Data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada tahun 2017 menunjukkan telah terjadi kenaikan yang cukup signifikan dalam capaian indeks pada aspek Lembaga Demokrasi, yaitu dari 62,05 pada tahun 2016 menjadi 72,49 pada tahun 2017. Meski demikian, secara kualitas, kenaikan tersebut, sejatinya, masih tetap berada pada kategori sedang.

Apa makna tersirat di balik data yang tersurat itu terkait dengan kinerja lembaga demokrasi? IDI merupakan data numerik yang mengindikasikan kinerja demokrasi di daerah, dengan basis 34 provinsi. Khusus untuk aspek lembaga demokrasi, diukur melalui sedikitnya lima variabel dan sebelas indikator. Pada tahun 2017, capaian indeks lima variabel tersebut adalah 95,48 untuk Pemilu yang Bebas dan Adil; 59,78 untuk Peran DPRD; 71,64 untuk Peran Partai Politik; 56,26 untuk Peran Birokrasi Pemerintah Daerah; dan 86,31 untuk Peradilan yang Independen.

Di antara poin penting yang menarik dicatat di balik kisah kenaikan itu adalah terdapat dua variabel yang niscaya menghendaki perhatian khusus, karena sampai 2017 masih tetap memiliki capaian kinerja dengan kategori buruk, yaitu Peran DPRD dan Peran Birokrasi Pemerintah Daerah. Selain itu, variabel Peran Partai Politik juga perlu mendapat perhatian khusus lantaran pada kurun waktu tujuh tahun sebelumnya (2009-2016), secara konsisten memiliki capaian indeks dengan kategori buruk.

Penguatan citra, minim kapasitas

Secara umum, fakta tentang masih tetap tertahannya capaian indeks aspek Lembaga Demokrasi sampai dengan tahun 2017 pada kategori sedang (72,49) dapat dimaknai sebagai indikasi dari proses demokratisasi di daerah dalam kurun waktu 19 tahun reformasi, cenderung bergerak lambat, atau bahkan "jalan di tempat". Lebih jauh, data numerik itu juga secara implisit mengisyaratkan bahwa karakteristik demokrasi di Indonesia relatif masih tetap berada pada tipologi demokrasi prosedural.

Konsistennya capaian indeks variabel Pemilu yang Bebas dan Adil dengan kategori baik (95,48) pada 2017, bahkan juga pada kurun waktu tujuh tahun sebelumnya (2009-2016), mengindikasikan bahwa secara prosedural Indonesia relatif telah berhasil menyelenggarakan pemilu sebagai sarana untuk menuai vote. Namun, pada sisi lain, fakta masih tetap buruknya capaian indeks variabel Peran DPRD (59,78) mengisyaratkan bahwa sejatinya lembaga representatif masih lemah dalam menjalankan fungsinya sehingga vote yang dihasilkan pada saat pemilu sangat muskil menghasilkan voice pada pascapemilu.

Hal ini ditunjukkan oleh, antara lain, konsistennya capaian skor dengan kategori buruk pada indikator Perda yang Berasal dari Hak Inisiatif DPRD (44,90); dan Rekomendasi DPRD kepada Eksekutif (17,23). Kecenderungan yang sama juga terjadi pada Peran Partai Politik. Secara umum, data IDI menunjukkan bahwa parpol belum banyak berperan dalam menyuarakan kepentingan konstituennya, dan dalam memproduksi kader-kader berkualitas. Indikasi akan hal ini antara lain ditunjukkan oleh tren capaian indeks variabel Peran Partai Politik tujuh tahun sebelumnya (2009-2016) yang secara konsisten memiliki capaian dengan kategori buruk.

Di antara faktor utama yang menyebabkan buruknya kinerja parpol lantaran kurang, atau bahkan tidak, dilaksanakannya kegiatan kaderisasi. Konsekuensinya, tak mengherankan jika kemudian kehadiran lembaga demokrasi sejauh ini terlihat sangat nyata dalam citra, tetapi tidak kentara dalam fungsi.

Kata "citra" (image) di sini merujuk pada konsep state image (citra negara) yang dikemukakan Migdal (2003). Dia menyebutkan bahwa ciri penting dari citra negara adalah ditandai oleh antara lain masifnya upaya menghadirkan lembaga negara, dan revitalisasi aturan main yang menyertainya (rules and procedures), tetapi mengabaikan penguatan kapasitas negara dalam kehidupan sehari-hari (state in practice).

Demokrasi ilusif

Pada konteks yang lebih luas, jika dikaitkan dengan perspektif transisi demokrasi, maka satu di antara bahaya yang mungkin terjadi sebagai akibat dari terus melapuknya fungsi lembaga demokrasi adalah bermetamorfosisnya praktik procedural democracy menjadi elusive democracy, sebagaimana terjadi di Meksiko (Olvera, 210).

Menurut Olvera, dua di antara ciri-ciri penting dari praktik demokrasi ilusif adalah: a) penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan efektif karena semua posisi strategis pada lembaga negara "dibajak" oleh parpol; b) lembaga demokrasi lebih banyak difungsikan sebagai instrumen bagi parpol untuk mendapatkan kepentingan ekonomi dan politik (Olvera, 210: 79). Sementara, pada sisi lain, hampir semua parpol itu sendiri tidak memiliki ideologi yang jelas, tidak melakukan kaderisasi, serta tidak menerapkan prinsip merit system dalam perekrutan dan promosi kader.

Singkatnya, prinsip-prinsip demokrasi nyaris tidak ditegakkan di kalangan internal organisasi parpol lantaran lebih didominasi oleh praktik oligarki.

Tantangan

Akhirnya, penting untuk ditegaskan di sini bahwa refleksi tentang kinerja lembaga demokrasi di atas bukan dimaksudkan untuk membangun perspektif pesimistis dalam mengartikulasi realitas dan menengarai prospek demokrasi di Indonesia, tetapi justru sebaliknya, bertujuan untuk memberikan masukan, sekaligus tantangan untuk perbaikan ke depan, khususnya dalam peningkatan kapasitas lembaga demokrasi. Dengan demikian, proses transisi demokrasi yang berlangsung di Tanah Air dipastikan berada pada alur menuju demokrasi substantif, bukan justru terperangkap pada praktik demokrasi ilusif.