Angka ini tetap merupakan pencapaian tersendiri mengingat besarnya tekanan pada nilai tukar rupiah selama 2018, di mana otoritas harus menaikkan suku bunga untuk menjaga stabilitas ekonomi. Menjaga keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan menjadi penting terutama apabila pertumbuhan ekonomi masih memiliki ketergantungan yang besar pada impor dan investasi dari luar negeri.

Di 2018, mesin pertumbuhan ekonomi yang utama masih berasal dari konsumsi dan investasi. Kedua sumber pertumbuhan ini masih tumbuh positif berkat koordinasi yang baik antara otoritas fiskal dan moneter sehingga dapat memelihara persepsi positif dari sisi konsumen, perusahaan, ataupun investor.

Namun, tetap saja pertumbuhan di kisaran 5 persen masih dianggap belum optimal bagi ekonomi Indonesia untuk dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja. Berbagai kebijakan telah diambil, tetapi belum terlihat adanya tanda-tanda akselerasi yang lebih cepat.

Jika menelisik lebih dalam data produk domestik bruto (PDB), sektor yang mencatat kinerja positif terutama adalah sektor jasa, seperti sektor perdagangan dan reparasi yang tumbuh 5 persen dibandingkan tahun sebelumnya (year on year/yoy), serta sektor akomodasi dan penyediaan makan minum, sektor jasa profesional (konsultasi, pendidikan, administrasi publik) yang tumbuh di atas 5 persen, lebih cepat dari rata-rata pertumbuhan nasional.

Sementara kinerja sektor manufaktur masih terlihat stagnan, hanya tumbuh 4,3 persen selama empat tahun terakhir. Dominasi sektor jasa pun turut terkonfirmasi dari data investasi langsung (direct investment) yang dirilis Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Dalam dua tahun terakhir, investasi pada sektor jasa masuk lebih besar dibandingkan arus investasi yang masuk pada sektor manufaktur. Suatu indikasi bahwa prospek sektor jasa terlihat semakin menarik bagi investor. Salah satu contohnya adalah pesatnya perkembangan platform digital (e-commerce).

Namun, tentu perlu diingat, jasa e-commerce pun memerlukan adanya produksi manufaktur sebagai basisnya. Jika sektor manufaktur telat berkembang, e-commerce akan didominasi produk impor yang tentunya akan semakin membebani neraca dagang.

Menggenjot ekspor

Peranan sektor jasa yang meningkat di tengah pelambatan sektor manufaktur menandakan ekonomi masih berorientasi pada kegiatan domestik. Hal ini menimbulkan masalah pada transaksi berjalan dikarenakan sektor yang berorientasi ekspor, yang sebagian besar adalah komoditas atau barang manufaktur, tumbuh lebih lambat. Hal ini menyebabkan impor yang timbul akibat geliat ekonomi dan pembangunan infrastruktur tidak dapat ditutup oleh penerimaan dari sisi ekspor. Karena itu, kondisi tersebut menyebabkan terjadinya defisit pada transaksi berjalan yang cukup signifikan (3 persen dari PDB) di 2018.

Tahun ini, tantangan untuk memperbaiki neraca dagang semakin besar. Dampak dari eskalasi konflik dagang terutama antara AS dan mitra dagangnya mulai terasa. Ekonomi global diperkirakan akan melambat dan berpeluang semakin menekan ekspor akibat menurunnya permintaan dan harga komoditas sehingga neraca dagang akan semakin sulit untuk kembali surplus.

Pada akhirnya, penting bagi kita untuk segera mengambil langkah untuk menggenjot ekspor. Kuncinya ada pada sektor manufaktur. Ada banyak dampak positif terhadap ekonomi jika manufaktur bisa terakselerasi.

Pertama, pengembangan manufaktur terutama yang berorientasi ekspor, seperti tekstil, elektronik, dan kimia, dapat mengambil alih peranan sektor komoditas sebagai penopang neraca dagang. Akselerasi pada sektor manufaktur juga pada gilirannya akan dapat meningkatkan konsumsi dan investasi karena sektor ini berpotensi menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor manufaktur mampu menyerap sekitar 15 persen tenaga kerja, ketiga terbesar setelah sektor pertanian dan perdagangan. Dengan kontribusi yang cukup besar terhadap PDB, yaitu sekitar 21 persen, efek berganda yang akan terjadi akan lebih besar bagi ekonomi nasional.

Berbicara tentang manufaktur, berbagai kajian telah dilakukan, tetapi memang tampaknya tidak ada solusi yang mudah atau instan. Telah sering kita dengar bahwa tidak memadainya infrastruktur menjadi salah satu akar masalah utama. Namun, dalam beberapa tahun terakhir pembangunan infrastruktur fisik telah dimulai dalam skala besar dan dipercepat untuk mengatasi ketertinggalan. Namun, pada kenyataannya, masalah yang dihadapi tidak hanya terkait infrastruktur.

