Walaupun lebih lambat dibandingkan dengan Malaysia yang telah mendirikannya sejak 1983, pendirian bank pertama tersebut disambut hangat dan diprediksi dapat berkembang pesat. Meski demikian, dalam operasionalnya masih dijumpai banyak kendala dalam bidang regulasi.

Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan terhadap UU Nomor 7 Tahun 1992 yang secara khusus telah mengatur dua sistem perbankan (dual banking system), baik yang bersifat konvensional maupun yang berbasiskan sistem syariah, maka hal ini menjadi pijakan dasar atau milestone yang sangat strategis bagi beroperasinya perbankan syariah.

Sangat besarnya harapan agar perbankan syariah dapat tumbuh pesat tidaklah berlebihan mengingat sebagian besar penduduk di Indonesia beragama Islam. Keyakinan ini didasarkan pada sistem perbankan syariah yang tidak berbasiskan pada tingkat bunga atau riba yang menjadi hal yang sangat terlarang bagi umat Islam, tetapi dengan menggunakan sistem bagi hasil yang bebas dari unsur riba (interest free).

Penguatan dan pengembangan sistem perbankan syariah dilakukan dengan pemberlakuan UU Nomor 21 Tahun 2008 yang secara khusus mengatur tentang perbankan syariah. Aktivitas pasar keuangan syariah menjadi lebih lengkap dan bervariasi dengan telah diberlakukannya UU Nomor 19 Tahun 2008 yang mengatur tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau yang dikenal juga dengan istilah sukuk.

Walaupun pada awalnya aktivitas perbankan syariah menunjukkan perkembangan yang signifikan, pada akhirnya mengalami stagnasi dan mengalami fenomena jebakan 5 persen (5 percent trap) karena sampai dengan pertengahan 2018 pangsa pasarnya masih bertengger pada angka 5,7 persen.

Kontribusi terbesar berasal dari bank umum syariah, yaitu sekitar 66,22 persen dan unit usaha syariah sebesar 31,25 persen. Sedangkan kontribusi bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) justru hanya sebesar 2,53 persen. Pada sisi lain, pangsa pasar keuangan syariah selain saham juga hanya mencapai 8,47 persen dengan nilai kapitalisasi Rp 1.204,5 triliun.

Besaran aset keuangan syariah tersebut sebagian besar dalam bentuk sukuk negara (50,83 persen) dan sisanya dalam bentuk asuransi syariah (3,47 persen), reksadana syariah (2,67 persen), lembaga pembiayaan syariah (2,45 persen), dan selebihnya teralokasi dalam beberapa produk keuangan syariah lainnya.

Kinerja sektor keuangan syariah tersebut juga terefleksi dalam gambaran yang tersaji pada Global Islamic Finance Report 2017. Hasil pemeringkatan terhadap pencapaian indeks keuangan di negara-negara Islam atau yang lebih dikenal dengan istilah Islamic Finance Country Index (IFCI) pada tahun 2017 adalah berada pada peringkat ketujuh.

Sebagai pemegang peringkat pertama adalah Malaysia yang selanjutnya diikuti Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Pakistan. Namun, berdasarkan informasi dari sumber yang terkait dengan proses pemeringkatan tersebut, pada 2018 Indonesia mengalami kenaikan peringkat menjadi keenam. Kenaikan peringkat ini tentunya menjadi salah satu pendorong untuk semakin meningkatkan kinerja keuangan syariah di Indonesia.

Tantangan

Masih rendahnya pangsa pasar perbankan dan keuangan syariah dibandingkan dengan pangsa pasar sektor sejenis yang bersifat konvensional serta masih rendahnya peringkat indeks keuangan di tataran negara-negara Islam disebabkan masih adanya berbagai permasalahan strategis yang sekaligus menjadi tantangan bagi semua pemangku kepentingan yang terkait dengan pengembangan sektor keuangan syariah.

Secara kategori, permasalahan utama yang masih melingkupi dalam proses pengembangan keuangan syariah di antaranya implementasi regulasi yang belum sepenuhnya dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen, masih belum memadainya pemahaman tentang produk-produk keuangan syariah, masih rendahnya kapasitas penyerapan perbankan dan lembaga-lembaga keuangan syariah, keterlibatan korporasi dan sumber-sumber pendanaan besar, sampai pada permasalahan ketidakefisienan dalam penyelenggaraan perbankan dan lembaga-lembaga keuangan syariah.

Dari sisi regulasi sebenarnya sudah tersedia berbagai perangkat peraturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan perbankan syariah ataupun lembaga-lembaga keuangan yang mencakup pasar modal, lembaga pembiayaan syariah, dan asuransi syariah. Meski demikian, dalam pelaksanaannya belum berjalan secara optimal. Hal ini disebabkan masih adanya kebutuhan untuk melakukan langkah harmonisasi di antara berbagai peraturan perundangan yang ada sehingga dapat menjadi faktor pendorong yang kuat serta saling bersinergi dalam upaya menumbuhkembangkan kinerja keuangan syariah. Pada sisi lain, peraturan perundangan yang diharapkan menjadi pendukung bagi lembaga-lembaga sumber pendanaan besar, seperti halnya lembaga-lembaga jaminan sosial dan asuransi sosial, dirasakan belum sehingga partisipasi aktifnya belum bisa diharapkan secara penuh.

Pemahaman hampir seluruh lapisan masyarakat tentang produk-produk keuangan syariah juga tergolong relatif masih sangat minim. Proses edukasi dan literasi terhadap sistem keuangan syariah dirasa belum meluas dan mendalam. Berdasarkan pengukuran tingkat kesadaran masyarakat Indonesia terhadap penggunaan sistem keuangan jauh tertinggal dari Malaysia. Penduduk Malaysia yang beragama non-Muslim pun banyak yang memanfaatkan sistem keuangan syariah dengan pertimbangan nilai manfaatnya.

Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk melihat tingkat pemahaman masyarakat di antaranya dari penyelenggaraan seminar, konferensi, dan pemberitaan tentang sistem keuangan syariah yang juga masih cukup rendah.

Permasalahan masih rendahnya kapasitas penyerapan perbankan dan lembaga-lembaga keuangan syariah, keterlibatan korporasi dan sumber-sumber pendanaan besar, sampai pada permasalahan ketidakefisienan dalam penyelenggaraan perbankan dan lembaga-lembaga keuangan syariah, baik secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri, mempunyai andil yang sangat signifikan terhadap kondisi masih rendahnya pangsa pasar perbankan dan keuangan syariah. Hal ini disebabkan ketiga variabel tersebut mempunyai keterkaitan dan hubungan sebab akibat.

Penguatan sistem

Menyadari adanya ketertinggalan dalam optimalisasi pengembangan sistem keuangan syariah, pada akhir 2015 pemerintah telah menetapkan Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia (MAKSI). Secara garis besar dalam peta jalan keuangan syariah tersebut telah dilakukan analisis secara komprehensif terhadap lanskap industri keuangan syariah di Indonesia, identifikasi dan pemetaan terhadap berbagai hambatan utama dalam pertumbuhan industri, peran keuangan syariah dalam pembangunan ekonomi Indonesia, kesesuaian strategis dengan rencana pembangunan nasional, serta rekomendasi utama terhadap berbagai permasalahan yang masih melingkupi pertumbuhan keuangan syariah.

Salah satu rekomendasi utamanya adalah adanya keperluan untuk membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang bertindak sebagai suatu badan nasional untuk mengawasi proses pelaksanaan peta jalan keuangan syariah dalam pencapaian visi keuangan syariah. Pembentukan badan KNKS dilakukan pada 2017 dan diketuai oleh presiden yang dibantu oleh wakil presiden sebagai wakil ketua dan enam menteri serta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai dewan pengarah.

Pada awal tahun ini juga telah dilengkapi dengan unsur manajemen eksekutif sehingga sudah bertugas sepenuhnya dalam melakukan percepatan, perluasan, dan promosi pengembangan keuangan syariah untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional.

Dalam implementasinya, KNKS mempunyai perhatian yang sangat besar pada bidang inovasi produk, pendalaman pasar, serta pengembangan sistem keuangan syariah. Ketiga bidang fokus utama ini mempunyai efek pengganda yang sangat besar dalam optimalisasi sumber-sumber dana potensial agar tertarik masuk ke dalam sistem keuangan syariah.

Bidang keuangan inklusif, dana sosial keagamaan dan keuangan mikro syariah juga diberikan porsi perhatian yang sangat besar oleh KNKS mengingat dalam operasionalisasinya juga belum terlaksana sebagaimana yang diharapkan.

Dalam perkembangannya, keberadaan MAKSI nantinya akan dilengkapi dengan peta jalan pengembangan sektor riil syariah dan industri halal yang bertujuan untuk memajukan skala usaha ekonomi syariah. Dengan adanya program pengembangan ekonomi syariah yang lebih tersistem, maka tujuan untuk meningkatkan skala pendapatan masyarakat melalui keterlibatannya dalam berbagai usaha syariah dan industri halal juga dapat menjadi faktor pendorong yang sangat kuat bagi peningkatan pangsa pasar keuangan syariah, baik perbankan syariah, pasar modal syariah, maupun lembaga keuangan syariah lainnya.

Seperti halnya kinerja keuangan syariah yang masih rendah pangsa pasarnya, kinerja ekonomi syariah yang diukur dengan menggunakan sistem pemeringkatan Global Islamic Index juga masih rendah. Pada tahun 2018 peringkatnya masih berada pada urutan ke-10 bersama-sama dengan Jordania.

Dalam rangka memperkuat infrastruktur sistem keuangan syariah, maka pada tahap awal dan secara kontinu akan dilakukan kaji ulang secara komprehensif terhadap semua peraturan perundangan yang ada. Hal ini dilakukan selain untuk melengkapi sistem peraturan yang ada juga untuk meminimalkan terjadinya disharmoni antara peraturan perundangan yang satu dan yang lainnya.

Oleh karena itu diperlukan dukungan, koordinasi, dan komunikasi yang intens dengan para pemangku kepentingan, baik dengan regulator maupun industri perbankan dan keuangan syariah. Pengembangan pendidikan dan riset keuangan syariah juga perlu menda-
pat porsi perhatian yang besar. Hal ini dimaksudkan untuk memperluas dan memperdalam pemahaman masyarakat terhadap sistem keuangan syariah beserta produk-produk dan manfaat yang bisa dirasakan.