Dengan menempatkan Calon Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin sebagai faktor utama dalam pasangan 01 (Joko Widodo-Ma'ruf Amin) dan isu-isu identitas Islam yang diusung oleh pasangan 02 (Prabowo Subianto-Sandiaga Uno), dia menyimpulkan kemenangan pilpres sudah bisa ditentukan sekarang, yaitu kelompok Islamis atau konservatif Islam, pasangan mana pun yang akan menang nanti.

Menurut Eka, dengan melihat rekam jejak kiai Ma'ruf dalam isu-isu sektarian agama dan diskriminasi terhadap minoritas serta lembaga di mana dia berafiliasi dan produk-produknya pada masa lalu, tidak bisa dimungkiri itulah yang akan terjadi nanti. Dan, Jokowi—meskipun posisinya sebagai presiden—sudah terperangkap di dalam bingkai tersebut. Sementara jika yang menang pasangan 02, dengan melihat kelompok pendukung utama yang vokal dengan isu-isu sektarian yang diusung, akan menunjukkan hal yang sama.

Matras putih  

Dengan melihat faktor-faktor dan unit analisis yang digunakan, kesimpulan yang ditarik oleh Eka itu benar adanya. Namun, saya kira dia melupakan faktor-faktor lain yang berkembang, baik dalam atmosfer Indonesia secara umum maupun pergeseran pribadi masing-masing dan kelompok yang melingkupinya. Meminjam varian agama Jawa atau Indonesia oleh  MC Ricklefs sebagai abangan dan putihan, atau Clifford Geertz dengan tiga varian priyayi, santri, abangan, di mana varian-varian itu berada di atas matras tebal abangan.

Akan tetapi, kini matrasnya sendiri sudah berganti dengan apa yang oleh Bob Hefner (2018) disebut sebagai whiter religious field (matras agama yang makin putih)". Namun, bagi Hefner, makin putihnya matras itu tidak dengan sendirinya makin konservatifnya perilaku masyarakat Muslim, tetapi terjadi juga penebalan kelompok-kelompok prokeragaman dan pluralisme di dalam kelompok-kelompok "pemutih" matras tersebut. Hefner menunjukkan dua kelompok yang kian mencolok di masyarakat Muslim Indonesia, yaitu adreng-nya kelas menengah Indonesia terhadap sufistik dan kesetaraan perempuan dalam berbagai lapangan kehidupan.

Islam sufistik tidak saja berkarakter terbuka, juga memperjuangkan keterbukaan itu sendiri untuk membuka ruang bagi dirinya. Dalam sejarah, sejak Islam meluas di Jawa atau Indonesia, paham Islam sufistik menjadi pencair dalam "campuran" Islam-budaya dan kepercayaan lokal atau Ricklefs menyebutnya sebagai mystic synthesis in Java (2006) sejak abad ke-14 hingga ke-19. Namun, karakter sufi kini lebih menampakkan watak sosialnya ketimbang kepercayaan mistiknya.

Menurut Hefner, sekolah-sekolah agama Islam kini cenderung didominasi atau setidaknya 50 persen perempuan, hal yang tidak terjadi pada masa lalu. Dalam waktu bersamaan banyak lahir aktivis feminis untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan di masyarakat dan doktrin Islam itu sendiri. Juga mudah ditemukan pemimpin politik perempuan dengan penampilan asesoris Islam tetapi maju dalam menggerakkan pelayanan publik yang baik dan nondiskriminatif.

Jika diluaskan amatan kita, kita bisa temukan bahwa PDI-P sudah lama mendirikan sayap Islam di dalam kepengurusan dengan nama Baitul Muslimin, partai yang sampai sekarang masih dicap gudangnya "abangan". Di samping itu, kini kita dengan mudah menemukan para pejuang hak-hak asasi manusia, kesetaraan jender dan demokrasi yang berlatar santri atau "putihan" dan sehari-hari mereka menggunakan simbol Islam di ruang publik seperti jilbab bagi yang perempuan.

Dengan kata lain, benar belaka bahwa dengan merekrut kiai Ma'ruf sebagai wakilnya, Jokowi sedang menggelar matras putih sebagai tempat menari dalam politik Pilpres 2019. Namun, irama tarian berikutnya tidak dengan sendirinya akan didikte oleh irama konservatif yang merupakan representasi kiai Ma'ruf sebelumnya. Demikian pula jika pasangan 02 menang, konsesi lebih luas mungkin akan diberikan kepada mereka, tetapi tidak dengan sendirinya akan mengikuti seluruh kemauan kelompok tersebut, mengingat penebalan lapisan keragaman dan pluralisme juga ada di dalam setiap kelompok pasangan tersebut.

Pergeseran

Sejak demonstrasi 212 yang berujung pemenjaraan dan kekalahan BTP atau Ahok di Pilgub DKI Jakarta, sebenarnya terjadi pergeseran pula, baik di Jokowi maupun kiai Ma'ruf dan komunitas besarnya, Nahdlatul Ulama (NU), juga di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jokowi makin sadar bahwa Islam moderat penting bukan hanya untuk kelangsungan kepresidenannya, melainkan juga kesuksesan pembangunan yang adil dan merata serta menutup kesenjangan yang jadi salah satu sebab gerakan oposisi bermotif agama itu. Sejak itu, misalnya, Jokowi tak hanya sangat sering berkunjung ke komunitas Islam dan pesantren, juga mengarahkan dana cukup besar untuk pemberdayaan umat yang ada di bawah, baik melalui NU dan pesantren maupun Muhammadiyah dan ormas Islam yang lain.

Kebetulan bahwa sejak Agustus 2015, kiai Ma'ruf yang sebelumnya full time sebagai ketua umum di MUI kemudian terpilih sebagai Rois 'Am PBNU sehingga harus membagi waktu dan keseimbangan. Semula terpilihnya Ma'ruf di posisi Rois 'Am PBNU membuat banyak orang khawatir tentang kemungkinan perubahan pada PBNU kian konservatif. Namun, yang terjadi adalah kiai Ma'ruf-lah yang menyesuaikan dengan pandangan PBNU yang juga sering bertabrakan dengan MUI sejak lama dalam hal minoritas dan sektarianisme.

Kiai Ma'ruf sejak itu berganti haluan lebih dekat ke Jokowi dan mengubah perhatian dari paham keagamaan umat (minoritas) ke pemberdayaan umat. Kiai Ma'ruf juga mendukung pembredelan ormas HTI.             Dengan demikian, belum bisa diukur bahwa pasangan mana pun yang menang akan seratus persen lebih konservatif atau seberapa konservatif nantinya. Keduanya memiliki potensi yang sama untuk lebih konservatif, tetapi melihat pergeseran-pergeseran yang terjadi, kiai Ma'ruf tidak bisa disebut sebagai faktor dominan yang bisa mengarahkan kebijakan itu.

Masih terbuka peluang bagi mereka yang tidak ingin pemerintahan lebih konservatif bagi pendukung di dalam maupun yang di luar untuk menjaga agar pasangan yang menang tidak mengarah pada konservatisme agama. Akan tetapi, memang kita dipaksa oleh zaman untuk menari di atas warna matras yang makin putih.