Di tengah gemuruh gemerlap penga- nugerahan Kusala Grammy ke-61 kepada lagu, pe- nyanyi, pencipta, komposer di Los Angeles (10 Februari 2019), salah satu lagu paling populer di negeri kita dalam tiga bulan terakhir justru "Sayur Kol".

Konon lagu ini sudah lama diciptakan. Menurut Yulita Futty Hapsari pada Tribunnews.com, penciptanya bukan orang Batak, melainkan Nanu Mulyono, pelawak asal Jawa yang pernah bergabung dengan grup lawak Warkop Prambors. Belakangan lagu itu jadi viral di media sosial setelah dinyanyikan seorang bocah.

Cucu saya yang berumur 6 dan 2,5 tahun sangat fasih dan girang melantunkannya. Lalu muncullah berbagai versi (padang pasir, dangdut, dan sebagainya) dengan memodifikasi jenis daging yang dimakan bersama sayur kol itu.

Bahkan, ada yang memodifikasi syairnya sehingga beraroma politik, mendorong orang mencoblos pada pemilu kelak. Teks asli ataupun modifikasi, begitu juga berbagai versi musik pengiring lagu itu, dengan mudah kita unduh melalui Embah Google dan Youtube.

Sayur kol di Indonesia
Kol, atau kubis, agaknya bukan jenis tanaman atau sayur asli Indonesia. Bibitnya dibawa dari Eropa dan ternyata tumbuh subur di negeri ini. Di Eropa, terutama di Jerman, kol jadi sayur andalan musim dingin, diawetkan dengan cuka, disebut Sauerkraut 'sayur asam', ketika mereka di masa lalu belum dapat menikmati sayur hijau segar pada musim itu.

Di majalah Intisari sekian tahun lalu dikisahkan dengan guyon, konon seorang jongos keluarga Belanda pada zaman kolonial bertanya, "Tuan, ini sayur apa?" Sang tuan menjawab, "Sayur kol." Karena belum pernah mendengar nama itu, si jongos bertanya lagi, "Sayur apa, Tuan?" "Kool, beest! (Kol, binatang!)" "Oh, sayur kobis." Jadilah kol itu mendapat nama lain: kobis atau kubis.

Saking suburnya tanaman kol itu tumbuh dan berbuah, terutama di pegunungan, termasuk di Siborongborong yang jadi latar lagu "Sayur Kol" itu, produksinya melimpah dan tak jarang harganya jatuh, tak cukup menutupi biaya produksi.

Maka, petani kol sering meratap. Di sekitar Siborongborong (dapat diduga di sentra produksi kol yang lain juga) sering kol tercampak di pinggir jalan karena tidak laku atau dibuang petani yang kecewa.

Namun, petani didorong untuk tak putus asa, tetap memuji Tuhan dan bersyukur kepada-Nya seperti terungkap dalam nyanyian rohani, Kidung Jemaat 333, "Sayur Kubis Jatuh Harga".

Meski sering jatuh harga, sayur kol tetap disukai banyak orang dan dijadikan unsur penting dalam berbagai masakan dan sajian. Sulit membayangkan gado-gado, soto, bakwan, atau lalapan pendamping sayur uduk tanpa sayur kol. Karena itu, kita perlu lebih menghargai sayur itu dan para petaninya, termasuk dengan ikut mengupayakan harga yang wajar.

Anjing ke unta
Mendengar seorang bocah dengan lugu melantunkan "makan daging anjing dengan sayur kol", seorang pejabat pemerintah kita (boleh jadi juga yang lain) gusar, lalu mengingatkan: "anjing itu bukan makanan, jangan makan daging anjing, anjing itu sahabat setia manusia". Sungguh benar pernyataan beliau.

Semoga kita tak hanya mengaminkan, tapi juga mengamalkannya. Saya sendiri sudah lebih dari setengah abad memantangkan makan daging anjing; sebaliknya menjadikan anjing sahabat dan penjaga setia di rumah dengan nama keren: Birong, Ji Sung, dan sebagainya.

Memang tak mudah segera menghentikan konsumsi daging anjing di negeri ini. Orang Batak menyebutnya B1 (biang 'anjing'); banyak yang suka karena konon menghangatkan tubuh dan mengusir berbagai penyakit.

Di Minahasa amat banyak orang doyan erwe (singkatan dari rintek wu, si bulu lebat, nama lokal anjing). Di da- erah asal Mas Jokowi, presiden kita, Solo dan sekitarnya, mudah kita temukan warung tongseng asu. Dengan viralnya "Sayur Kol", kita boleh khawatir bahwa semakin banyak orang mendoyaninya.

Syukurlah bangsa Indonesia terkenal kreatif dan akomodatif. Di beberapa versi lagu "Sayur Kol", daging anjing sudah diganti dengan daging unta dengan alunan musik padang pasir, atau daging kambing dengan iringan musik dan irama Melayu. Semoga dengan modifikasi ini, perlahan tapi pasti, tak ada lagi dari kita yang doyan mengonsumsi daging anjing.

Kalaupun yang mengajak dan membawa si penutur dalam "Sayur Kol" Namboru Panjaitan, tentu itu tak dimaksudkan bahwa boru atau marga Panjai- tan pedoyan daging anjing, termasuk pahlawan revolusi Mayjen Donald Isak Panjaitan, grup band Panjaitan Bersaudara (Panbers), dan Jenderal (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan (Menko Kemaritiman sekarang). Kita pahamilah, marga Panjaitan justru ikut menggalakkan konsumsi sayur kol meski ada juga yang mewanti-wanti bahwa sayur kol itu mengandung gas.

Sederhana dan merakyat
Salah satu hal yang membuat "Sayur Kol" viral: melodinya sederhana, kata-katanya merakyat, dan menggambarkan keakraban masyarakat. Spontan mereka martarombo (bertutur silsilah) di pinggir jalan dan "namboru Panjaitan" mengajak makan orang yang kehujanan dan baru dikenalnya. Bukankah ini yang dikenal dan diandalkan bangsa kita: kesanggrahaan? Semoga belum hilang!

Lagu ini sekaligus mengajar kita agar lebih gemar tampil dan berbahasa sederhana nan merakyat ketimbang melontarkan ucapan bombastis elitis canggih.

Bahkan, mestinya kesederhanaan itu membuat kita guyub sebagai bangsa tanpa disekat berbagai atribut pembeda (agama, suku, tingkat pendidikan, gelar). Bukankah para pencetus dan pemimpin agama yang besar selalu tampil sederhana dan merakyat?

Coblos diiringi "Sayur Kol"
Satu bulan lagi kita akan berbondong-bondong mencoblos dalam rangka pemilu. Masih ada sebabak lagi debat antarcalon. Tadi sudah disinggung, "Sayur Kol" juga sudah dimodifikasi jadi ajakan ambil bagian secara aktif dan positif di pemilu.

Sangat baik jika para kandidat ataupun pendukung dan penggembira menyanyikan juga lagu ini, baik pada sesi perdebatan maupun pada puncak perhelatan. Tanpa melupakan adanya aroma kurang sedap dari lirik asli lagu itu, kita diajak merayakan pesta demokrasi itu dengan semangat kesederhanaan, kerakyatan, persahabatan, dan persaudaraan. "Sayur koool, sayur koool…."