Topik debat yang ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah tentang pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, dan sosial budaya. Sebagai akademisi dan praktisi kesehatan, penulis hendak titip harapan kepada kedua pasangan capres-cawapres tentang isu-isu kesehatan strategis yang layak jadi prioritas.

Agenda strategis sekaligus populer/ revolusioner yang wajib disorot adalah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau yang lebih dikenal dengan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan.

Seperti diketahui, JKN wajib melayani semua warga negara tanpa kecuali, sepanjang sudah mendaftar dan mengikuti prosedur. Jika sistem dan infrastrukturnya makin sempurna dan menjangkau mayoritas penduduk, JKN akan meningkatkan kualitas kesehatan nasional. Perlu didorong agar para kandidat dalam pilpres mempunyai kehendak memperkuat JKN ini.

Penguatan dan perbaikan JKN

Harus diakui, di usia dini, program yang dimulai 1 Januari 2014 ini masih menghadapi banyak tantangan. Masih ada puluhan juta warga yang belum tercakup dengan berbagai sebab. Masih kurangnya jumlah kamar di RS sehingga pasien antre untuk mendapat layanan perawatan. Adanya perbedaan kualitas layanan BPJS antardaerah yang menandakan belum tercapainya standar layanan. BPJS sebagai penyelenggara JKN masih menuntut kenaikan angka kapitasi (jasa pelayanan).

Isu JKN yang paling mendesak adalah defisit. Jumlah iuran peserta tidak mampu menutup total klaim dari RS dan biaya operasional manajemen BPJS. Untuk tahun 2015, defisitnya Rp 5,7 triliun, 2016 meningkat jadi Rp 9,7 triliun, 2017 Rp 9,8 triliun, dan terakhir tahun 2018 membubung menjadi Rp 16,5 triliun.

Hampir setiap hari media memberitakan, banyak rumah sakit menuntut pembayaran klaim ke BPJS. Masih ada lagi, tudingan netizen bahwa dana BPJS diinvestasikan untuk pembiayaan infrastruktur (padahal yang diinvestasikan BPJS bidang tenaga kerja).

Evaluasi Delapan Sasaran Peta Jalan JKN 2014-2018 Dengan Pendekatan
Realist Evaluation oleh Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Januari 2019, juga menyebut beberapa ringkasan senada. Terutama menyoroti neraca yang masih defisit. Besaran iuran dan tarif perlu dikaji kembali agar lebih berkeadilan, selain juga perlunya upaya mengefisienkan manajemen dan meminimalkan potensi penyalahgunaan.

BPJS memang masih defisit, tetapi bukan berarti program JKN gagal. Ada beberapa tujuan umum yang dalam proses pencapaian. Misal, JKN bertujuan memberikan perlindungan finansial bagi penduduk yang sakit. Artinya, mencegah potensi penduduk menjadi miskin gara-gara tersedot biaya besar untuk berobat. Dengan layanan mencakup nasional, JKN meningkatkan derajat kesehatan penduduk secara nasional.

Menurut evaluasi FK UGM di atas, peningkatan luasnya cakupan kepesertaan JKN dari tahun ke tahun menghasilkan turunnya unmet need layanan kesehatan (jumlah penduduk yang punya keluhan kesehatan yang mengganggu aktivitas, tetapi tidak berobat jalan). Unmet need pada 2006 sebesar 9,8 persen, pada 2016 turun menjadi 4,3 persen. Artinya, jumlah warga yang punya keluhan kesehatan turun cukup besar.

JKN sudah menampakkan hasilnya meski masih banyak masalah. Karena itu, salah satu prioritas agenda kebijakan kesehatan 2019-2024 adalah memperkuat program JKN dengan segala perbaikan yang diperlukan. Agar lebih obyektif menguliti kekurangan JKN, ajak pihak luar yang independen untuk melakukan monitoring dan evaluasi (monev). Menghindari bias, jangan melakukan monev sendiri.

Antisipasi penyakit katastropik

Isu besar kedua, data BPJS mulai 2014 menunjukkan tren peningkatan jumlah kasus penyakit katastropik (dampaknya dianggap "bencana"). Lima penyakit yang dikategorikan katastropik ini adalah jantung, kanker, gagal ginjal, stroke, dan talasemia (kelainan darah genetis).

Penyakit-penyakit berat ini menyedot proporsi anggaran yang cukup besar dari total biaya pelayanan biaya kesehatan rujukan, yaitu 37,32 persen (2014), 32,31 persen (2015), dan 24,81 persen (2016). Meski persentasenya menurun, angka rupiah yang tersedot kian besar.

Dari kelima penyakit itu, terdapat tiga penyakit yang sebenarnya preventable (dapat dicegah) jika faktor pemicunya diantisipasi dan dideteksi sejak dini. Ketiganya adalah penyakit jantung, gagal ginjal, dan stroke.

Penyakit jantung meningkat setiap tahun, dari 4,1 juta kasus pada 2014 menjadi 5,1 juta pada 2016. Dari segi biaya pelayanan kesehatan, rata-rata satu pasien jantung setahun membutuhkan Rp 40.632.776. Dengan demikian, setidaknya untuk membiayai pelayanan kesehatan satu orang dengan penyakit jantung membutuhkan 1.593 peserta sehat. Untuk membiayai pelayanan kesehatan penambahan pasien baru dengan penyakit jantung dalam satu tahun membutuhkan 15.447.321 peserta sehat.

Penyakit gagal ginjal juga makin meningkat dari tahun ke tahun, utamanya pasien gagal ginjal kronis tahap akhir yang memerlukan cuci darah (hemodialisis). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) penyakit ginjal kronik naik dari 2 persen (2013) menjadi 3,8 persen (2018). Ini berdampak pada biaya cuci darah yang ditanggung BPJS 2016-2017 naik dari Rp 3,9 triliun menjadi Rp 4,6 triliun. Jumlah ini menempati posisi tertinggi kedua dari biaya penyakit yang ditanggung BPJS.

Sementara itu, penyakit stroke ikut menjadi momok tingginya angka kesakitan dan berefek disabilitas di Indonesia. Riskesdas menunjukkan prevalensi stroke naik dari 7 persen (2013) menjadi 10,9 persen (2018). Beban biaya penyakit stroke yang ditanggung BPJS juga meningkat 64 persen dalam kurun waktu 2014-2015.

Jadi, jika kita fokus pada penanganan penyakit yang preventable, ada potensi penghematan biaya layanan kesehatan yang signifikan. Selain itu, jika promotif dan preventif berhasil, kepedihan akibat sakit kronis berikut dampak sosial ekonominya bisa ditekan. Ini penting untuk diperhatikan mengingat kita semua masih mempunyai beban terkait kelompok penyakit menular, seperti TBC, malaria, dan HIV.

Untuk itu kebijakan kesehatan promotif dan preventif mendesak dilaksanakan secara terstruktur dan masif dengan dukungan dana yang cukup. Perlu penggalangan program kesehatan yang tepat dan masif bagi publik untuk mencegah munculnya penyakit-penyakit di atas. Salah satu faktor penting untuk mencegah penyakit kardiovaskular adalah aktivitas fisik atau olahraga rutin meski ringan. Ini perlu penyediaan sarana publik dan ruang sosial lebih lega untuk beraktivitas fisik, seperti lapangan olahraga, taman dan ruang terbuka, kolam renang, hutan kota, trotoar, dan jembatan penyeberangan yang nyaman.

Tak kalah penting, mengampanyekan pemeriksaan kesehatan (check up) rutin mandiri dan masif agar gejala penyakit, termasuk yang katastropik, segera bisa terdeteksi dan dilakukan penanganan. Problem besar penyakit katastropik adalah biasanya diketahui sudah terlambat. Maka, selain kualitas hidup telanjur anjlok, pengobatannya pun tak bisa maksimal. Sering hanya berupa ikhtiar memperpanjang hidup tanpa bisa menikmatinya.

Tenaga medis dan pemerataan

Isu terpenting lain adalah segera tingkatkan jumlah dan kualitas fasilitas layanan kesehatan primer, termasuk tenaga medisnya di wilayah padat penduduk, wilayah terpencil, dan wilayah perbatasan. Indonesia bagian pinggir perlu lebih diayomi. Mereka tak boleh diabaikan atas nama efisiensi biaya atau demi mengurangi defisit pembiayaan.

Kebijakan kontraproduktif itu, misalnya, pelayanan katarak, persalinan ibu dengan bayi lahir sehat, rehabilitasi medik, hingga yang terbaru adalah pengobatan insulin yang harus memenuhi prasyarat tertentu yang tidak sesuai dengan pedoman penanganan diabetes. Hendaknya BPJS dapat bekerja sama dengan organisasi profesi yang relevan sebelum mengeluarkan kebijakan.

Sementara itu, terkait dengan daerah seperti Papua yang sangat luas tapi jumlah penduduknya sedikit dan terpencar secara geografis, perlu crash program penambahan dan peningkatan fasilitas layanan kesehatan primer (puskesmas, posyandu). Untuk itu, perlu kebijakan guna memberikan insentif kepada tenaga medis yang bertugas di wilayah itu.

Jangan sampai kasus demo tenaga medis terkait tunggakan gaji dan jasa pelayanan yang belum dibayarkan oleh BPJS membuat terjadinya gangguan pelayanan kesehatan. Problem ini sudah seharusnya menjadi prioritas agar semua tenaga medis dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan benar serta sepenuh hati. Jika hal ini terus-menerus dibiarkan akan berdampak pada layanan kesehatan yang nantinya akan merugikan peserta BPJS, tenaga medis, dan kinerja kesehatan nasional.

Industrialisasi bahan baku obat

Yang tak kalah penting dalam sistem kesehatan nasional, perlu didorong percepatan fabrikasi produk farmasi hulu (bahan baku sediaan obat siap pakai) agar harga obat makin terjangkau. Faktor penting yang membuat harga obat mahal adalah karena 90 persen bahan bakunya masih impor. Maka, perlu mendorong percepatan industrialisasi bahan baku. Apabila punya kehendak kuat, tentu Indonesia mampu melakukannya.

Di luar hal-hal di atas, masih banyak agenda kesehatan yang sebenarnya hendak kami titipkan kepada pasangan capres-cawapres 2019-2024. Namun, dari kacamata akademisi dan praktisi kesehatan, kami sudah sangat gembira jika keempat agenda di atas diperhatikan dengan baik oleh pemerintah, siapa pun yang akan menang pada Pilpres 2019.