Belakangan, pernyataan itu menjadi sedikit politis dengan sebutan "tajam ke samping", menyusul tindakan polisi menetapkan sejumlah orang menjadi tersangka dalam tindak pidana pemilu atau tindak pidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kebetulan pendukung calon presiden tertentu.

Tulisan ini tidak akan mengulas ketajaman penegakan hukum dalam konteks kontestasi politik praktis yang sedang berlangsung, tetapi ingin memberi gambaran bahwa ketajaman atau ketumpulan penegakan hukum memang bisa terjadi karena penegakan hukum tidak dilakukan di ruang kosong (vacuum), tetapi di ruang sosial yang bervariasi dengan variabel-variabel sosial ikut menentukan awal dan akhir dari suatu proses penegakan hukum.

Variabel sosial

Menegakkan hukum itu tak seperti menegakkan tiang pancang jembatan yang secara rasional matematis bisa dihitung secara akurat setiap aspeknya sehingga bisa berdiri tegak atau miring sesuai rencana dan perhitungan. Penegakan hukum tidak demikian. Logika silogisme (premis mayor, premis minor, dan konklusi) yang jadi rumus baku penegak hukum dalam menegakkan peraturan perundang-undangan pada kenyataannya acap kali tidak berjalan. Bahkan, pada konteks tertentu ditawar oleh variabel-variabel sosial, ekonomi, politik, kultural, atau bahkan manusia sebagai pemegang peran yang menjalankan hukum ikut menentukan jalannya hukum.

Tindakan apa pun yang akan diambil oleh pemegang peran (aparatur penegak hukum, para pembuat UU, dan lembaga-lembaga penegakan hukum), akan berada dalam  lingkup kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Seluruh kekuatan sosial itu selalu ikut bekerja dalam setiap upaya memfungsikan peraturan-peraturan yang berlaku, menerapkan sanksi-sanksinya, dan dalam seluruh aktivitas lembaga-lembaga pelaksananya. Bahkan, pembuatan UU tidak pernah bersifat otonom dan steril, tetapi sarat dengan kepentingan-kepentingan kelompok atau kekuatan-kekuatan potensial dalam suatu negara yang menginginkan kepentingan-kepentingannya dilegalisasi atau diproteksi dalam UU.

Menganggap UU dan penegakannya steril dari pengaruh politik sama artinya dengan mengingkari kenyataan bahwa UU dibuat melalui proses politik, berada dalam realitas, dan dimaksudkan untuk mengatur realitas. Dalam fungsinya mengatur realitas itu, pembuatan dan pelaksanaan UU beserta segenap institusi dan manusia pelaksana dari UU itu tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh kekuatan-kekuatan sosial politik dalam masyarakat, termasuk muskil menghindar dari kepentingan birokrasi kekuasaan.

Penelitian tentang bagaimana polisi bekerja menegakkan hukum jelas dipengaruhi oleh variabel-variabel intelegensia, peraturan, diskresi, dan perubahan hukum. Keputusan apakah polisi akan melakukan penahanan atau tidak pada seseorang yang disangka melakukan kejahatan, anasir-anasir non-legal formal akan sangat mewarnai tindakan polisi.

Sejumlah variabel yang memengaruhi dan menentukan apakah penahanan akan dilakukan atau tidak bergantung pada: (a) ras tersangka; (b) sifat serius dari kejahatan yang didakwakan; (c) tersedianya bukti di tempat kejadian; (d) pilihan keinginan pelapor; (e) hubungan sosial antara tersangka dan pelapor-penderita; dan (f) dengan cara bagaimana polisi masuk sehingga menangani perkara bersangkutan (Donald Black: 1980).

Oleh sebab itu, problem-problem penegakan hukum tidak dapat dipahami dengan tepat jika hanya menggunakan logika silogisme (premis mayor-premis minor-konklusi), karena hukum bukan semata-mata rule and logic, melainkan social structure and behavior (Black, 1980) atau dalam istilah Oliver Wendel Holmes tidak senantiasa bersifat logis, tetapi juga pengalaman (Satjipto Rahardjo, 2006).

Struktur sosial, tingkah laku, dan pengalaman aparat penegak hukum dalam berhukum pada realitas sosial politik tertentu, serta variabel-variabel sosial dalam masyarakat, terkadang jadi faktor determinan yang sangat memengaruhi bekerjanya hukum. Karena itu, ungkapan hukum hanya tajam pada mereka yang lemah secara sosial, ekonomi, dan pendidikan atau cenderung tumpul pada penguasa politik bukan cerita baru, dan tidak hanya terjadi di Indonesia. Fenomena penggunaan hukum yang diskriminatif, ramah pada kekuasaan, dan kasar terhadap mereka yang lemah masih menjadi isu yang memicu banyak kritik terhadap penegakan hukum di banyak negara hingga hari ini.

Jangan jadi komoditas

Masalahnya apabila hukum dan layanan hukum terus-menerus jadi sekadar komoditas dan hanya bisa didayagunakan oleh mereka yang bisa membayar harganya. Sementara yang tak kuat bayar akan berada di luar perlindungan, atau hanya akan melayani pihak yang punya kuasa, maka yang akan terjadi adalah disintegrasi dan bencana sosial (social disaster).

Masyarakat bukan lagi suatu sistem kehidupan yang terintegrasi oleh otoritas normatif, melainkan suatu aktivitas kompetitif berebut kekuasaan demi tujuan jangka pendek. Hukum lalu bukan lagi ekspresi rasa keadilan yang berakar dalam budaya warga masyarakat, melainkan suatu instrumen teknis yang tak pernah punya ruh, gagal membangun order, tetapi justru mendatangkan disorder.

Negara (pemerintah) harus hadir dengan paradigma penegakan hukum yang obyektif, adil, dan pasti. Menghindarkan penggunaan kewenangan hukum yang dimilikinya untuk kepentingan membungkam kritik terhadap kekuasaan; apalagi digunakan oleh kekuasaan lain untuk kepentingan serupa karena akibat jangka panjang dari penggunaan hukum demikian itu akan memerangkap bangsa ini pada lingkaran penegakan hukum yang diskriminatif, tidak fair, tidak pasti, dan tidak adil secara terus-menerus yang sulit dihentikan.