Jika setahun awal masa jabatan lebih menjadi masa konsolidasi dan adaptasi bagi anggota baru, kesibukan berpemilu menjadi alasan signifikan mengapa setahun menjelang hari-H pemungutan suara menjadi masa yang sulit untuk menuntaskan sebuah rancangan undang-undang (RUU). Pun demikian yang (kemungkinan) terjadi pada RUU Sumber Daya Air yang inisiatif pembahasan sudah dimulai pada 2017. Lewat proses internal di DPR, awal 2018 draf RUU dari DPR telah dimajukan untuk dibahas bersama pemerintah.

Presiden Jokowi pun sudah menetapkan Surat Presiden No R-31/Pres/06/2018 yang antara lain berisi penugasan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebagai leading sector mewakili Presiden untuk pembahasan RUU Sumber Daya Air di DPR bersama Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Hukum dan HAM.

Sinyal mampat

Sinyal mampatnya pembahasan RUU Sumber Daya Air menguat jika merujuk pidato Ketua DPR, 7 Januari 2019, saat pembukaan masa persidangan 2019, yang menyebutkan (hanya) lima RUU prioritas yang dibahas pada 2019.

Ironisnya, RUU Sumber Daya Air tak termasuk. Kelima RUU prioritas adalah RUU tentang Perkoperasian, RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, RUU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, RUU tentang Kebidanan, dan RUU tentang Ekonomi Kreatif.

Ketua DPR juga sempat mengingatkan agar UU yang diamanatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diamendemen dapat diprioritaskan. Dengan dasar itu, seharusnya RUU Sumber Daya Air masuk ke dalam prioritas.

Penyebutan itu seperti mendistorsi substansi laporan Badan Legislasi DPR yang pada Oktober 2018 menyebutkan 55 RUU akan dimasukkan ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2019, dengan rincian 43 RUU Prolegnas 2018 dan 12 RUU baru.

Panitia kerja pun sebelumnya sudah melaporkan bahwa RUU Sumber Daya Air termasuk pada Prolegnas 2019, sekalipun sebenarnya RUU itu telah masuk dalam Prolegnas 2016 seiring dengan pembatalan keseluruhan pasal dalam UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air oleh MK pada 18 Februari 2015 dan UU No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang dijadikan "pengisi kekosongan hukum" dinilai tidak lagi memadai.

Pada Juli 2018, pemerintah telah menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) kepada Komisi V DPR, dengan total 604 halaman yang 220 poin di antaranya merupakan usul perubahan atas materi RUU. Pembahasan rinci pasal per pasal sebenarnya telah dimulai, tetapi terhenti dengan adanya reses berkepanjangan dan berlanjut dengan kesibukan para anggota untuk kampanye menjelang pemilu. Rencana Panitia Kerja DPR untuk membahas RUU Sumber Daya Air urung terlaksana sepanjang 21 November-13 Desember 2018.

Merujuk jadwal acara persidangan Komisi V untuk periode 7 Januari-13 Februari 2019, tak juga tercantum agenda rapat dengan Kementerian PUPR untuk membahas RUU Sumber Daya Air. Kondisi ini berkebalikan dengan semangat untuk memastikan pengaturan yang memadai agar rakyat bisa mendapatkan air bersih atau air minum sebagai kebutuhan pokok sehari-hari,

Secara substansi, pada draf awal RUU Sumber Daya Air "semangat" pengaturannya adalah bahwa seluruh sumber daya air dikuasai negara yang diartikan swasta tak dapat mengusahakan sumber daya air. Pengusahaan dapat dilakukan dengan sangat terbatas apabila bekerja sama dengan representasi pemerintah, yakni BUMN, BUMD, UPT, UPTD, dan selanjutnya BUMDesa.

Pada perkembangannya, sudah mengerucut pembedaan pengusahaan sumber daya air. Dalam hal sistem penyediaan air minum (SPAM) yang lebih merupakan kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan air minum warganya; manakala pemerintah perlu keterlibatan swasta, dilakukan kerja sama lewat BUMN, BUMD, atau BUMDesa. Sementara air minum dalam kemasan (AMDK) dan sebagainya dijalankan melalui rezim perizinan yang hanya dapat diberikan dengan syarat tertentu dan ketat.

Kesepahaman itu masih perlu dipertajam soal klausul syarat tertentu dan ketat tersebut; syarat untuk surat izin pengambilan air (SIPA); kesetaraan penggunaan sumber daya air untuk AMDK dengan untuk industri lain, juga antara AMDK berupa air dengan minuman yang berbahan baku utama air dengan tambahan rasa atau warna. Beberapa bahasan kebijakan publik yang terkait lingkungan hidup atau akses masyarakat ke sumber daya air juga masih harus dituntaskan.

Dari sisi pemerintah rupanya mau aman saja sehingga cukup menunggu langkah Panja RUU Sumber Daya Air, tak ada upaya khusus untuk mempercepat proses pembahasan karena sungkan untuk mendesak Panja RUU Sumber Daya Air di DPR. Kesimpulan  ini saya dapati ketika bertemu dengan jajaran Direktorat Jenderal Sumber Daya Air di Kementerian PUPR.

Mereka hanya menunggu langkah Panja RUU Sumber Daya Air, padahal banyak pihak menunggu segera selesainya RUU ini mengingat ketahanan air rakyat Indonesia sangat tergantung pada selesainya RUU Sumber Daya Air ini.

Agenda berikut

Akhirnya, ketika Pemilu 2019 semakin dekat, semakin kecil pula kemungkinan RUU Sumber Daya Air akan menjadi agenda yang (dianggap) penting oleh para anggota DPR, termasuk para anggota Komisi V dan Panja RUU Sumber Daya Air. Kalaupun kemudian pemilu usai dan sebagian anggota DPR terpilih kembali, siapa yang mengelak dari kemungkinan manuver untuk beroleh posisi strategis di fraksi ataupun alat kelengkapan DPR bakal menyita waktu mereka?

Belum lagi kemungkinan akan ada perombakan internal di Komisi V ataupun panja. Kesibukan itulah yang diprediksi bakal terus memuncak hingga pelantikan DPR baru pada 1 Oktober 2019. Jika kemudian DPR baru terbentuk selepas itu, persidangan untuk membahas RUU diperkirakan baru bisa digelar pertengahan Desember 2019 atau menjelang rapat penutupan masa sidang 2019.

Merujuk target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), semestinya capaian akses air bersih yang layak bisa tuntas sebesar 100 persen di 2030. Untuk itu , Indonesia butuh investasi Rp 273,7 triliun. Besarnya investasi ini mustahil hanya dibebankan pada APBN dan APBD tanpa melibatkan swasta lokal ataupun asing.

Nawacita pemerintahan Jokowi-Kalla antara lain berisikan kehendak meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui ketersediaan infrastruktur dasar, yang kemudian diturunkan dengan program yang menargetkan 100 persen pembangunan akses ketersediaan air bersih yang layak di seluruh wilayah Indonesia hingga 2022.

Karena itu, dengan menimbang kepentingan lebih besar dan dampak yang lebih panjang, RUU Sumber Daya Air perlu segera dituntaskan dengan cara terus dikawal untuk memastikan kesinambungan materi pembahasan. Pun dengan materi-materi yang sudah disepakati sebelumnya sehingga pembahasan tidak terus berputar-putar tanpa kemajuan.