"Jika kita bertengkar tentang masa lalu dan masa sekarang, maka kita telah kehilangan masa depan."
— Winston Churchil
Pembelahan sosial yang meruncing sejak 2014 dan semakin banal hingga kini punya jejak tautologi yang jelas.
Kerusakan dari hilir yang berkelindan dengan cabang-cabang kekisruhan kontestasi politik kemudian menggelegak dan memuntahkan aneka katarsis dalam takaran yang tak sanggup ditanggungkan moral dan akal sehat.
Segregasi sosial itu mendapatkan daya ledaknya ketika para penjaga moral dan intelektual dengan sukacita melibatkan diri dalam pertarungan saling meniadakan. Irasionalitas menggejala akibat pemihakan atau pemujaan berlebihan.
Sengkarut ini laksana wabah, tatkala kian banyak akademisi dan pemuka agama yang tidak risi mengungkap pendapatnya di ruang publik, menanggapi persoalan yang jauh dari kompetensinya. Alih-alih pencerahan, yang mengemuka ke publik malahan fanatisme, hilang daya kritis, dan tumpul nurani.
Dalam hubungan ini, kita diingatkan kaidah kebajikan Aristoteles: pathos, logos, ethos. Pathos menuntut semua argumen harus berdasarkan pada logika lurus dan kuat. Logos mensyaratkan tersedianya data dan fakta yang valid dan kredibel. Ethos merujuk pada otentitisitas penutur, walk the talk, satunya kata dan perbuatan.
Mengutip Pramoedya Ananta Toer: "Seorang intelektual harus adil sejak dalam pikiran." Saat politik menjadi sekadar power game dan bukan sarana meraih kebajikan bersama, maka wabah hampa nalar akan terus berkecamuk. Di sinilah diperlukan kehadiran tokoh-tokoh pembeda, solidarity maker, dengan orisinalitas dan keteguhan membawa pesan kejernihan dan kebersamaan dalam memandu hakikat tujuan berbangsa dan bernegara.
Cacat moral
Polarisasi tajam dalam kontestasi pemilihan umum (pemilu) dan merambah ke tatanan sosial berpangkal dari sistem politik cacat moral. Pertama, reduksi peran semua kekuatan fungsional dan sosial dalam relasi publik-republik. Yang terjadi kemudian unjuk kekuatan, bukan musyawarah. DPR de jure mengklaim wakil rakyat, tetapi secara de facto sesungguhnya hanya kumpulan perwakilan partikularistik dan faksionalistik.
Organisasi kemasyarakatan (ormas), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan golongan fungsional (intelektual, budayawan, petani, nelayan, guru, olahragawan, dan lain-lain) tidak lagi memiliki wakil representatif kecuali terjun langsung masuk partai politik (parpol). Portofolio dan ideologi parpol yang serba pragmatis mustahil dapat memperjuangkan program visioner, melampaui sekat waktu dan kepentingan.
Kedua, dengan kekuasaan riil berpusat pada eksekutif (presiden) dan legislatif (wakil parpol), semua proses hanya menemui tiga kemungkinan: kompromi, transaksi, jalan buntu. Terbengkalainya proses legislasi dari tahun ke tahun mencukupi sebagai bukti kecenderungan itu. Demikian pula dalam pelaksanaan sistem ketatanegaraan kita: kendati menganut sistem presidensial, realitasnya tetap bercirikan multipartai.
Kita menganut sistem bikameral, tetapi dengan mengerdilkan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Anggota DPD yang independen dan merepresentasikan keterwakilan daerah dengan jumlah suara lebih besar dan basis konstituen lebih luas (satu provinsi) dibuat inferior ketimbang wakil partai yang hanya berbasis dua-tiga daerah pemilihan kabupaten/kota. Bangunan politik diskriminatif ini sarat kepentingan, tetapi terus dibiarkan tanpa koreksi fundamental.
Infrastruktur gencar dibangun, tetapi belum tampak perhatian khusus pada kesetaraan dan penguatan the level playing field agar ketimpangan tak makin melebar. Sementara di sisi lain, dua problem besar bangsa: kemacetan deliberasi publik akibat proses politik (political gridlock) dan korupsi masih terabaikan.
Mediasi publik-republik
Indonesia sangat kaya, besar, dan terlampau luas untuk disimpulkan dan dikerjakan oleh satuan rezim. Ia menghendaki peran dan partisipasi aktif semua kekuatan organik dalam rumah besar dan kerja besar "menjadi Indonesia". Generasi pendahulu menjawabnya dengan ikrar untuk bersatu lewat Sumpah Pemuda 1928. Kini, sebagian warga bangsa berupaya mengoyak warisan berharga persatuan dengan politik identitas berbalut SARA (suku, agama, ras, antargolongan) demi kekuasaan belaka.
Rongrongan atas kemajemukan dan Pancasila sebagai simpul pengikatnya menunjukkan kemiskinan dan kekosongan pranata untuk merajut keberagaman yang ada di mana-mana (omnipresent) itu. Penjiwaan agar Pancasila implementatif—dan memang bisa diterapkan—mesti bermula dari penataan bangun politik-ekonomi yang merepresentasikan tujuan berbangsa-bernegara. Kita mendapati bukan hanya tidak ada koherensi dalam kerangka mewujudkan persatuan, melainkan juga maraknya kerja-kerja egosektoral.
Mediasi publik-republik tidak semestinya kosong atau seluruhnya dikooptasi oleh parpol. Sumber dan basis kekuatan kelompok-kelompok otonom akan menipis apabila artikulasi kepentingan tersumbat.
Oto-aktivitas adalah padanan orkestrasi kerja penyelenggara negara. Ia membangun mosaiknya sendiri bermodal keswadayaan dan kebersamaan. Jika eksistensi kelompok otonom yang bertebaran di seluruh penjuru republik terus diimpit kekuatan besar politik-ekonomi tanpa pembelaan semestinya, kita akan kehilangan plasma nutfah inovasi, kreativitas, solidaritas, dan kemandirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar