Jika demokrasi ukurannya adalah pemilu, boleh jadi Indonesia adalah negara yang paling demokratis.
Sejak dimulainya pilkada langsung tahun 2005, hampir tiada hari tanpa pemilu di Indonesia, sebab ada 542 daerah (provinsi, kabupaten, kota). Baru saja usai pilkada serentak 27 Juni 2018 di 171 daerah (17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten), Indonesia telah sibuk kembali dengan tahapan pemilu serentak, pemilu presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg) 2019. Tak pelak lagi suhu politik pun terus memanas.
Sebagaimana yang sudah-sudah, politisasi birokrasi menjadi salah satu sumber bara pemilu. Dari 1.247 pelanggaran pemilu, 10 persen di antaranya (125 kasus) merupakan pelanggaran yang terkait dengan netralitas aparatur sipil negara (ASN), yakni sebanyak 125 kasus.
Dalam pemilu, birokrat sulit bersikap netral. Tarikan politik yang kuat, khususnya dari parpol penguasa, telah membuat banyak di antara mereka yang berada dalam posisi dilematis. Perjudian karier pun menjadi pilihan, sebab "diam" pun kadang juga salah. Maka, pemeo "menang untung kalah buntung" menjadi peruntungan nasib.
Sebagai tahun pemilu, catatan paling menonjol dari tahun 2018 adalah tingginya ancaman pembelahan sosial (social cleavages). Ancaman tersebut, khususnya, terkait dalam dinamika pemilu. Berbagai opini dan berita hoaks terus-menerus mengaduk-aduk perasaan masyarakat, khususnya melalui media sosial, mulai dari isu kriminalisasi ulama, tenaga kerja asing, utang luar negeri, hingga isu Partai Komunis Indonesia (PKI). Salah satu pemicunya adalah karena ketimpangan sosial masih tinggi sebagaimana tecermin dalam rasio gini yang berada di level 0,389.
Politisasi identitas pun tak terelakkan. Masalah SARA selalu menjadi semacam kambing hitam untuk meraih dukungan politik, karena hal itu merupakan strategi yang paling mudah untuk memengaruhi sentimen perilaku pemilih. Apalagi di saat ekonomi dan lapangan pekerjaan sulit dan ketimpangan sosial tinggi. Isu ini dengan mudah dibelokkan menjadi isu SARA.
Penggunaan politisasi SARA atau politisasi identitas sesungguhnya tidak unik karena hal tersebut merupakan strategi yang paling mudah untuk memengaruhi sentimen primordial perilaku pemilih. Hal ini, bahkan juga terjadi di negara maju seperti Inggris, terkait dengan isu referendum Brexit. Demikian juga dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat, terkait dengan penggunaan isu imigran oleh Donald Trump untuk memenangi kursi presiden.
Parpol identitas
Bagi Indonesia, politisasi identitas mudah tersulut karena sejak awal kemerdekaan banyak partai politik (parpol) yang dibangun berdasarkan identitas, khususnya agama. Pada Pemilu 1955 tercatat sejumlah parpol identitas, seperti partai Masyumi, Partai NU, Partai Katolik, dan Parkindo. Pada Pemilu 1971, dari 10 parpol, ada enam parpol, memakai idenitas agama yaitu Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Kristen Indonesia, dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Namun, parpol-parpol itu kemudian mati suri akibat kebijakan deparpolisasi dan asas tunggal yang diterapkan pemerintah Orde Baru.
Lahirnya era Reformasi kembali menumbuhsuburkan parpol identitas. Dari 48 parpol peserta Pemilu 1999, ada sembilan parpol identitas mencantumkan Islam sebagai asasnya, satu parpol mencantumkan Al Quran dan hadis, dan dua parpol mencantumkan Pancasila dan akidah Ahlussunnah wal jamaah. Sementara itu, di Aceh dan Papua juga terdapat parpol identitas berdasarkan etnik, seperti Partai Rakyat Aceh dan Partai Papua Bersatu.
Dalam hal ini, setidaknya ada dua faktor yang membuat partai Islam kembali tumbuh subur. Pertama, terkait dengan Keputusan Presiden BJ Habibie yang mencabut aturan sistem tiga partai (yakni Golkar, PDI, dan PPP) dan, kedua, pencabutan Undang-Undang Ormas 1985 tentang keharusan penerapan asas Pancasila.
Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan politik identitas karena manusia memang tak bisa dilepaskan dari aspek yang membentuk identitasnya. Agama sebagai ideologi parpol tak perlu dirisaukan karena nilai agama selaras dengan nilai Pancasila. Yang jadi persoalan adalah ketika politik identitas dimanipulasi dan dieksploitasi sedemikian rupa secara berlebihan untuk kepentingan politik sempit kelompok tertentu seperti dengan mengagung-agungkan suku atau agama sendiri dan melecehkan kelompok lain yang berbeda.
Sebagai negara yang kenyang dengan pemilu, penting bagi kita untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia. Untuk itu, Pilpres dan Pileg 2019 perlu disikapi dengan cara-cara yang adil, jujur, bijak, dan beradab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Maka, kampanye hendaknya dimaknai sebagai sarana dialog, uji program, dan uji kinerja serta sarana berbagi informasi, baik antarkandidat maupun antara kandidat dan rakyat. Bukan sarana untuk saling menjatuhkan karakter dan pribadi.
Beda pilihan tak perlu menimbulkan kebencian dan pembelahan sosial. Siapa pun yang terpilih akan menjadi presiden dan wakil presiden untuk seluruh rakyat. Oleh karena itu, bagi rakyat, pilpres dan pileg cukup disikapi secara cerdas seperti dalam memilih produk dengan pemeo "teliti sebelum membeli". Sebagai orang beragama, istikharah merupakan jalan terbaik guna mendapatkan bimbingan Tuhan dalam menentukan pilihan.
Untuk menghasilkan pemilu berkualitas, pertama-tama kerja keras harus dilakukan para penyelenggara pemilu, pemerintah, dan penegak hukum. Netralitas/independensi dan profesionalitas menjadi faktor penting karena keberhasilan pilpres dan pileg sangat ditentukan oleh faktor kepercayaan. Di pihak lain parpol peserta pilpres harus bermain secara elok dan elegan dalam usahanya meraih dukungan rakyat. Kampanye harus dijadikan sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, dan sarana artikulasi kepentingan, bukan sekadar sarana meraih kekuasaan.
Perilaku pemilih
Patut disyukuri bahwa sejauh ini perilaku pemilih Indonesia tampak semakin cerdas. Parpol yang dipandang publik "kurang amanah", kurang peduli pada rakyat, dan yang hanya menjual politik identitas cenderung ditinggalkan. Sanksi sosial tersebut terlihat jelas dari fakta sejarah pemilu era Reformasi, dengan parpol penguasa tak pernah memenangi pileg. Pada Pileg 2004 Partai Golkar mengalahkan PDI-P sebagai partai pemenang Pemilu 1999. Pada Pileg 2009, Partai Golkar tumbang oleh Partai Demokrat. Pada Pileg 2014, PDI-P kembali berjaya, disusul Partai Golkar dan Partai Gerindra.
Selain parpol baru, penting bagi parpol identitas untuk mengubah pola pikir dan strategi politiknya jika tidak ingin kian kehilangan suara. Fakta menunjukkan kalau pada Pemilu 1955 gabungan partai Islam mencapai 43,7 persen, pada Pemilu 2014 jumlah total suara partai Islam hanya tinggal 31,25 persen. Di satu sisi ketaatan umat dalam menjalankan ibadahnya makin tinggi, di sisi lain pengaruh agama dalam pengambilan keputusan politik makin lemah.
Oleh karena itu, politisasi identitas yang banyak digunakan untuk meraih dukungan rakyat patut dihindari karena perilaku pemilih kian rasional. Politik gincu terbukti makin ditinggalkan pemilih. Sebagai gantinya parpol identitas khususnya patut menggali nilai agama yang bermaslahat bagi perbaikan kualitas hidup berbangsa dan bernegara.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, Bhinneka Tunggal Ika telah menjadi identitas dan sekaligus perekat bangsa. Perbedaan etnis dan ras yang diciptakan Tuhan seharusnya menjadi pelajaran hidup bangsa untuk bertoleransi pada semua aspek kehidupan, bukan saja dalam pilihan agama dan pekerjaan, melainkan juga dalam pilpres.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar