AP PHOTO/ANUPAM NATH

Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina menyambut kumpulan hadirin dalam interaksi dengan para wartawan di Dhaka, Bangladesh, Senin (31/12/2018).

Kemenangan telak Partai Liga Awami pimpinan PM Bangladesh Sheikh Hasina pada pemilu lalu dikhawatirkan membawa negeri ini ke arah otoritarianisme.

Sulit dibayangkan dalam sebuah negara demokratis terdapat partai politik yang bisa memenangi pemilu sampai 98 persen. Itulah yang terjadi dalam pemilu Bangladesh 30 Desember lalu. Dalam pemilu yang diwarnai dengan kekerasan antar-kubu pendukung yang menewaskan 17 orang dan puluhan luka-luka itu, Liga Awami menguasai 287 kursi parlemen dari 298 kursi yang tersedia.

Kubu oposisi, Partai Nasional Bangladesh (BNP), langsung menuntut pemilu diulang karena menganggap pelaksanaannya marak kecurangan, antara lain kotak suara sudah diisi terlebih dahulu dengan suara bagi kandidat Awami, juga tidak ada saksi dari kubu oposisi di sebagian besar tempat pemungutan suara, serta penghadangan terhadap pemilih yang akan memberikan suaranya.

Kelompok HAM internasional memprotes kekerasan yang terjadi sepanjang masa kampanye dan pemilu. Adapun Amerika Serikat dan negara Barat prihatin atas laporan mengenai intimidasi dan serangan terhadap kubu oposisi.

Konflik berdarah di Bangladesh tak lepas dari persaingan dua perempuan terkuat di Bangladesh: Sheikh Hasina (71) yang merupakan putri tokoh kemerdekaan Bangladesh, Mujibur Rahman, dan Khaleda Zia (73), istri Ziaur Rahman, tokoh penting Bangladesh. Mereka bahu-membahu untuk melengserkan kekuasaan diktator militer Hussain Muhammad Ershad pada 1990. Namun, setelah Ershad terguling, kedua perempuan ini menjadi musuh bebuyutan dalam perebutan kekuasaan.

Khaleda Zia memenangi pemilu pada 1991 dan 2001, sedangkan Sheikh Hasina memenangi pemilu pada 1996, 2009, 2014, dan 2018. Dengan kata lain, selama hampir tiga dekade, sejarah Bangladesh diisi oleh kepemimpinan dua perempuan ini. Namun, pada Februari 2018, Zia dipenjarakan dengan vonis 17 tahun dengan tuduhan korupsi, yang oleh para pendukungnya diyakini bermuatan politis.

Meski kehidupan demokrasi di Bangladesh dinilai memprihatinkan karena pembungkaman media, pelarangan kebebasan berpendapat, dan penahanan para aktivis yang kritis terhadap pemerintah, pemerintahan Hasina mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Bangladesh sampai 7,8 persen. Bahkan, industri garmen yang menjadi tulang punggung ekspor negeri itu menempati posisi kedua di dunia.

Hasina percaya mayoritas rakyat Bangladesh akan mendukungnya karena ia memprioritaskan kebutuhan dasar rakyat. Dunia internasional juga membutuhkan Hasina karena selain mampu mengendalikan negeri berpenduduk 160 juta orang yang mayoritas Muslim itu, Bangladesh juga berperan dalam menangani krisis pengungsi Rohingya di Myanmar.