Suatu paradoks dalam dunia pendidikan adalah bahwa guru meluangkan banyak waktu untuk mengajar para peserta didik, tetapi sayangnya tidak punya waktu untuk mengembangkan mutu mereka sendiri. Kebutuhan pengembangan guru ini disadari oleh para pemangku kepentingan seperti kepala sekolah dan guru sendiri, pembuat kebijakan pendidikan, pimpinan sistem pendidikan, orangtua dan siswa.

Di Indonesia, profesi pendidik masih ditandai rendahnya mutu dan kompetensi guru, bahkan setelah lebih dari satu dekade pelaksanaan program sertifikasi guru yang digawangi oleh UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.  Akibat langsung dari rendahnya mutu guru adalah prestasi peserta didik yang masih di bawah standar.

 

Studi mengenai kemampuan matematika yang diangkat dalam Kertas Kerja RISE (A Beatty dkk, Nov 2018) mencermati lima gelombang data dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) terhadap lebih dari 30.000 orang di 13 provinsi dan meneliti keterkaitan antara lama sekolah dan capaian belajar. Studi ini menemukan bahwa dalam masa 20 tahun terakhir, Indonesia sudah berhasil meningkatkan angka partisipasi sekolah, tetapi masih ada kesenjangan serius antara kemampuan matematika peserta didik dan apa yang seharusnya jadi capaian belajar sesuai dengan kurikulum.

Hanya 11 persen sampel yang telah lulus dari kelas XII (SMA/SMK) bisa menjawab soal-soal numerik yang seharusnya diperuntukkan kelas IV, seperti pembagian dua digit (56/84), pengurangan pecahan (1/3-1/6), dan desimal (0,76-0,4- 0,23). Temuan lain adalah kemungkinan lebih besar anak- anak dengan kemampuan numerik rendah berada di Indonesia timur, di daerah pedesaan, lebih berumur, dan laki-laki.

Temuan ini tentu menyentak dan membangkitkan keprihatinan kita terhadap permasalahan mendesak untuk membenahi mutu pendidikan. Lantas perhatian pun dialihkan pada rendahnya mutu guru. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang rendah merupakan tantangan besar. Rata-rata hasil UKG pada 2016 adalah 54,33 (SD), 58,25 (SMP), 61,74 (SMA), dan 58,30 (SMK). Dari sekitar 3 juta guru, masih ada sekitar 491.000 guru yang belum sarjana (Kompas, 28/1/2019) dan 736.000 guru honorer yang belum diangkat (Kompas, 14/2/2019).

Pengamatan di lapangan

Seiring dengan data capaian pembelajaran versi pemerintah seperti hasil UN dan UKG, studi RISE sudah memberikan gambaran makro terhadap profil belajar yang bisa membantu pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia untuk mencari solusi terbaik bagi reformasi sistem pendidikan. Studi-studi makro pendidikan pada umumnya dilakukan oleh tim ekonom yang menyajikan data pada tingkat nasional maupun daerah secara kuantitatif dan memberikan gambaran besar pada titik masukan dan luaran/capaian.  Data ini tentu sangat dibutuhkan untuk evaluasi dan penyusunan suatu kebijakan publik, terutama untuk negara sebesar Indonesia.

Indonesia bukan hanya besar, juga sangat beragam. Data dan temuan makro memberikan ringkasan dan pandangan helikopter terhadap situasi pendidikan di Indonesia. Pandangan helikopter ini masih menyisakan sejumlah pertanyaan, seperti mengapa ada permasalahan itu, bagaimana konteksnya, dan bagaimana strategi solusi yang relevan untuk setiap situasi. Penyusunan kebijakan publik untuk negara sekompleks Indonesia juga butuh tinjauan mendalam terhadap berbagai situasi untuk mendapatkan pemahaman mendasar terhadap konteks permasalahan dan strategi solusi yang relevan dengan kondisi masyarakat di setiap daerah.

Pengamatan dan penelitian di lapangan yang kami lakukan memberikan temuan yang memang tidak bertentangan dengan hasil studi-studi makro. Namun, wawancara mendalam dan pengamatan di ruang kelas di sejumlah daerah memberikan kekayaan perspektif yang belum terungkap dalam angka- angka. Survei, pengamatan kelas, dan wawancara terhadap 193 sampel guru di Provinsi Sumatera Utara, Riau, dan Jambi menunjukkan sebagian besar guru menggunakan media pembelajaran hanya untuk latihan yang menggunakan kemampuan berpikir tingkat rendah. Selain itu, sebagian guru sudah berupaya menggunakan pendekatan pembelajaran siswa aktif melalui metode-metode seperti pemelajaran kooperatif (cooperative learning).

