Indonesia berada di jalur gempa teraktif di dunia karena dikelilingi oleh Cincin Api (Ring of Fire) Pasifik dan berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yakni Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur. Kondisi geografis ini di satu sisi menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang rawan bencana letusan gunung api, gempa, dan tsunami, tetapi di sisi lain menjadikan Indonesia sebagai wilayah subur dan kaya secara hayati.

Debu akibat gunung berapi menyuburkan tanah sehingga masyarakat tetap banyak yang tinggal di area sekitar gunung berapi. Jalur Cincin Api juga memberikan potensi energi tenaga panas bumi yang dapat digunakan sebagai sumber tenaga alternatif.

Pada 28 September 2018, Palu dan Donggala di Sulteng terkena gempa bumi berkekuatan M 7,4 yang kemudian mengakibatkan tsunami. Bencana alam tersebut menelan 2.045 korban tewas (menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB per 10 Oktober 2018), 632 orang luka-luka, 100 lebih orang hilang, dan 16.732 orang mengungsi. Sebelumnya, gempa bumi mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada 29 Juli 2018.

Bencana alam itu telah memorakporandakan sebagian infrastruktur, seperti pusat tenaga listrik, alat telekomunikasi, jalan raya, jembatan, dan irigasi. Plus kehancuran puluhan rumah dan gedung kantor, sekolah, serta tempat ibadah yang membuat perekonomian Sulteng lunglai. Ribuan nasabah bank bagai sudah jatuh tertimpa tangga pula mengingat masih banyak angsuran bank dan perusahaan pembiayaan (multifinance) yang belum lunas. Bisnis pun mandek sehingga pendapatan nihil, sebaliknya pengeluaran naik tajam.

Ragam solusi alternatif

Lantas, bagaimana mengatasi kredit nasabah bank dan perusahaan pembiayaan di tengah bencana demikian?

Pertama, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 45/POJK.03/2017 tanggal 12 Juli 2017 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit atau Pembiayaan Bank bagi Daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam. POJK ini berlaku efektif pada 12 Juli 2017 bagi bank umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan perusahaan pembiayaan.

Secara ringkas, peraturan itu meliputi sebagai berikut: (1) penilaian kualitas kredit. Penetapan kualitas kredit dengan plafon maksimal Rp 5 miliar hanya didasarkan atas ketepatan membayar pokok dan/atau bunga.

Untuk kredit dengan plafon di atas Rp 5 miliar, penetapan kualitas kredit tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku, yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Penetapan kualitas kredit bagi BPR didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga.

Kemudian, (2) kualitas kredit yang direstrukturisasi meliputi dua hal. Kualitas kredit bagi bank umum ataupun BPR yang direstrukturisasi akibat bencana alam akan ditetapkan lancar sejak restrukturisasi sampai dengan jangka waktu keputusan dewan komisioner. Selain itu, restrukturisasi kredit tersebut dapat dilakukan terhadap kredit yang disalurkan, baik sebelum maupun setelah terjadinya bencana.

Selanjutnya, (3) pemberian kredit baru terhadap debitor yang terkena dampak. Bank dapat memberikan kredit baru kepada debitor yang terkena dampak bencana alam. Penetapan kualitas kredit baru dilakukan secara terpisah dengan kualitas kredit yang ada sebelumnya.

Untuk bank syariah, perlakuan khusus juga diberikan pada penyediaan dana berdasarkan prinsip syariah yang mencakup pembiayaan (mudharabah dan musyarakah), piutang (murabahahsalam, istishna), sewa (ijazrah), pinjaman (gardh), dan penyediaan dana lain.

Sementara itu, perusahaan pembiayaan dapat memberikan relaksasi kepada debitor, yakni penjadwalan kembali (rescheduling) pembayaran angsuran. Selain itu juga penyesuaian biaya administratif dan atau penyesuaian denda akibat keterlambatan pembayaran angsuran. Dengan kalimat lebih lugas, tidak ada pemutihan kredit atau pembiayaan.

Kedua, tentu saja restrukturisasi kredit tersebut bertujuan final untuk mendorong pemulihan bisnis debitor sekaligus kinerja perbankan. Ujungnya, kondisi perekonomian setempat akan kembali bergairah.

Sejauh mana kredit bank umum dan rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) di Sulteng? Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan OJK pada 19 Desember 2018 menunjukkan bahwa kredit bank umum di Sulteng mencapai Rp 27,52 triliun dengan NPL Rp 684 miliar (2,49 persen) per Oktober 2018. NPL itu masih jauh dari ambang batas 5 persen. Inilah rinciannya. Kredit modal kerja mencapai Rp 8,55 triliun dengan NPL Rp 416 miliar (4,87 persen), sedangkan kredit investasi Rp 2,78 triliun dengan NPL Rp 78 miliar (2,81 persen). Kredit konsumsi mencapai Rp 16,20 triliun dengan NPL Rp 190 miliar (1,17 persen).

