Pemilu legislatif tersebut berlangsung pada tahun 1955 (dua kali, untuk memilih anggota DPR dan anggota Konstituante); 1971; 1977; 1982; 1987; 1992; 1997; 1999; 2004 (memilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan 5 April 2004; memilih presiden/wakil presiden diselenggarakan 5 Juli 2004 putaran pertama dan 20 September 2004 putaran kedua); 2009 (pemilu legislatif pada 9 April 2009; pemilu presiden/wakil presiden 8 Juli 2009); 2014  (pemilu legislatif pada 9 April 2014; pemilu presiden/wakil presiden 9 Juli 2014).

Sejak 2005, di tingkat provinsi dan kabupaten/kota diselenggarakan pilkada untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota secara langsung. Semua pemilu/pilkada itu perlu dimaknai sebagai kemajuan demokrasi dan politik di negara kita, dan pantaslah Indonesia disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat (AS).

Pemilu 17 April 2019 mendatang adalah pemilu ke-12; rakyat akan memilih presiden/wakil presiden (wapres), anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota se-Indonesia secara bersamaan. Terdaftar 185.732.093 pemilih yang berhak menggunakan hak pilihnya di 805.075 tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar di 74.958 desa dan 8.430 kelurahan guna memilih satu pasangan presiden/wapres, 575 anggota DPR, 132 anggota DPD, 2.207 anggota DPRD provinsi, dan 17.610 anggota DPRD kabupaten/kota.

Pemilu 2019 diikuti dua capres/cawapres, 7.968 caleg DPR (4.774 laki-laki dan 3.194 perempuan), 237.138 caleg DPRD provinsi/kabupaten/kota. Jumlah ini berasal dari 16 parpol nasional dan 4 partai lokal di Aceh.

Dengan 245.106 caleg akan berkampanye di berbagai  tempat, ini merupakan  pesta demokrasi dan pendidikan politik yang sangat bagus untuk mendewasakan pandangan politik rakyat, memantapkan persatuan bangsa, jika saja kampanye itu berisi hal-hal positif tentang cita-cita kita membentuk negara, menawarkan program, konsep arah negara ke depan, ide dan rencana menggarap potensi ekonomi wilayahnya, dan alternatif solusi atas tantangan ke depan negara kita. Sebaliknya,  kampanye yang luas dan masif tersebut dapat merapuhkan persatuan/memecah belah  bangsa, memerosotkan peradaban kita jika diisi oleh hoaks, kebohongan, caci maki, fitnah, dan ujaran kebencian.

Dinamika dan pragmatisme politik

Pemilu presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg) yang berlangsung bersamaan merupakan hal baru hasil keputusan Mahkamah Konstitusi menjelang Pemilu 2014, buah interpretasi konstitusi, dengan pemikiran untuk memperkuat sistem presidensial dan dianggap efektif mempersempit ruang manuver parpol untuk melakukan transaksi politik yang pragmatis terhadap presiden. Selama ini kita menyaksikan ada parpol yang tak segan berpindah mendukung capres pemenang pemilu. Bahkan, ada partai yang enggan jadi oposisi, selalu ada di setiap kabinet, meski sebelumnya mendukung capres yang kalah.

Lucunya, ada partai pemerintah yang suaranya lebih dari oposisi, bahkan menyerang pribadi presiden. Pragmatisme politik yang kuat, didukung sistem politik yang memungkinkan, membuka peluang manuver yang mengabaikan etika dan melemahkan demokrasi karena tidak hadirnya oposisi yang kuat.

Sistem pilpres dan pileg bersamaan telah menghadirkan dinamika politik yang berbeda dengan ketika pilpres dan pileg dilakukan tidak bersamaan. Terlihat fenomena caleg dari partai pendukung capres A di daerah yang mayoritas warganya mendukung capres B tidak vulgar mendukung capres A. Bahkan, ada tokoh partai yang berani  berbeda pilihan capres dari partainya. Ada DPP partai yang memberikan otonomi kepada kadernya di daerah untuk menyatakan dukungan terhadap capres yang berbeda dengan garis partai.

Kecuali beberapa partai, terlihat partai-partai lebih mengutamakan upaya memenangi pileg daripada kampanye untuk pilpres. Yang lebih aktif kampanye pilpres adalah sukarelawan-sukarelawan spontan, sesuatu yang positif, merupakan kemajuan kesadaran berdemokrasi.

Hal lain yang membedakan Pileg 2019 dari sebelumnya adalah digunakannya konversi suara ke kursi dengan sistem Sainte Lague, menggantikan   sistem Kuota Hare. Sistem baru ini lebih proporsional dalam menentukan  perolehan kursi terhadap perolehan suara. Dengan Kuota Hare, di daerah pemilihan (dapil) tertentu, partai yang mendapatkan suara sepertiga  BPP (bilangan pembagi pemilih) dan partai yang  mendapat suara 0,9 BPP bisa sama-sama memperoleh 1 kursi.

Sistem Sainte Lague lebih menguntungkan partai besar. Dan partai yang pada sistem yang lalu mendapatkan banyak kursi dari kelebihan suara bisa tidak lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) 4 persen.

Sedikit negara republik unitarian (kesatuan) bersistem presidensial penuh yang  menyelenggarakan pileg bersamaan dengan pilpres; antara lain Turki yang baru saja beralih dari semi-presidensial ke presidensial penuh melalui referendum yang alot.

Pola ini, setelah pemilu ke-12 selesai, perlu dievaluasi apakah baik untuk kita langgengkan.  Membangun negara bangsa merupakan proses sistemik berjangka panjang tanpa akhir dan tanggung jawab setiap generasi  menyerahkan kepada generasi berikutnya negara dalam kondisi dan sistemnya yang lebih baik.

Partai politik telah semakin menjadi lembaga yang sangat strategis di negara kita. Parpol tidak hanya bertugas untuk menyalurkan aspirasi rakyat; melakukan pendidikan politik untuk rakyat; melahirkan gagasan-gagasan baru untuk kemajuan bangsa, negara, dan masyarakat luas di segala bidang; mengartikulasikan gagasan, aspirasi, dan ide dari rakyat untuk diwujudkan dalam penyelenggaraan negara; dan menyosialisasikan  kebijakan-kebijakan negara; tetapi juga memiliki  tugas utama dan mulia, yaitu mencarikan bagi rakyat putra-putri terbaik Indonesia untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan politik. Mulai dari presiden-wakil presiden, menteri, anggota DPR, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota.

Selayaknyalah partai mengajukan figur yang bersih; memiliki integritas, moral, dan etika yang tinggi; memiliki nurani keberpihakan pada kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara; dan tak berorientasi pada kepentingan politik jangka pendek, kelompok, dan golongan; mampu, dan visioner. Tugas penting rakyat pemilih adalah memilih yang terbaik di antaranya. Jika itu terjadi, maka yang duduk di jabatan-jabatan politik adalah yang terbaik dari yang baik, primus inter pares;  lembaga perwakilan rakyat (DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) yang prestasi dan citranya terus merosot karena berbagai kasus, dapat diperbaiki dan  Indonesia akan dapat maju dengan cepat.

Namun, jika parpol dalam memilih calon-calon pemimpin politik berdasarkan mahar dan rakyat  memilih secara transaksional wani piro, hasilnya sudah dapat diperkirakan dan negara kita akan  bergerak terseok-seok. Merebaknya materi kampanye berisi hoaks, fitnah, ujaran kebencian, pemutarbalikan fakta dan data bohong yang berpotensi menurunkan peradaban kita dan memecah belah bangsa, mengindikasikan bahwa  sebagian  pengurus partai atau tim kampanye kandidat bekerja dengan metode agitasi dan propaganda, seperti cara-cara zaman PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mengusung tema perjuangan kelas. Venezuela sekarang terancam perang saudara akibat friksi politik yang tajam buah dari agitasi dan propaganda yang tak proporsional.

Demokrasi yang sehat

Semua pihak perlu bekerja keras untuk mengembalikan atmosfer pileg dan pilpres sebagai arena adu gagasan, berkompetisi menarik perhatian dan empati rakyat atas dasar keunggulan program. Pileg dan pilpres bukan medan perang, dan media sosial (medsos) perlu dimanfaatkan untuk hal-hal yang lebih positif. Pileg dan Pilpres 2019 adalah pemilu dengan penggunaan medsos yang sangat luas, yang dapat menghubungkan pemikiran tokoh langsung ke ruang pribadi warga negara. Bisa merupakan hal yang positif, tetapi juga dibayangi hal negatif.