Permasalahan kedua adalah konsistensi dan kejelasan terkait peraturan investasi. Sistem otonomi daerah kadang menyebabkan antara pusat dan daerah sering memiliki peraturan yang tidak sejalan. Reformasi pun telah dilakukan dengan melakukan deregulasi perizinan, tetapi koordinasi pusat dan daerah tampaknya masih menjadi masalah. Upaya penyelarasan regulasi ini pun sebenarnya telah diupayakan oleh pemerintah dengan rutin mengadakan rapat dengan pimpinan daerah, tetapi tetap saja pelaksanaannya tidak akan mudah.

Yang ketiga terkait dengan peraturan dan daya saing tenaga kerja. Pemerintah harus dapat menyeimbangkan antara upaya menyejahterakan buruh dan upaya untuk menarik investasi. Besaran upah tenaga kerja kita secara rata-rata masih lebih tinggi dibandingkan dengan, misalnya, Vietnam dan Filipina, sehingga kalah menarik dari kacamata investor asing jangka panjang. Sebaiknya ada insentif dalam bentuk lain (misalnya keringanan pajak) agar biaya produksi dapat bersaing dengan negara-negara sekawasan yang memiliki biaya buruh/produksi lebih murah.

Terbatasnya tenaga ahli, riset, dan transfer teknologi pun membuat sektor manufaktur kita hanya unggul pada komoditas yang bersifat low-end manufacturing, seperti tekstil, produk karet, plastik, komponen mesin, alat listrik dengan tingkat diferensiasi produk yang minim.

Berdasarkan studi gabungan Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bappenas, tingkat kompleksitas manufaktur Indonesia masih relatif kecil dan masih berada di bawah negara-negara kawasan. Hal ini tentu berarti nilai tambah yang didapatkan tidak akan besar. Pemerintah perlu memberikan suatu insentif yang cukup menarik yang dapat membuat perusahaan mengalokasikan dana lebih besar untuk pengembangan tenaga kerja domestik, riset, termasuk transfer pengetahuan dan teknologi dari tenaga ahli asing. Perlu kita ingat bahwa alokasi dana riset tak hanya harus berasal dari pemerintah, tetapi juga sektor swasta.

Melanjutkan reformasi struktural

Yang keempat, pengembangan manufaktur butuh investasi dan pembiayaan. Sumber pembiayaan domestik relatif masih sangat terbatas sehingga dana asing harus masuk untuk mengisi celah tersebut. Namun, fenomena yang terlihat akhir-akhir ini, investasi asing justru banyak menyasar sektor tersier, terutama pada sektor utilitas dan sektor jasa yang notabene memang menunjukkan pertumbuhan yang kuat.

Dalam beberapa tahun terakhir telah banyak reformasi dan deregulasi yang dilakukan melalui serangkaian paket kebijakan pemerintah. Progres mulai terlihat terutama pada infrastruktur jalan, konektivitas, dan ketersediaan listrik. Deregulasi dan pemberian insentif pajak juga telah dilakukan untuk meningkatkan kemudahan dan menambah daya tarik berinvestasi. Hasilnya terlihat pada angka indeks kemudahan berusaha (ease of doing business) Indonesia yang membaik signifikan. Indonesia berhasil naik ke peringkat ke-72 di tahun 2018, suatu loncatan yang signifikan dari peringkat ke-91 di tahun 2017.

Ke depan, reformasi perlu berlanjut ke arah koordinasi kebijakan yang lebih fokus dan terarah. Misalnya saja, pemerintah dapat memprioritaskan produk-produk manufaktur yang memiliki keunggulan komparatif yang tinggi dan kemudian dapat menyelaraskan pemberian insentif, pembiayaan, dan kemudahan akses infrastruktur pada industri-industri prioritas tersebut.

Dalam jangka pendek, perbaikan regulasi dan daya saing ini diharapkan dapat menarik potensi relokasi dari perusahaan AS dan China yang berusaha menghindari tingginya tarif akibat perang dagang di negara asal. Negara berkembang terutama di kawasan ASEAN akan menjadi kawasan tujuan yang potensial. Peluang ini tentunya sangat sayang untuk dilewatkan.

Pemetaan arah pengembangan sektor manufaktur tentunya perlu disertai komunikasi yang intensif antara lembaga, investor, dan pelaku usaha terkait.

Terkait pemilu yang akan diadakan tahun ini, akan sangat baik apabila siapa pun yang terpilih dapat memelihara dan mengembangkan fokus dan konsistensi dari kebijakan investasi dan industri sehingga bangkitnya dominasi sektor manufaktur yang diharapkan dapat memberi nilai tambah yang lebih besar dapat segera terealisasi.