Terjadi kenaikan cukup nyata jumlah kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Jika pada tahun 2017 Komnas Perempuan mencatat 348.466 kasus kekerasan yang dilaporkan ke berbagai organisasi perlindungan perempuan dan lembaga pemerintah, pada tahun 2018 jumlahnya melonjak menjadi 406.178 kasus.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Kampanye anti kekerasan terhadap ibu dan anak terus disuarakan masyarakat, salah satunya melalui media mural seperti terlihat di kawasan Gandaria, Jakarta, Selasa (5/3/2019). Berdasarkan data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan 2017, kasus kekerasan terhadap perempuan masih tinggi. Ada 5.167 kasus kekerasan terhadap istri, kekerasan pacaran (1.873 kasus), kekerasan pada anak perempuan (2.227 kasus). Sementara itu, Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2017 tercatat 2.373 pengaduan kekerasan pada anak yang sebagian besar kejahatan seksual.

Kenaikan kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut pada satu sisi memprihatinkan, tetapi pada sisi lain memperlihatkan masyarakat semakin menyadari kekerasan di dalam ranah pribadi tidak dapat dibiarkan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga mendefinisikan kekerasan atas kekerasan fisik, seksual, psikis, dan ekonomi. Kejadian kekerasan tertinggi pada 2018 menurut Komnas Perempuan adalah fisik (41 persen), disusul seksual (31 persen), psikis (17 persen), dan ekonomi (11 persen).

Pelaku kekerasan adalah orang dekat korban: memiliki hubungan daerah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami), dan relasi dekat (pacar).

Kekerasan terhadap perempuan perlu menjadi perhatian dan berbeda dari kekerasan lain terutama karena kekerasan ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi berbasis jender. Kekerasan terjadi karena ketimpangan relasi kuasa dan ditujukan kepada seseorang karena jendernya. Dalam hal ini, kekerasan lebih banyak terjadi terhadap perempuan dan anak perempuan dibandingkan dengan terhadap laki-laki.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan merupakan pelanggaran terhadap HAM dan diskriminasi yang paling sering terjadi. Sejumlah komunitas menganggap kekerasan ini sebagai hal wajar dengan akibat kekerasan terus terjadi. Sebagian yang lain menganggap tabu untuk diungkap sehingga korban dan orang di sekitarnya memilih diam.

Bukan hanya menyebabkan merosotnya martabat korban, rasa aman, dan otoritas diri, kekerasan terhadap perempuan juga menyebabkan masalah kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi dan kehamilan, penularan penyakit seksual, termasuk HIV-AIDS. Kekerasan seksual berbasis jender juga menyebabkan kerugian ekonomi bagi individu, rumah tangga, dan negara karena turunnya produktivitas korban dan pelaku yang harus menjalani kurungan.

Saat ini kita masih menunggu pengesahan rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual yang belum kunjung diterima karena masih ada penolakan dari beberapa kelompok masyarakat dan fraksi di DPR RI.