Masyarakat yang mayoritas berpendidikan SD dengan kemampuan literasi rendah sangat rawan dimasuki pikiran-pikiran sesat. Saat ini sangat mudah membuat gaduh dengan medsos melalui penyebaran hoaks terkait penyelenggaraan Pemilu 2019. Kementerian Komunikasi dan Informatika pada Agustus-Desember  2018 mencatat 62 konten hoaks terkait Pemilu 2019 yang tersebar luas di internet, antara lain tentang tokoh wanita tua yang dipukuli, buruh China di Morowali yang demo, dan tujuh kontainer surat suara yang sudah tercoblos (padahal KPU belum mencetak surat suara),  telah  sempat menyebar luas dan direspons secara emosional oleh yang memercayainya.

Kebebasan yang tak terkendali telah membuat di Indonesia, presiden yang sedang berkuasa, karena dipilih rakyat, mendapat caci maki, pelecehan, penghinaan, dan cercaan seperti saat ini. Padahal, kalau mau mengganti, sodorkan kepada rakyat tokoh yang lebih baik dan ajak rakyat untuk memilih yang lebih baik itu. Intelektual Muslim, Mahfud MD, mengingatkan, demokrasi membuka pintu bagi sikap kritis dan kebebasan berpendapat. Namun, demokrasi akan rusak kalau sikap kritis itu dilakukan melalui fitnah atau berita bohong.

Di negara dengan sistem demokrasi, semua kegiatan parpol bermuara pada upaya memenangi pemilu karena memenangi pemilu berarti memperoleh kepercayaan rakyat untuk memegang kekuasaan. Tujuan utama itu memunculkan sikap Machiavelis yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Hal tersebut terjadi di banyak negara, bahkan yang sudah matang demokrasinya; cara yang kasar, retorika yang keras, mengesampingkan sopan santun, bahkan penggunaan isu rasial masih muncul pada pemilu di AS.

Di AS, Presiden Nixon yang menang pilpres dengan diwarnai skandal Watergate tahun 1972 terus dikenang secara sinis oleh rakyat AS. Di negara kita belum lama ini juga ada manuver politik yang kurang patut oleh tokoh politik senior yang mengancam akan mengerahkan massa menyerbu KPK. Ada ungkapan negarawan "lebih baik menjadi orang kalah yang dikenang baik daripada pemenang yang  memuakkan".

Pileg dan Pilpres 2019 akan menjadi sangat indah jika  pemilih semakin rasional, lebih mampu menganalisis kualitas individu caleg dan capres. Dengan  sistem terbuka/suara terbanyak, rakyat termotivasi memilih tokoh terbaik, tak semata  karena melihat partainya. Secara teoretis,  rakyat pemilih di satu tempat bisa memilih untuk DPRD kabupaten/kota tokoh A dari partai A, tetapi untuk DPRD provinsinya memilih tokoh B dari partai B; untuk DPR tokoh C dari partai C dan presiden yang dipilih bukan yang didukung partai ABC.

Pileg dan Pilpres 2019 mestinya bisa berlangsung dengan lebih tenang karena secara umum massa rakyat, parpol, dan figur capres/cawapres sudah kian tak terbelah dalam aliran-aliran politik ideologis yang tegas. Lanskap politik yang seperti ini seharusnya membuat Pemilu 2019 berlangsung dalam suasana lebih damai, rileks, tanpa konflik yang keras.

Saat ini adalah waktu yang tepat bagi rakyat menimbang untuk menjatuhkan pilihan, baik terhadap parpol/caleg maupun capres. Adalah sangat penting untuk semua pihak menjaga kerukunan dan kesejukan nasional. Jangan mudah terpengaruh oleh isu-isu miring melalui medsos, termasuk yang mempertanyakan kredibilitas penyelenggara pemilu. Dan pada akhir proses pemilu ke-12 nanti, kita percaya dua pasangan capres/cawapres adalah orang-orang yang mencintai negeri ini, yang akan menghormati penetapan oleh KPU. Begitu juga parpol-parpol peserta pileg. Semoga pemilu ke-12 ini mencerminkan naik kelasnya peradaban politik bangsa kita.