Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 09 Maret 2019

Utang Negara//Tambahan untuk Prof Ari Kuncoro (Surat Pembaca Kompas)


Utang Negara

Berikut tanggapan saya atas tulisan Nufransa Wira Sakti (Kompas, 6/2/2019) dan Anthony Budiawan (Kompas, 19/2/2019). Keduanya menjelaskan bahwa APBN defisit berarti pendapatan negara lebih kecil dari belanja negara, (stok) utang pemerintah secara nominal bertambah untuk menutupi defisit tersebut.

Sebaliknya, kalau APBN surplus, (stok) utang pemerintah berkurang karena surplus APBN dapat digunakan untuk membayar utang. Artinya, utang pemerintah hanya dapat dibayar kalau ada surplus APBN.

Pendapat tersebut terbantahkan oleh tulisan Andreas Lako pada halaman yang sama, "Politisasi Utang". Dijelaskan bahwa rasio defisit APBN juga bisa digunakan untuk menilai tingkat kesehatan keuangan negara.

Pada era pemerintahan Jokowi, rasio defisit APBN sebesar 3 persen, yaitu 2,58 persen (2015), 2,49 persen (2016), 2,5 persen (2017), dan 1,76 persen (2018). Selama 2015-2018 pemerintah Jokowi–Kalla melalui APBN selalu mampu dan tepat waktu membayar kewajiban-kewajiban jangka pendek dan utang pemerintah yang jatuh tempo.

Menkeu Sri Mulyani juga mengatakan bahwa 44-70 persen dari utang baru Jokowi dipakai untuk membayar utang yang jatuh tempo dari pemerintahan sebelumnya.

Ketika BJ Habibie dilantik sebagai presiden pada Mei 1998, ia menerima warisan utang dari pemerintah Soeharto Rp 551,4 triliun. Ketika SBY dilantik pada 20 Oktober 2004, ia menerima utang warisan dari pemerintah Megawati Rp 2.298 triliun.

Ketika Jokowi dilantik menjadi presiden pada 14 Oktober 2014, ia menerima warisan utang sebesar Rp 2.898 triliun dari pemerintah SBY atau 52,24 persen dari total utang pemerintah Jokowi-Kalla sebesar Rp 4.419,3 triliun (2018).

Segala sesuatu yang dipolitisasi akan menyesatkan publik, terlebih apabila hal itu disampaikan oleh mereka yang dikenal sebagai pakar atau akademisi. Semoga tulisan Andreas Lako dapat membantu membuka wawasan dan mencerahkan banyak pihak.

Lambertus L Wajong
Jl Medayu Utara IA, Rungkut, Surabaya


Tambahan untuk Prof Ari Kuncoro

Dalam Kompas (26/2/2019) Prof Ari Kuncoro menganalisis perilaku ekspor Indonesia yang jumlah perusahaan manufakturnya naik turun dipengaruhi margin keuntungan yang diperolehnya.

Hal yang menarik diperhatikan ialah hasil survei industri menengah dan sedang yang menyatakan bahwa keuntungan mengekspor di bawah 20 persen, sedangkan untuk padat karya di bawah 15 persen.

Keuntungan yang relatif kecil itu antara lain disebabkan upah buruh, yang setiap tahun didemonstrasi buruh yang menuntut upah minimum regional (UMR) naik.

Reaksi pihak manajemen perusahaan adalah merelokasi pabrik ke daerah yang UMR-nya masih wajar, seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Akibatnya, buruh menganggur atau ikut pindah. Artinya, akibat tingginya upah buruh di Jawa Barat, industri padat karya, seperti tekstil dan turunannya, menjadi the sunset industry sehingga pindah lokasi ke daerah yang UMR-nya masih masuk di akal.

Becermin dari hal itu, Detroit di Amerika Serikat menjadi kota hantu karena semua pabrik otomotifnya pindah ke luar negeri, misal Meksiko, yang upah buruhnya hanya 4 dollar AS per jam dibandingkan dengan upah buruh di AS, termasuk Detroit, yang 40 dollar AS per jam.

Saya bukan antiburuh, tapi harap bijak dalam menuntut kenaikan UMR. Kenaikan UMR tidak hanya berdampak kepada relokasi pabrik, tetapi juga memengaruhi perilaku ekspor kita, ketika pemerintah memerlukan devisa dari hasil ekspor untuk mengurangi defisit transaksi berjalan demi keberhasilan pembangunan ekonomi makro.

Intinya, analisis ekonomi Prof Ari Kuncoro bagus sekali. Saya hanya sekadar menambahi.

Suyadi Prawirosentono

Selakopi Pasir Mulya, Bogor

Kompas, 9 Maret 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger