INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018

Kalabahi masih mengendapkan kesan yang begitu kental di pikiran dan hati. Padahal, perjalanan ke Kalabahi sudah terjadi pada  April 2017. Akan tetapi, ibu kota Kabupaten Alor,  Nusa Tenggara Timur, ini tetap meninggalkan kesan tak terlupakan. Ada keindahan di sana. Ada kedamaian di sana. Di sana juga ada persaudaraan. Ada pula ketulusan dan kebersihan hati.

Keindahan adalah sesuatu yang menyenangkan tanpa pamrih, tanpa adanya konsep-konsep tertentu. Begitu menurut Immanuel Kant (1724-1804), seorang filsuf dari Jerman. Thomas Aquinas (1225-1274), seorang filsuf dan teolog dari Italia, mengatakan, keindahan adalah sesuatu yang menyenangkan bilamana dilihat.

Dan, keindahan identik dengan kebenaran. Keindahan identik dengan kebenaran. Sesuatu yang indah itu selalu mengandung kebenaran. Keindahan merupakan kebenaran dan kebenaran adalah keindahan. Keduanya mempunyai nilai yang sama, yaitu abadi, dan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah. Sesuatu yang tidak mengandung kebenaran berarti tidak indah. Walaupun kelihatannya indah, tetapi tidak mengandung kebenaran, hal itu pada prinsipnya tidak indah.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Lalu lintas kapal di dermaga Kalabahi, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, Jumat (27/11/2009).

Kalabahi memang indah. Kota itu terletak di bagian dalam Teluk Mutiara (dulu bernama Teluk Kalabahi) dan memiliki pelabuhan alam sendiri. Teluk Mutiara juga begitu indah. Airnya biru berlapis-lapis, mulai dari biru muda sampai biru tua; dari putih hingga hijau. Jernih. Indah. Permukaan teluk rata, serata meja-maja mahal, bikinan seorang tukang mebel yang andal. Perahu nelayan dan pembawa wisatawan hilir mudik dari Pulau Alor ke Pulau Kepa yang berpasir putih di tengah Teluk Mutiara. Pulau Kepa tak jauh dari lepas pantai Pulau Alor, hanya sekitar 200 meter. Nun jauh di sana, di cakrawala, air laut bertemu dengan langit, begitu akrab, begitu mesra.

Kemesraan itu, terutama antar-anak bangsa, sekarang mulai menipis digantikan oleh perseteruan. Perseteruan politik untuk memperebutkan kekuasaan. Padahal, tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warga negara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral (Haryatmoko, 2003).

Dengan demikian, politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Dan, kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Keutamaan diperoleh melalui jalan membiasakan diri dan karena itu merupakan hasil latihan. Keutamaan tidak dimiliki manusia sejak lahir. Pada masa anak, seorang manusia belum berkeutamaan. Keutamaan terbentuk melalui suatu proses  pembiasaan dan latihan yang cukup panjang, di mana pendidikan tentu memainkan peranan penting.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Anak-anak bermain sambil belajar dengan media pembelajaran yang dibuat dari barang bekas dalam pameran pendidikan dan kebudayaan di Pusdiklat Kemdikbud, Depok, Jawa Barat, Rabu (13/2/2019). Alat peraga pendidikan ini dibuat oleh para siswa SD Deresan, Sleman, Yogyakarta, sebagai aplikasi mata pelajaran tematis yang meliputi Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Pembentukan Karakter.

Akan tetapi, realisme politik akan memisahkan politik dari etika. Jadi, tidak aneh kalau kemudian cara-cara yang tidak demokratis dan inkonstitusional dipakai untuk memperoleh kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, atau menggagalkan kekuasaan lawan politiknya. Dalam rumusan lain digunakan prinsip "menghalalkan segala cara" atau "tujuan menghalalkan cara". Yang belakangan ini paling jelas adalah digunakannya media sosial untuk menyebarkan berita bohong, hoaks, fitnah, berita tanpa data yang benar, berita tanpa dasar, pemutarbalikan data dan fakta, dan juga manipulasi data serta fakta.

