Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 02 Januari 2019

Kekayaan Intelektual//Bencana dan Merawat Bumi (Surat Pembaca Kompas)


Kekayaan Intelektual

Pada 22 April 2015, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015, nama Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) diubah menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, tanpa kata hak.

Alasannya adalah agar sama dengan penamaan pada organisasi internasional kekayaan intelektual, World Intellectual Property Organization (WIPO) dan nama institusi yang sama di negara lain, misalnya Intellectual Property Office of Singapore (IPOS).

Sampai di sini penghilangan kata hak tidak menjadi masalah. Namun, ada saja pemangku kepentingan di bidang terkait yang secara menyamaratakan telah mengubah semua penamaan "Hak Kekayaan Intelektual" menjadi "Kekayaan Intelektual" tanpa melihat konteksnya.

Ada penggunaan istilah "Kekayaan Intelektual" secara salah kaprah dalam peraturan perundang-undangan: (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No 8 Tahun 2016 tentang Syarat dan Tata Cara Permohonan Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual; dan (2) Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual. Penghilangan kata hak dalam nomenklatur Permen dan PP itu telah menghilangkan makna "hak kekayaan intelektual" atau "intellectual property right" sebagai penamaan dari kekayaan intelektual yang telah diberi hak oleh negara.

Perlu diketahui, perjanjian lisensi hanya bisa dilakukan atas hak kekayaan intelektual atau kekayaan intelektual yang telah memperoleh hak, seperti Hak Cipta, Hak Paten, Hak Merek, Hak Desain Industri, dan hak-hak kekayaan intelektual lainnya.

Kiranya perlu perbaikan atas judul peraturan perundang-undangan di atas dengan mengubah dan melengkapi istilah "Kekayaan Intelektual" menjadi "Hak Kekayaan Intelektual."

Gunawan Suryomurcito
Konsultan Hak Kekayaan Intelektual No 90-2006

Bencana dan Merawat Bumi

Sebagai warga NKRI, saya teringat dan merasa sangat sedih membaca berita Kompas (20/12/2018) halaman 20: "Hingga hari Rabu, 19 Desember 2018, sebanyak 40 kerangka jenazah korban tsunami Aceh 26 Desember 2004 ditemukan terkubur di Desa Kaju, Kabupaten Aceh Besar. Para korban dikuburkan para sukarelawan saat proses evakuasi gempa dan tsunami Aceh menewaskan sekitar 260.000 orang."

Longsor dan banjir di sejumlah daerah serta aneka ragam masalah lingkungan akibat alam yang tidak ditata dan tidak dilestarikan yang terjadi dari Sabang hingga Merauke bersaing dengan berita puluhan kepala daerah, bupati, wali kota, anggota DPRD terjerat kasus korupsi, bahkan sebagian pejabat itu terjaring operasi tangkap tangan oleh KPK.

Tsunami di Aceh 14 tahun lalu adalah peringatan keras bagi kita semua, terutama bagi pemerintah daerah (pemda) di 34 provinsi, untuk bekerja profesional, khususnya agar alam dan lingkungan di daerah mereka dijaga dan dirawat dengan baik.

Pemerintah pusat selayaknya memberikan sanksi kepada kepala daerah yang di daerahnya sering terjadi banjir bandang, tanah longsor, dan pencemaran lingkungan.

Walaupun Indonesia mengalami banyak masalah terkait lingkungan hidup, kita teringat jasa dan peran aktivis lingkungan hidup Aleta Baun asal Nusa Tenggara Timur yang sangat gigih mempertahankan hutan dan gunung batu di wilayah Timor Selatan, Nusa Tenggara Timur. Ia menerima Goldman Environmental Prize 2013 di San Francisco, 15 April 2013, dan sempat berbincang-bincang dengan Presiden Barack Obama yang hadir pada acara itu.

Kita bangga sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki pantai sepanjang 81.000 kilometer dengan luas wilayah laut 22,4 juta kilometer persegi. Mari kita cintai dan rawat bumi pertiwi Indonesia: darat, laut, dan udaranya.

Arifin Pasaribu
Kompleks PTHII, Kelapa Gading Timur,

Jakarta Utara

Kompas, 2 Januari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger