KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas

Beberapa tahun lalu banyak kalangan berpendapat, media sosial efektif untuk kampanye politik dan perubahan sosial. Akan tetapi belakangan peran media sosial dikritisi karena kehendak memilih bebas bisa dikalahkan oleh akun palsu dan robot.

Mengapa media sosial dipersepsikan malah lebih banyak digunakan untuk menebar fitnah dan kebencian? Mengapa kisah sukses, kabar baik, dan lain-lain bisa kalah dengan unggahan-unggahan negatif di media sosial?

Kini posisi media sosial menjadi tantangan. Tak sedikit yang mengatakan media sosial menjadi ancaman bagi demokrasi.

Tidak mengherankan bila para calon dalam pemilu mengatakan, tantangan mereka adalah media sosial. Dana dalam jumlah besar dikucurkan untuk tim media sosial mereka. Meski sebenarnya tidak ada hubungan lurus antara kesuksesan kampanye di media sosial dengan kesuksesan mereka kelak di pemilihan. Istilah mereka: menang di media sosial belum tentu menang di riil. Lalu, mengapa mereka memasuki kampanye di media sosial?

Tak sedikit yang mengatakan media sosial menjadi ancaman bagi demokrasi.

Berkaca dari kecanggihan Cambridge Analytica, perusahaan ini mampu menganalis preferensi calon pemilih berdasarkan aktifitas akun mereka di media sosial. Analisis itu berdasakan beberapa aktifitas seperti tanda suka dan juga berita-berita yang sering dibagikan oleh pemilik akun selama ini.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Media sosial seperti Facebook dan Twitter, menjadi tempat bertebarannya ujaran kebencian, berita bohong, dan informasi sampah, dan kian marak menjelang pemilihan umum.

Semisal A telah memutuskan akan memilih Y, si B masih ragu-ragu dengan Y, dan si C tidak akan memilih Y. Dengan informasi itu, Cambrige Analytica bisa memengaruhi A dengan menggunakan unggahan-unggahan yang berbeda dan telah dikemas agar membuat A makin yakin dengan Y, si B akan dipengaruhi agar secepatnya memilih Y, dan semakin banyak unggahan ke C agar dia ragu dengan calon lain dan memilih Y.

Media konvensional bersifat menarget calon pemilih secara tidak langsung sementara media sosial bisa menarget langsung ke sasaran. Bila Y ingin menarget massa tertentu seperti berada di area tertentu, memiliki hobi tertentu, atau memiliki keterikatan dengan organisasi tertentu maka media sosial menyediakan fasilitas penargetan tersebut.

Sebaliknya calon pemilih menjadi memiliki kedekatan atau hubungan langsung dengan Y. Salah satu riset di Amerika Serikat mengatakan, sekitar 62 persen orang mendapatkan berita dari media sosial. Data ini menunjukkan betapa vitalnya peran media sosial di dalam kampanye.

Pemikiran ini setidaknya membantah pendapat: menang di media sosial belum tentu menang di riil. Dengan strategi yang tepat maka mereka bisa memenangkan di media sosial sekaligus memenangkan pemilihan riil.

Meski demikian di balik itu semua media sosial kita banyak dikiritik. Kalangan penggerak revolusi yang sukses beberapa waktu lalu mengatakan, mereka sukses menumbangkan rezim dan membuat perubahan melalui media sosial namun mereka gagal untuk membuat konsensus dan perubahan ketika rezim berganti. Kini mereka mengatakan, untuk membebaskan masyarakat maka bebaskan mereka dari internet terutama media sosial.

Ada juga yang mengatakan, keberadaan media sosial menjadi ancaman bagi demokrasi. Kehendak memilih bebas dari calon pemilih bisa dikalahkan oleh propaganda komputasional. Perang opini di media konvesional yang langsung diutarakan oleh sosok yang berlaga di pemilihan umum di dunia media sosial bisa digantikan oleh akun-akun palsu dan robot. Komentar dan unggahan bisa dijalankan oleh mesin.

Kehendak memilih bebas dari calon pemilih bisa dikalahkan oleh propaganda komputasional.

Kebencian dan fitnah yang tak mudah dan tak akan diutarakan di media konvensional atau kampanye langsung akan mudah meluncur di media sosial. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa fitnah dan ujaran kebencian bermunculan di media sosial. Sebaliknya kabar baik dirasakan sedikit tenggelam di media sosial. Perbedaan di masyarakat juga dipertajam dan dampaknya diperbesar oleh media sosial.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Warga melakukan aksi simbolik penolakan penyebar luasan hoaks, ujaran kebencian, dan praktik politik uang, dalam acara yang digelar oleh Bawaslu Kota Yogyakarta di Alun-alun Selatan, Yogyakarta, Minggu (24/2/2019). Penyebar luasan hoaks dan ujaran kebencian banyak dilakukan melalui media sosial.

Di sini terlihat tantangan media sosial. Perusahaan teknologi media sosial pasti telah memiliki berbagai upaya untuk menangkal penggunaan media sosial yang tidak benar ini. Facebook telah menurunkan sejumlah unggahan yang mengandung misinformasi. Polisi juga telah menerjunkan aparatnya untuk menangkap para pengunggah fitnah dan ujaran kebencian. Beberapa kali polisi menangkap pembuat dan penyebar ujaran kebencian dan fitnah.

Beberapa organisasi juga telah memberikan panduan bermedia sosial dalam kampanye. Bahkan ada yang mengusulkan untuk meregulasi media sosial agar pemilihan umum menjadi berintegritas dan berkeadilan. Pengaturan bisa dilakukan salah satunya dengan mengendalikan iklan digital di media sosial.