Suasana belajar di beberapa kelas yang kami amati menggembirakan peserta didik dan menggugah semangat belajar melalui kelompok-kelompok belajar yang menyenangkan. Namun, proses belajar-mengajar masih berpusat pada guru dan belum mengarahkan peserta didik untuk berpikir lebih dalam dan tinggi.

Penelitian lain (Lie, Tamah, Trianawaty, Retno, Jemadi, 2018) yang didanai Kemristek-Dikti melalui skema Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi (PDUPT) menunjukkan, penguasaan bahasa dan persepsi 121 guru Bahasa Indonesia dan 149 guru Bahasa Inggris di Palembang, Yogyakarta-Sleman, Surabaya, Ruteng, Ambon, dan Saumlaki masih jauh dari memuaskan.  Hampir separuh sampel guru Bahasa Indonesia belum bisa menulis esai tiga paragraf dengan bahasa yang sesuai kaidah.  Bahkan, ada guru yang tidak mengerti makna kata "paragraf".  Kompetensi profesional pada sampel guru Bahasa Inggris juga masih rendah. Hanya 24 persen dari 149 guru Bahasa Inggris dalam studi ini mencapai angka 76.  Selain itu, ada tingkat variasi yang lebar dengan nilai tertinggi 95,8 dan nilai terendah 21,1.

Harapan perbaikan mutu guru

Memang secara nasional permasalahan mutu guru sangat kompleks. Lebih dari 400 lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) masih menunjukkan mutu yang beragam (Kompas, 14/2/2019). Pada tengah semester II-2018, program Pendidikan Profesi Guru (PPG) sudah dimulai dan saat ini angkatan III PPG Dalam Jabatan sedang berjalan. Secara bertahap dan sistematis, kita berharap strategi peningkatan mutu guru bisa mencapai hasil yang baik. Dari pengalaman kami di banyak daerah, guru pada umumnya menunjukkan sikap haus belajar dan senang mengikuti kegiatan-kegiatan pelatihan yang masih minim dilakukan dinas pendidikan setempat.

Temuan sangat menarik dari studi kami di lapangan adalah atmosfer belajar dan sikap peserta didik. Terlepas dari kompetensi guru yang masih belum memuaskan, 98-99 persen dari 3.457 siswa SD di tiga provinsi di Sumatera menyatakan mereka berbahagia di sekolah. Ketika ditanya bagaimana perasaan mereka di kelas, peserta didik mengungkapkan: "Senang. Suka belajar di sini. Ibu guru baik" (Harjanto dkk, 2017).

Temuan ini sejalan dengan temuan studi lain (PISA, 2015) bahwa kepala sekolah di Indonesia menggambarkan lingkungan belajar yang positif di sekolah di mana proses pembelajaran tidak terganggu oleh bolos siswa dan guru, kurang hormat siswa terhadap guru, alkoholisme, dan perundungan. Persepsi kepala sekolah di Indonesia lebih positif dibandingkan rekan mereka di negara peserta PISA yang lain. Peserta didik di Indonesia juga melaporkan iklim belajar positif lebih tinggi dibandingkan dengan di negara-negara OECD.

Peserta didik di daerah-daerah dalam studi kami menunjukkan penghargaan yang tinggi pada guru dan pengalaman bersekolah. Sikap positif ini mungkin saja karena faktor budaya yang menekankan kepatuhan dan kurang kritis pada otoritas. Pada sisi kebaikan, iklim positif ini bisa menjadi oasis dalam perjalanan perbaikan mutu guru. Kita masih bisa berharap para guru, terutama guru muda, bisa memperoleh energi positif dari sikap hormat dan kegembiraan peserta didik dan memotivasi mereka untuk terus meningkatkan mutu secara institusional ataupun mandiri.

Sementara kebijakan dan strategi makro peningkatan mutu pendidikan di Indonesia perlu terus dikawal untuk menyukseskan rencana pembangunan manusia dalam lima tahun mendatang. Perbaikan mutu guru memang harus dimenangi sekolah demi sekolah.