Lawan diserang bertubi-tubi dengan berita bohong. Ada upaya delegitimasi penyelenggara pemilu. Ajang pemilu dijadikan perang melawan kebatilan (evil). Menang berarti Indonesia lebih baik. Kalah berarti kiamat lebih cepat tiba. Menggagalkan terpilihnya lawan pun sebuah misi suci.

Seolah-olah rakyat berdaulat, padahal yang dijunjung calon presiden. Dukungan massa dimanipulasi. Filsafat, ilmu teoretis-kritis, jadi legitimasi untuk menyerang lawan politik. Momen sakral manusia berbicara kepada Yang Mahakuasa pun jadi doa politik untuk mengesankan Tuhan berpihak.

Alumni perguruan tinggi melegitimasi dukungan politik secara intelektual. Demikian pula dukungan atas nama alumni SMA bermunculan.

Sebagai permainan

Kata Yunani agon (perjuangan) adalah sebuah unsur penting dalam filsafat permainan Yunani kuno. Dengan agon, lawan tanding harus diperhitungkan serius sebagai target untuk dikalahkan. Pihak-pihak yang bermain pun terbelah.

Moto Olimpiade, pertandingan akbar antarbangsa dengan cabang olahraga terlengkap empat tahun sekali, adalah citiusaltiusfortius. Ketiga kata Latin itu juga tertera di gerbang utama Gelora Bung Karno, berarti lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat. Dengan agon, atlet memecahkan rekor lama dan mengukir rekor baru.

Pemilu sebagai bagian dari demokrasi bisa dijelaskan dengan metafora agon. Ada kompetisi di antara kontestan politik. Ada strategi untuk menang dan mengalahkan lawan. Ada aturan-aturan main yang harus dipatuhi agar kontestasi berjalan sportif. Ada wasit yang berperan sebagai penyelenggara pemilu (Komisi Pemilihan Umum/KPU).

Ada juga pengawas penyelenggaraan pemilu (Badan Pengawas Pemilihan Umum/ Bawaslu) sebagai pengawas kinerja dan kode etik pejabat di lingkungan KPU, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Semua itu untuk menjamin pelaksanaan pemilu yang jujur (transparan, kredibel) dan adil (tak memihak, akses sama untuk semua peserta pemilu). Petahana wajib memfasilitasi terlaksananya pemilu yang aman.

Selain agon, unsur penting lain dalam tradisi permainan filsafat Yunani adalah eros (cinta). Dengan eros, pemain larut dalam permainan, gembira dalam bermain, merasa diri utuh dan menjadi diri sendiri. Itulah nikmatnya permainan, fenomena manusia sebagai makhluk bermain (homo ludens).

Eros pemain bisa menjalar kepada penonton yang larut sebagai suporter, menyatukan masyarakat Indonesia saat Asian Games 2018 berlangsung yang sebenarnya terbelah karena beda pilihan politik.

Keseimbangan antara eros dan agon sangat penting untuk ideal permainan. Kalah menang dalam bentuk angka hanya simbol untuk mengakhiri suatu permainan. Sejatinya, tiada juara tanpa lawan yang dikalahkan. Karena perjuangan keras lawan, sang juara bisa memperlihatkan kebolehannya.

Usai suatu laga sengit, kedua pihak yang berlaga bersalaman dan bertegur sapa, menunjukkan sportmanship. Kadang-kadang penonton spontan berdiri sebagai apresiasi atas suatu laga yang sangat menarik.

Apabila eros melebihi agon, permainan jadi tak serius, main-main, tak menarik. Apabila agon melebihi eros, orang tergoda berbuat curang, kalah dibawa masuk ke hati, wasit dipukul, antarsuporter berkelahi. Berikut untaian kata-kata bijak Drijarkara, filsuf Indonesia, tentang hakikat permainan.

"Bermainlah dalam permainan, tetapi janganlah main-main! Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan janganlah dipersungguh! Kesungguhan permainan terletak pada ketidaksungguhannya sehingga permainan yang dipersungguh tidaklah sungguh lagi. Mainlah dengan eros, tetapi jangan mau dipermainkan eros! Mainlah dengan agon, tetapi jangan mau dipermainkan agon! Barangsiapa mempermainkan permainan akan menjadi permainan-permainan. Bermainlah untuk bahagia, tetapi janganlah mempermainkan bahagia!"

Bahagia berdemokrasi

Berdemokrasilah untuk bahagia, tetapi jangan mempermainkan demokrasi!

Idealnya, pemilu memunculkan pemimpin terbaik pada suatu masa perjalanan bangsa. Kampanye dan debat harus memperlihatkan kualitas kepemimpinan dan penguasaan masalah. Rakyat berhak mendapat tontonan kampanye yang mencerdaskan dan membuat bangsa berdaulat di negeri sendiri.

Pemilu manifestasi daulat dan kepercayaan rakyat, jalan demokratis bagi rakyat untuk semakin mendekati cita-cita sosial berbangsa dan bernegara. Masyarakat tak harus memiliki pemimpin yang itu-itu juga dari waktu ke waktu. Secara periodik dimungkinkan proses terukur dan damai untuk mengakhiri kepemimpinan lama dan memilih pemimpin baru.

Petahana bisa memimpin kembali sejauh masih dipercaya sebagian besar rakyat. Kontestasi agonistik tak mengizinkan siapa pun melenggang maju. Ia harus meyakinkan rakyat pemilih terkait kesanggupannya untuk lebih berprestasi lagi. Bagi rakyat, siapa pun yang terpilih hanya soal siapa yang dipercaya lebih baik.

Karena itu, pemilu identik dengan pesta demokrasi. Dengan gembira, rakyat berpartisipasi memilih sesuai dengan suara hati, meyakini pilihannya akan membawa kemajuan sosial dan membahagiakan. Kalaupun pilihannya nanti tidak menang, ia percaya pemimpin yang tidak dipilihnya juga tidak jelek sebab mustahil mayoritas begitu bodohnya sehingga tidak bisa membedakan mana yang baik dan jelek.

Pemilu sebagai jalan demokratis untuk berkuasa kehilangan nuansa gembira pesta. Namun, cara berdemokrasi kita terlalu melibatkan pendukung dan sukarelawan yang siap pasang badan demi kemenangan calonnya. Tidak cuma membela atau menyerang, pihak yang berbeda pilihan jadi musuh.

Pertemanan rusak. Ujaran kebencian dan kebohongan berhamburan. Agon pendukung jauh lebih besar daripada eros, membuat antarpendukung rentan gesekan. Persatuan bangsa pun menjadi taruhan.

Pemimpin macam apa yang akan lahir dari rahim demokrasi agonistik? Calon pemimpin seperti apa yang membiarkan rakyat berjibaku dalam kampanye hitam? Yang bertarung adalah dua pasang putra terbaik bangsa. Kepemimpinan nasional bukan soal giliran memimpin karena rakyat berhak mendapat pemimpin baik.

Kontestasi demokrasi dalam suasana kalap tidak baik bagi keutuhan dan kemaslahatan bangsa. Rakyat harus jernih memakai hak pilihnya sebab konsekuensi pilihan menentukan maju mundurnya bangsa lima tahun ke depan.