disrupsi sedemikian populer sejak dunia memasuki era Revolusi Industri 4.0. Disrupsi adalah sebuah perubahan fundamental yang bisa menimbulkan kekacauan apabila tidak siap menghadapinya. Dalam KBBI, disrupsi berarti 'hal yang tercabut dari akarnya'.
Situasi politik yang memanas menjelang Pilpres 2019 telah menimbulkan disrupsi kesantunan yang menimpa elite politik, bahkan mulai merambah ke akar rumput. Disrupsi sebagai tercabutnya nilai-nilai kesantunan dari budaya bangsa kita yang adiluhung terformat dalam ucapan dan narasi politik yang sarat kebencian, nyinyir, dan permusuhan. Partai politik dan para elitenya berandil besar dalam perkara ini.
Mulai terjadi pembelahan masyarakat akibat perang opini para elite politik. Fitnah dan disinformasi yang berbau pembunuhan karakter bermunculan, ditujukan kepada pribadi ataupun institusi, baik di pihak pemerintah maupun oposisi. Disrupsi kesantunan sebagai dampak kontestasi politik tidak akan membawa perubahan positif dan kedewasaan politik masyarakat.
Elite politik justru terlibat dalam perdebatan yang tidak substansial, hanya berkutat pada pernyataan dangkal dan sarkastis. Inilah kondisi mencemaskan yang tengah terjadi dan dihadapi bangsa ini.
Budi Sartono Cilame, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
Tanggapan untuk Rizqy Amelia Zein
Terima kasih atas komentar Sdr Rizqy Amelia Zein, dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, dalam rubrik Surat kepada Redaksi (15/12/2018) atas artikel opini saya, "Calo Scopus", di Kompas (10/12/2018).
Tulisan tersebut sebenarnya merupakan kelanjutan artikel saya terdahulu, "Hantu Scopus", di Kompas (21/2/2017) dan "Hantu Scopus Jilid II" (Pikiran Rakyat, 2/2/2018). Sumber inspirasinya tentu saja percakapan saat jamuan makan malam di kota besar yang saya lukiskan pada awal artikel. Namun, harus saya akui, tulisan tersebut dilengkapi informasi dalam tulisan yang diterbitkan The Conversation yang telah viral.
Pada draf awal tulisan sebenarnya saya mencantumkan sumbernya (bukan The Conversation, melainkan laman yang memuatnya, yakni Almi.or.id). Karena informasinya telah diketahui umum dan telah viral, saya putuskan untuk tidak mencantumkan sumbernya.
Sepengetahuan saya, jangankan suatu peristiwa atau kasus, bahkan suatu definisi pun, kalau itu sudah menjadi pengetahuan umum, kita tak perlu lagi mencantumkan siapa perumus definisi tersebut.
Khusus untuk kasus Robert Sternberg yang saya singgung, karena cukup detail, saya cantumkan laman (Eiko-fried.com; www.insidehighered.com) yang menjadi sumbernya pada akhir artikel.
Bagaimanapun, saya mohon maaf jika cara saya menulis dianggap kealpaan. Sekali lagi, terima kasih atas tanggapan Sdr Rizqy Amelia Zein.
Ini pelajaran berharga buat saya untuk menulis secara lebih berhati-hati lagi pada waktu yang akan datang. Kepada Redaksi Kompas, saya ucapkan terima kasih atas pemuatan tanggapan saya ini.
Deddy Mulyana Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
Antologi Puisi "A Skyful of Rain"
Kompas (8/12/2018) halaman 23, "Festival Sastra, Pesan dari Hutan Pinus", bikin saya bangga tentang kegiatan Banjarbaru's Rainy Day Festival selama empat hari (29 November-2 Desember 2018).
Festival di musim hujan ini menggelar pembacaan puisi, cerpen, dan monolog. Meriah dan sukses. Seniman, juga sastrawan, menyatu alami kuyup guyub.
Para penyair yang mengirimkan puisi untuk antologi A Skyful of Rain yang tak bisa datang akan mendapat buku ini satu eksemplar.
Saya mau bertanya kepada panitia, kapan saya sebagai salah satu yang kirim puisi dan lolos dalam penerbitan antologi itu menerima buku tersebut. Sampai 15 Desember 2018, saya belum terima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar