
Hukum pidana internasional) dalam arti sempit ("stricto sensu") menegaskan, salah satu karakteristik istimewa dari tindak pidana pelanggaran HAM berat adalah sifat "nacro- delinquency", yaitu bentuk kejahatan yang berkaitan dan dilakukan dengan partisipasi dari kekuasaan negara atau struktur kekuasaan politik, baik terbuka maupun tersembunyi (Satzger, 2012).
Pelanggaran HAM berat (PHB) berbeda dengan kejahatan internasional lain yang dibentuk atas dasar traktat internasional (treaty based-crimes), yang lebih banyak bersumber pada aspirasi dan kepentingan bersama (common interest) negara-negara peserta traktat guna memerangi kejahatan lintas batas negara (cross border criminality), seperti tindak pidana pencucian uang, terorisme, narkotika, kejahatan penerbangan, perompakan kapal, dan kejahatan transnasional terorganisasi lain.
PHB lebih menunjukkan jati dirinya sebagai bagian dari hukum publik internasional yang bersumber dari nilai-nilai tradisional hukum internasional untuk melindungi kepentingan hukum masyarakat internasional secara keseluruhan (legal interests of the international community as a whole), tidak hanya kepentingan individual suatu negara.
Dengan demikian, perlindungan atas kepentingan hukum supranasional tersebut tidak dapat diserahkan pada negara per negara.
Atas dasar nilai-nilai tersebut, para ahli hukum publik internasional secara terbatas hanya menyepakati empat kejahatan inti (core crimes) PHB yang dapat dikategorikan sebagai apa yang oleh Article 1 Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) disebut sebagai the most serious crimes of international concern (kejahatan-kejahatan paling berat yang menimbulkan keprihatinan internasional).
Empat kejahatan inti itu adalah kejahatan genosida (crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (crime of aggression). Di sini dianggap telah terjadi pelanggaran terhadap norma-norma HAM internasional dan hukum humaniter.
Keistimewaan peradilan tindak pidana PHB
Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi dan mengesahkan Statuta Roma 1998, tetapi untuk kepentingan mengadili beberapa kasus PHB, antara lain kasus Timor Timur, kasus Tanjung Priok, kasus Abepura, serta kasus-kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II telah diundangkan Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Harmonisasi dan kriminalisasi parsial dilakukan dengan standar Statuta Roma 1998 dan terbatas pada tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan yang diduga terjadi.
Keistimewaan peradilan tindak pidana PHB adalah, pertama, dirumuskannya pertanggungjawaban pidana secara individual (individual criminal responsibility) dan tidak menyentuh pertanggungjawaban pidana negara (state criminal responsibility). Yang dianggap bertanggung jawab adalah individu (manusia alamiah) pelaku kejahatan tersebut tanpa mempertimbangkan kedudukan resminya dan bukan negara sebagai entitas abstrak.
Alasan lain adalah pengadilan HAM biasanya digelar pascakrisis di suatu negara yang disusul dengan pergantian rezim.
Kedua, kewenangan Mahkamah Pidana Internasional untuk menerapkan skema penegakan hukum langsung (direct enforcement model)terhadap individu pelaku apabila terdapat indikasi bahwa pengadilan negara yang bersangkutan telah terbukti sungguh-sungguh tidak mau (unwilingness) atau tidak mampu (inability)untuk mengadilinya. Hal ini menyimpang dari perspektif klasik atau pandangan tradisional dalam hukum internasional bahwa subyek hukum internasional adalah negara atau organisasi internasional.
Ketiga, berlakunya yurisdiksi universal (universal jurisdiction), yaitu suatu sistem peradilan internasional yang memberikan kewenangan kepada pengadilan nasional setiap negara, yurisdiksi untuk mengadili PHB, tanpa mempertimbangkan di mana dan kapan kejahatan dilakukan serta nasionalitas korban atau pelaku.
Keempat, tidak berlakunya ketentuan tentang kedaluwarsa penuntutan kejahatan (statute of limitation).
Beberapa bentuk pengadilan PHB
Sebelum terbentuknya Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional yang berlaku efektif sejak 1 Juli 2002, dunia mengenal tribunal HAM ad hoc yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB untuk PHB yang terjadi dalam waktu (tempus) dan tempat (locus) tindak pidana tertentu pascakonflik.
