DIDIE SW

Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas.

Dalam pekan ini perusahaan teknologi Amazon diserang oleh isu soal kesejahteraan pegawai. Para buruh Amazon menuntut pendirian serikat pekerja karena mereka menginginkan kondisi pekerjaan yang lebih baik.

Mereka mulai mempertanyakan jam kerja dan juga perbaikan perlakuan terhadap karyawan serta perbaikan kondisi tempat bekerja. Kasus di Amazon ini menghangatkan diskusi tentang keperluan membangun serikat pekerja di perusahaan teknologi ketika perusahaan-perusahaan itu membesar dan memiliki ribuan karyawan.

Situs The Guardian pada Selasa (1/1/2019) lalu memberitakan soal protes sejumlah karyawan Amazon dan keinginan mereka untuk membangun serikat pekerja yang bertujuan meningkatkan perbaikan kondisi kerja serta kenyamanan bekerja. Para karyawan mengatakan mereka bukanlah robot.

Mereka adalah manusia biasa yang membutuhkan waktu istirahat dan juga menjaga kesehatan badan dengan tidak melakukan pekerjaan yang melebihi waktu kerja mereka. Beberapa karyawan telah melakukan unjuk rasa dan meminta agar Amazon melakukan perbaikan lingkungan kerja mereka.

AFP/KEREM YUCEL

Para pekerja Amazon berdemonstrasi menuntut perbaikan kondisi kerja di salah satu kantor Amazon di Shakopee, Minnesota, Amerika Serikat, 14 Desember 2018.

Kejadian ini membuat beberapa kalangan terkaget karena selama ini karyawan perusahaan teknologi mengakui mereka tidak terlalu membutuhkan serikat pekerja karena karyawan di perusahaan teknologi informasi kerap berpindah bergantung pada mereka yang mau membayar lebih mahal. Mereka juga merasa kalau mereka tidak cocok atau bermasalah dengan perusahaan, mereka dengan mudah memilih keluar karena banyak peluang pekerjaan di luar perusahaan itu sehingga tak terlalu membutuhkan serikat pekerja.

Akan tetapi kenyataan yang ada, ketika perusahaan teknologi membesar, mereka membutuhkan tidak hanya karyawan di bidang teknologi informasi tetapi juga karyawan yang mendukung operasi perusahaan seperti karyawan pergudangan, pengantaran barang, karyawan di penjualan langsung, dan lain-lain. Jumlah mereka tidaklah kecil.

Para pekerja ini membutuhkan perlindungan dan kondisi kerja yang lebih baik. Oleh karena itu keberadaan mereka tidak bisa diabaikan. Apalagi daya tawar mereka tak setinggi karyawan bagian teknologi informasi sehingga mereka membutuhkan serikat pekerja.

Tidak mengherankan bila pada awalnya serikat pekerja di perusahaan teknologi berasal dari kepentingan karyawan yang sifatnya mendukung pekerjaan utama, seperti serikat pekerja karyawan keamanan dan serikat pekerja bagian kafetaria. Posisi mereka sangat rentan untuk diberlakukan semena-mena oleh perusahaan dan tak mudah untuk mendapatkan peluang pekerjaan baru bila mereka dipecat atau mengundurkan diri.

AFP/KEREM YUCEL

Seorang pekerja Amazon memegang kertas bertuliskan tuntutan saat berdemonstrasi menuntut perbaikan kondisi kerja di Shakopee, Minnesota, Amerika Serikat, 14 Desember 2018.

Akan tetapi, belakangan karyawan di bagian teknologi informasi seperti pengembang dan perekayasa juga membangun serikat pekerja. Karyawan sebuah perusahaan komputasi awan di Amerika Serikat, misalnya, membangun serikat pekerja untuk melindungi mereka dari tindakan semena-mena perusahaan.

Gerakan untuk membangun serikat pekerja yang memberi perlindungan karyawan mulai berkembang di berbagai tempat. Mereka mulai menggabungkan kepentingan antara karyawan pendukung, yaitu soal kesejahteraan, dan karyawan inti yang berisi karyawan perusahaan teknologi mengenai keputusan perusahaan yang kerap tak selaras dengan keinginan mereka.

Karyawan di bagian inti misalnya, menginginkan agar teknologi tidak digunakan untuk kepentingan perang atau teknologi mereka tidak menyengsarakan para imigran.

Fenomena ini mulai terlihat akhir tahun lalu ketika beberapa karyawan perusahaan teknologi mulai mempertanyakan bukan hanya soal kesejahteraan karyawan. Karyawan di bagian inti misalnya, menginginkan agar teknologi tidak digunakan untuk kepentingan perang atau teknologi mereka tidak menyengsarakan para imigran.

Mereka menggugat sejumlah kebijakan perusahaan yang dirasa tidak sejalan dengan pemikiran mereka. Karyawan Google dan Microsoft pernah melakukan aksi protes terhadap kebijakan perusahaan mereka.

REUTERS/SHANNON STAPLETON

Kantor Google di New York City, AS, 19 Desember 2018. Karyawan Google juga melakukan protes terkait kontrak perusahaan itu dengan pihak militer beberapa waktu lalu.

Meski belum sampai pada tahap pembentukan serikat pekerja namun mereka mulai meyakini bahwa kekuataan mereka akan membesar bila ada serikat pekerja. Aksi-aksi sporadis pekerja beberapa waktu lalu telah memunculkan ide untuk membangun koalisi yang memungkinkan mereka mencegah perusahaan membangun teknologi yang merusak.

Perkembangan ini pasti akan masuk ke Indonesia karena banyak perusahaan teknologi di Indonesia membesar. Mereka memiliki berbagai jenis karyawan dari mulai karyawan kerah putih dan kerah biru.

Kepentingan mereka berbagai jenis namun bisa disatukan. Untuk itu baik pemerintah maupun perusahaan perlu mencermati hal ini sehingga pembentukan serikat pekerja bisa diakomodasi tanpa perlu membuat keributan.

Secara umum perusahaan pasti akan alergi dengan pendirian serikat pekerja namun kenyataan bahwa mereka membutuhkan untuk meningkatkan daya tawar tak bisa dihindari. Serikat pekerja mungkin bisa menjadi jawaban kebutuhan jembatan komunikasi antara perusahaan dan karyawan yang tak sedikit juga memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.