Desakan kepada pemerintah agar lebih tegas dan serius mengatasi defisit ini guna menekan dampak terhadap ekonomi secara keseluruhan pun menguat. Defisit perdagangan, menurut BPS, tercatat 8,57 miliar dollar AS (setara Rp 120,6 triliun) pada 2018. Angka ini tertinggi sejak 1975.

ANTARA FOTO/WAHYU SEPTIAWAN

Pekerja memetik pucuk daun teh di area perkebunan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI, Kayu Aro, Kerinci, Jambi, Senin (14/1/2019). Menurut data BPS nilai ekspor teh Indonesia sepanjang Januari hingga November 2018 mencapai 8.747 Dollar AS atau naik sebesar 183,13 persen dibandingkan dengan periode sama tahun 2017 senilai 3.089 Dollar AS.

Buruknya kinerja neraca perdagangan ini diakibatkan oleh peningkatan impor (20,2 persen) yang jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan ekspor (6,7 persen).

Defisit perdagangan ini, menurut pemerintah, disebabkan defisit neraca migas, terutama akibat meningkatnya kebutuhan akan impor minyak mentah dan bahan minyak.

Namun, sejumlah ekonom juga menyorot kinerja neraca non-migas yang, meski masih surplus, angkanya juga menyusut. Penyusutan surplus neraca non-migas ini akibat meningkatnya impor non-migas. Untuk ekspor non-migas, meski terjadi penurunan harga komoditas dan permintaan dari negara tujuan utama ekspor, angkanya masih positif.

Membengkaknya defisit perdagangan pada satu sisi mendapatkan pembenarannya, baik dari sisi faktor situasi global maupun dalam negeri. Namun, di sisi lain, kita tidak bisa membiarkan hal ini berkelanjutan karena potensinya dalam menekan posisi neraca transaksi berjalan, nilai tukar, dan memunculkan kerentanan pada perekonomian.

Untuk mengatasi pembengkakan defisit perdagangan, tak ada cara lain, kecuali memperbaiki kinerja ekspor. Ini menjadi tantangan pemerintah di tengah perang dagang yang juga berdampak pada permintaan akan produk ekspor Indonesia oleh AS dan China, di tambah lagi adanya hambatan dagang yang diterapkan Uni Eropa dan India pada hasil sawit kita.

Sementara dari sisi impornya, membengkaknya defisit ini juga gambaran bahwa sejumlah langkah yang ditempuh pemerintah, terutama dengan membatasi impor, belum dirasakan dampaknya. Persoalan di sini adalah bagaimana menekan defisit perdagangan tanpa menimbulkan dampak negatif pada pertumbuhan, karena impor kita 90 persen lebih untuk kebutuhan produktif (bahan baku penolong dan barang modal) yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, sementara impor barang konsumsi hanya 9,07 persen.

Pada satu sisi, lemahnya kinerja dan struktur ekspor secara umum menunjukkan persoalan laten deindustrialisasi yang terjadi satu dasawarsa lebih terakhir belum sepenuhnya bisa kita kembalikan. Akibatnya, kita masih menggantungkan se- bagian besar devisa ekspor pada ekspor komoditas. Penguatan sektor manufaktur perlu dipergencar untuk memperkuat basis ekspor dan mengurangi ketergantungan pada impor.