Memang sejak dulu kekuasaan itu membuai, menggiurkan, dan memabukkan sehingga membuat orang yang keranjingan kekuasaan lupa daratan. Bisa menghalalkan segala cara demi yang namanya kekuasaan itu. Kekuasaan itu memang tremendum (menggentarkan) dan fascinosum (memesona). Karena memesona, banyak orang yang terpesona hingga mabuk kekuasaan. Banyak orang rela mabuk, lupa diri, demi yang namanya kekuasaan.

Di Firenze, Italia, dahulu ada tokoh yang menguraikan tentang menghalalkan segala cara itu secara panjang lebar. Dialah Niccolo Machiavelli (1469-1527). Lewat buku Il Principe, Machiavelli menguraikan cara-cara merebut, mempertahankan, dan kehilangan kekuasaan. Dari sinilah kemudian muncul salah kaprah, seakan Machiavelli menganjurkan tindakan menghalalkan segala cara untuk merebut, mempertahankan kekuasaan, dengan mengesampingkan segala macam nilai-nilai moral. Maka, sering tindakan yang menghalalkan cara disebut sebagai Machiavellian, seperti yang dilakukan oleh Hitler, Stalin, Lenin, Mussolini, dan masih banyak tokoh lainnya.

KOMPAS/YULVIANUS HARJONO

Patung Vladimir Lenin berdiri di depan Stadion Luzhniki, arena pembukaan dan final Piala Dunia Rusia.

Nafsu untuk memperoleh kekuasaan itulah, di mana-mana termasuk di negeri ini, yang telah menghancurkan harmoni kehidupan; yang telah merusak keindahan keragaman; yang telah mengubah cinta menjadi kebencian; yang telah mengganti persahabatan dengan permusuhan; yang telah mencopot toleransi dan menggantikannya dengan intoleransi. Nafsu akan kekuasaan itu telah pula menyingkirkan akal sehat, bahkan melemparkan hati nurani. Yang dulu negarawan kini menjadi politisi yang disesaki oleh kepentingan diri, bukan kepentingan banyak orang.

Menyimak apa yang terjadi belakangan, seakan di negeri ini tidak ada lagi homo homoni socius (manusia menjadi sahabat bagi sesamanya), tetapi yang ada hanyalahhomo homini lupus (manusia sebagai serigala bagi sesamanya). Kondisi seperti itu tidak hanya dengan mudah ditemui di kota-kota besar, tetapi bahkan di desa-desa. Permusuhan, pertikaian karena berbeda pilihan politik, pilihan ideologi, pilihan partai, pilihan tokoh, telah mengubah manusia menjadi lupus bagi sesamanya. Adalah media sosial yang antara lain berperan dalam penyebaran kebencian, permusuhan, ketidaktoleranan, kebohongan, termasuk juga fitnah. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi inilah yang digunakan oleh para politisi yang tidak memiliki virtue, keutamaan, untuk memuaskan hasrat, ambisi, dan nafsu kekuasaannya.

Akan tetapi, ketika itu tahun 2017, di Kalabahi tidak ada kebencian, tidak ada permusuhan, tidak ada ketidaktoleranan, tidak ada fitnah, tidak ada kebohongan, yang ada hanyalah keindahan. Keindahan yang tidak menipu. Tidak tahulah sekarang, apakah Kalabahi sudah seperti desa-desa di Jawa, juga di wilayah lain di negeri ini yang sudah diracuni oleh nafsu kekuasaan, ditanami benih-benih kebencian, disebar hawa ketidaktoleranan agama dan etnis, dibanjiri berita-berita hoaks, bohong, dan fitnah.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Para siswa lintas agama dan sekolah mengikuti Wisata Bhinneka di Gereja Kristen Jawa Tanjung Priok, Cilincing, Jakarta, Rabu (16/1/2019). Selain ke gereja, mereka juga mengunjungi masjid, wihara, dan pura di Jakarta Utara. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran toleransi lintas agama dan memperkuat kebinekaan Indonesia di kalangan generasi muda.

Lalu, apa artinya pemilu kalau hanya menghasilkan perpecahan? Padahal, demikian tulis Sindhunata (Basis, 2017), demokrasi adalah "perayaan perbedaan". Demokrasi hidup karena menerima identitas kelompok yang berbeda-beda. Maka, kalau situasi seperti sekarang ini terus berlanjut,  tidak akan ada lagi perayaan perbedaan karena perbedaan menjadi penyebab awal terjadinya perpecahan, dan bukannya rahmat pemersatu.