Jika aparat keamanan atau penegak hukum proaktif menegakkan hukum atau menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, mereka bisa dianggap memainkan kepentingan politik pemerintah terkait pemilu. Namun, jika aparat membiarkan dugaan pelanggaran hukum di masyarakat, mereka pun bisa dinilai lamban dan tidak menjalankan tanggung jawabnya secara benar.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Perwakilan peternak unggas rakyat mandiri dari seluruh Indonesia berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Selasa (5/3/2019). Mereka meminta pemerintah untuk melindungi peternak agar harga ayam hidup tidak terus mengalami penurunan. Pada Oktober 2018 harga masih Rp 19.000, sedangkan pada Februari 2019 harga ayam hidup turun menjadi Rp 17.373 per kg.

Kejadian terakhir yang menempatkan aparat dalam posisi tak mudah adalah penangkapan aktivis hak asasi manusia Robertus Robet. Pengajar Universitas Negeri Jakarta itu diduga menghina institusi TNI saat berorasi dalam aksi Kamisan, Kamis (28/2/2019), di depan Istana Presiden, Jakarta. Rekaman berisi orasi Robet menampilkannya menyanyikan pelesetan lagu Mars Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), sebelum berubah menjadi TNI. Lagu pelesetan itu kerap dikumandangkan pada era reformasi 1998.

Tidak ada larangan bagi Robet atau siapa pun warga negara Indonesia untuk menyampaikan pendapat. Jaminan itu jelas disebut pada Pasal 28E Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Ketentuan ini diperkuat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Kita memahami saat sejumlah lembaga mempersoalkan penangkapan Robet karena berorasi di acara Kamisan. Apalagi, "materi" yang dianggap sebagai menghina itu berulang kali terdengar di masyarakat. Namun, kita juga mengerti, jika polisi mengamankan, memeriksa, dan menetapkan Robet sebagai tersangka, karena ada aturan yang berpotensi dilanggar dan ada pihak lain yang merasa dirugikan. Polisi harus mengayomi masyarakat.

Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menegaskan, barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. UU No 9/1998 mengatur pula, kemerdekaan menyatakan pendapat di depan umum harus memperhatikan hak asasi orang lain, moral, peraturan yang berlaku, keamanan, dan ketertiban umum. Robet mengakui, dirinya tak berniat menghina institusi TNI dan meminta maaf atas perbuatannya itu. Polisi pun tak menahannya.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Hapus Pasal Karet UU ITE – Aktivis yang tergabung dalam Komite Rakyat Pemberantas Korupsi menggelar unjuk rasa di depan Istana Merdeka Jakarta, Selasa (8/1/2019). Mereka menyerukan untuk menghapus pasal karet dalam UU ITE atau merevisinya agar tidak digunakan sebagai senjata para koruptor untuk menyerang balik aktivis antikorupsi.

Ada sejumlah aturan yang berpotensi menimbulkan dilema pada penegakan hukum di negeri ini dan terkesan mengurangi hak rakyat dalam menyatakan pendapat, termasuk UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kedewasaan kita dalam bernegaralah yang dapat mengurangi ketegangan dan kegaduhan dalam politik nasional.