Contohnya adalah International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY, 1993)dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR, 1994)yang mengadili para pelaku kejahatan mengerikan selama konflik di negara-negara itu.
Sierra Leone membentuk pengadilan khusus (Special Court for Sierra Leone, 1996) atas dasar perjanjian antara PBB dan negara tersebut (Schabas, 2016).
Berbeda dengan sifat permanen dari ICC yang tidak dapat menerapkan hukum pidana berlaku surut (non-retroactivity), pengadilan HAM ad hoc (ICTY dan ICTR) tersebut dapat menggunakan hukum pidana secara retroaktif. Dua bentuk ini (permanen dan ad hoc) sekaligus didayagunakan oleh UU Nomor 26 Tahun 2000 tergantung pada tempus dan locus delicti-nya, sebelum atau sesudah diundangkannya UU Nomor 26 Tahun 2000.
Bentuk berbeda terdapat di Kamboja, yaitu Cambodia Tribunal or Khmer Rouge Tribunal, yang merupakan pengadilan gabungan (hybrid court) antara Pemerintah Kamboja dan PBB untuk mengadili PHB yang terjadi pada tahun 1975-1979, yang menggunakan hakim lokal dan hakim asing serta staf pengadilan lokal dan internasional dengan standar internasional.
Bentuk semacam ini juga terjadi pada Serious Crimes Unit Timor Leste pascakemerdekaan. Bentuk lain adalah pendayagunaan pengadilan HAM nasional dengan standar internasional, seperti pengadilan HAM Indonesia (UU Nomor 26 Tahun 2000.
Tanggung jawab negara
Di negara demokratis yang memegang komitmen terhadap promosi dan perlindungan HAM, seperti Indonesia sejak reformasi, dalam menyelesaikan persoalan kecurigaan terjadinya tindak pidana PHB—baik di masa lalu maupun kemungkinan di masa datang—perlu dibangun pola pikir bahwa negara tetap harus bertanggung jawab secara moral (moral responsibility), khususnya terhadap hal-hal sebagai berikut.
Pertama, negara secara profesional harus mendemonstrasikan kemauan dan kemampuan untuk menyelesaikan kecurigaan terjadinya tindak pidana PHB, secara yuridis dan/atau secara non-yuridis kasus per kasus sesuai ketersediaan alat bukti hukum acara pidana.
Kedua, negara atas dasar asas persamaan di depan hukum (equality before the law) harus menghindari kesan telah terjadinya praktik impunity, yaitu pembebasan dari pidana atau kegagalan untuk membawa para pelaku pelanggaran HAM ke pengadilan(failure to bring perpetrators of human rights violations to justice) (Derechos, 2009).
Ketiga, negara harus menyelesaikan konflik yang menyertai terjadinya tindak pidana PHB, antara lain dengan membentuk semacam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Di Indonesia, UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR telah dinyatakan tidak berlaku secara keseluruhan melalui putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2006.
Keempat, perhatian khusus hendaknya diberikan pada nasib para korban.
Kelima, negara harus dapat menyelesaikan tindak pidana PHB yang telah terjadi dan menjamin bahwa hal tersebut tidak akan terulang lagi.
Keenam, negara harus mencegah terjadinya segala gangguan terhadap proses peradilan (obstruction of justice) dalam proses peradilan PHB.
Ketujuh, negara harus taat pada standar internasional dalam proses peradilan terhadap tindak pidana PHB.
Alangkah baiknya apabila resolusi untuk menyelesaikan beberapa tindak pidana PHB masa lalu terjadi pada tahun 2019. Untuk itu, pemerintahan demokratis saat ini dan masa mendatang, di samping perlu melakukan langkah-langkah di atas, tidak perlu ragu untuk menyatakan penyesalan atas terjadinya tindak pidana PHB yang dilakukan rezim masa lalu, di samping akan menjamin bahwa hal semacam itu tidak akan terulang lagi. Penundaan untuk melakukan langkah-langkah ini justru akan memperpanjang dampak negatif "duri dalam daging" kehidupan bangsa.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar