Notorious dijadikan judul film bergenre mata-mata Amerika tahun 1946. Berikutnya, jadi film bergenre biografi tahun 2009. Tahun 2017, Notorious bergenre dokumenter, merupakan cuplikan kisah hidup Conor McGregor.

Pesan moral yang disampaikan bahwa untuk menjadi terkenal tidak mudah. Namun, banyak jalan, lewat cara baik atau terkutuk.

Moralitas?

Siapa yang berhak menghakimi para penjahat, gembong teroris dan mafia narkoba, seperti Dawood Ibrahim, Semion Mogilevich, Matteo Messina Denaro, Ayman al-Zawahiri, Abu Bakr al-Baghdadi, Joaquin "El Chapo" Guzman, dan Rafael Caro Quintero? Bukankah di mata pengikutnya mereka adalah sosok yang dianggap sebagai pahlawan atau pejuang yang menginspirasi jutaan orang?

Lalu, siapa yang berhak mengatakan koruptor—yang di penjara, pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi dan yang masih berkeliaran bebas di masyarakat—sebagai pengkhianat bangsa? Bukankah di mata orang-orang dekatnya (istri/ suami, anak dan keluarga), mereka dianggap sebagai pahlawan atau pejuang yang mencarikan nafkah hidup?

Persoalannya kemudian adalah bagaimana mungkin seseorang yang oleh publik sudah diberi stigma sebagai penjahat, teroris, koruptor dan bos narkoba—bahkan pembunuh sekalipun—justru dianggap pahlawan atau pejuang oleh sekelompok orang? Bukankah Hitler yang memprakarsai tragedi holocaust yang menewaskan 6 juta orang Yahudi juga dianggap fuhrer (pemimpin) yang luar biasa oleh bangsa Jerman?

Pada akhirnya moralitas tak bisa dipisahkan dengan konsep sosial dan budaya masyarakat. Moralitas berkenaan dengan nilai baik atau buruk, yang terefleksikan dalam sikap dan perilaku manusia. Alhasil, kejahatan seperti yang dilakukan para penjahat, koruptor, teroris, dan mafia narkoba adalah kejahatan yang bersumber dari sikap dan perilaku manusia dan ini bisa digolongkan sebagai kejahatan moral (Evil and the God of Love; John Hick, 1979).

Kejahatan moral lebih menghancurkan dibanding kejahatan konvensional atau kejahatan jalanan. Sebab, kejahatan moral tak hanya melanggar norma hukum atau aturan sosial yang berlaku dalam masyarakat, bangsa dan negara semata, juga telah mencampakkan hukum- hukum agama.

Seperti kegaduhan pada kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 belakangan ini. Banyak orang mendadak jadi terkenal lewat cara terkutuk. Mereka ditangkap aparat penegak hukum karena melanggar perbuatan yang dilarang (kejahatan siber) seperti yang diatur dalam UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Ketika tertuduh penebar konten penghinaan, pencemaran nama baik, hingga pengancaman lewat media sosial adalah masyarakat biasa, berpendidikan rendah dan hidup pas-pasan, kita bisa memaklumi ketidaktahuan mereka atas UU ITE. Namun, ketika pelanggaran dilakukan oleh tokoh masyarakat atau elite politik yang berpengaruh, sebutan apa yang pantas diberikan pada mereka?

Lalu, salahkah jika aparat penegak hukum menangkap, mengadili, dan memvonis mereka yang tak memiliki kesadaran moral tersebut?

Dua kebenaran

Ruang publik, khususnya medsos, penuh dengan unggahan berkonten negatif. Kerukunan bangsa Indonesia pun terancam.

Mengadopsi pesan moral notorious sebagaimana dikutip sebelumnya, untuk bisa dikenal oleh 192 juta konstituen yang terdaftar sebagai pemilih tetap (DPT) tidak mudah. Namun, banyak jalan, lewat cara baik atau terkutuk.  Cara baik bisa dilakukan lewat sosialisasi program, memberikan contoh kerja, keteladanan dalam bersikap, bertutur kata, dan berperilaku baik. Namun, ini tak gampang. Selain perlu waktu, juga harus diperjuangkan sekuat tenaga dan pikiran, bahkan pengorbanan.  Sementara yang lewat cara terkutuk lebih gampang! Hanya perlu intrik politik dan uang!

Intrik politik digunakan untuk membangun opini massa. Caranya? Memutarbalikkan fakta, menyebar hoaks, hingga fitnah dan ujaran kebencian—dengan mengangkat isu sensitif; serbuan tenaga kerja China, bangkitnya PKI, utang meningkat, Indonesia akan bubar, hingga kriminalisasi ulama, dan kemiskinan.

Di samping itu, kelemahan, kesalahan dan keburukan lawan politik terus dicari-cari. Kemudian dieksploitasi, dijadikan isu nasional. Tujuannya mendiskreditkan lawan politik agar publik mengalihkan dukungan.

Saat ini dua kekuatan politik peserta Pilpres 2019 telah berhadapan, dan saling mengklaim kebenaran—prasyarat utama untuk memperoleh simpati publik. Berdasarkan logika akademik, terdapat dua kategori kebenaran: kebenaran yang berkorelasi dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebenaran politik.

Kebenaran yang berkorelasi dengan pengembangan ilmu pengetahuan mendasarkan diri pada kebenaran empiris, rasional, ilmiah, intuitif, dan religius. Sementara kebenaran politik adalah kebenaran yang menjadi dibenarkan untuk kepentingan politik, atau kebenaran yang terbangun dan terbentuk oleh persepsi, pandangan atau opini politik.

Secara sederhana, kebenaran yang berkorelasi dengan pengembangan ilmu pengetahuan bisa diilustrasikan dengan pernyataan; api itu panas dan es itu dingin. Adapun kebenaran politik, yang dianut kelompok politik yang memilih cara terkutuk untuk bisa terkenal—notorious, mengilustrasikan dengan pernyataan kontradiktif; api itu dingin dan es itu panas.

Korelasinya dengan kebenaran tersebut, masyarakat Indonesia tengah dilanda dua fenomena menyedihkan.  Pertama, adanya pembodohan secara sistematis terhadap (sekelompok) masyarakat lewat skenario politik dan utopia Indonesia yang adil dan makmur. Kedua, (sekelompok) masyarakat yang dibodohi seperti kehilangan akal sehat, pemikiran rasional dan sikap realistisnya sehingga terkecoh dengan janji-janji dan kebenaran politik.