Sementara itu, NPL BPR di Sulteng menebal 34,38 persen dari Rp 32 miliar per Oktober 2017 menjadi Rp 43 miliar per Oktober 2018. Selama ini jumlah BPR di Sulteng mencapai delapan unit dengan 19 kantor cabang. Jauh sebelum melakukan restrukturisasi kredit, bank wajib melakukan penilaian terhadap nasabah yang, antara lain, terkait dengan kemampuan membayar kembali (repayment capacity), prospek bisnis ke depan, jaminan (collateral), dan kredibilitas manajemen. Hal itu perlu dilakukan sedemikian teliti supaya tidak salah dalam menilai debitor.

Ketiga, terkait dengan restrukturisasi kredit tersebut, sudah semestinya OJK mengawal ketat pelaksanaannya. Langkah itu bertujuan supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak sepatutnya dilakukan oleh bank umum, BPR, dan perusahaan pembiayaan. Simak saja, terdapat kasus pemblokiran rekening di salah satu bank (Kompas, 26/11/2018). Pemblokiran semacam itu rasanya di luar etika bisnis industri perbankan. Terlebih ketika ada bank umum, BPR, atau perusahaan pembiayaan melakukan penagihan sembarangan dan kasar. Tanpa etika.

Keempat, sejatinya, bank umum pun menanggung risiko sebagai akibat bencana alam. Jangan lupa bahwa bangunan bank juga bisa terkena risiko operasional berupa kerusakan bangunan sehingga bank akan menderita kerugian keuangan (financial loss) yang tidak sedikit. Ditambah lagi risiko kredit ketika debitor untuk beberapa bulan tidak mampu memenuhi kewajiban mereka berupa pembayaran angsuran bulanan. Demikian pula perusahaan pembiayaan.

Celaka lagi ketika ternyata gedung (beserta isinya) bank umum, BPR, dan perusahaan pembiayaan itu tidak diasuransikan. Dalam manajemen risiko, kerugian itu disebut kerugian yang tidak diharapkan (unexpected loss). Inilah potensi kerugian tertinggi pada satu periode dan unit bisnis tertentu. Oleh karena itu, bank umum, BPR, dan perusahaan pembiayaan perlu segera mempertimbangkan untuk mengasuransikan gedung dari potensi risiko kebakaran, gempa, dan kebanjiran. Pada umumnya, bank hanya menutup asuransi kebakaran tanpa asuransi gempa dan banjir, padahal Indonesia di jalur Cincin Api.

Kelima, bank pun wajib membentuk cadangan terhadap kredit yang akan direstrukturisasi. Cadangan merupakan sebagian aktiva bank berupa aset likuid (liquid assets) seperti kas, piutang, dan aktiva lain yang dapat segera dicairkan, seperti giro, deposito, dan simpanan lain. Cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) itu bertujuan untuk melakukan antisipasi ketika terjadi penarikan dana nasabah besar-besaran.

Dengan bahasa lebih bening, bank wajib menerapkan manajemen risiko yang meliputi empat tahap, yakni mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan potensi kerugian. Sarinya, jauh-jauh sebelumnya semua lembaga, termasuk bank, terlebih di jalur Cincin Api, sudah mempertimbangkan dan menghitung potensi risiko kebakaran, gempa, dan banjir. Jumlah potensi risiko itu dapat menjadi acuan dalam menutup asuransi kebakaran, gempa, dan kebanjiran.

Jemput bola

Keenam, perusahaan asuransi hendaknya menjemput bola tanpa menunggu pengajuan klaim dengan mendata gedung serta rumah yang terkena gempa dan tsunami. Pastilah perusahaan asuransi akan mengeluarkan banyak biaya untuk membayar klaim asuransi.

Akan tetapi, potensi risiko itu dapat dihitung sebelumnya. Repotnya, tatkala ternyata perusahaan asuransi tak melakukan reasuransi potensi risiko itu ke perusahaan reasuransi. Padahal, sejarah mencatat gempa pernah menyapu Palu dan atau Donggala pada 1927, 1930, 1938, 1994, 1966, 1998, 2005, 2008, dan 2012.

Ketujuh, pelajaran berharga apa yang dapat dipetik oleh masyarakat? Harus diakui tingkat kebiasaan berasuransi (insurance habit) masih rendah di Indonesia. Sebagian besar rakyat Indonesia boleh dikatakan belum mengasuransikan rumah dari potensi kebakaran apalagi ditambah gempa dan banjir.

Tentu premi asuransi akan lebih tinggi daripada hanya asuransi kebakaran. Namun, ingat risiko yang akan terjadi akan jauh lebih tinggi. Hal inilah yang patut dicermati baik oleh perorangan maupun instansi di jalur Cincin Api.

Sungguh, gempa di Aceh, Singaraja, Padang, Yogyakarta, Lombok, Palu, dan Donggala menjadi pelajaran berharga bagi kita. Karena itu, OJK dan perusahaan asuransi dituntut untuk tiada henti melakukan literasi keuangan dan potensi risiko serta mitigasi risiko (bencana). Dengan melakukan ragam solusi alternatif, restrukturisasi kredit amat diharapkan dapat berjalan mulus untuk mendorong pemulihan ekonomi di Sulteng, terutama Palu dan Donggala.

Paul Sutaryono Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI


Kompas, 1 Maret 2019