Pertanyaan itu saya ajukan dalam sebuah diskusi kelompok terfokus imajiner di alam lain yang dihadiri para almarhum, almarhumah koruptor. Latar belakang peserta diskusi heterogen. Ada mantan birokrat, kepala daerah, hakim, jaksa, polisi, politisi, tentara, pengacara, artis, dan ustaz. Komposisi jender seimbang, 7 laki-laki dan 5 perempuan.

Peserta diskusi ternyata mengetahui dan mengikuti perkembangan mutakhir beberapa skandal korupsi, ketidakefisienan dan ketidakefektifan belanja-belanja pemerintah pusat dan daerah  di Tanah Air. Mereka tahu persis kasus mangkraknya mesin parkir di Kota Bandung yang menghabiskan dana APBD Rp 80 miliar. Mantan wali kota Bandung dan wakilnya tak menunjukkan gestur penyesalan  atau rasa bersalah atas mangkraknya proyek pengadaan mesin parkir tersebut.

Kasus ditangkapnya Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar dan skandal  kasus korupsi dana hibah Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya juga jadi bahan gunjingan di antara mereka akhir-akhir ini.

Promotor shalat subuh berjemaah itu diduga mengorkestrasi pemotongan dana alokasi khusus (DAK) tahun fiskal 2018, yang dialokasikan untuk memperbaiki gedung SMP. Pada subuh, di depan halaman masjid, komplotan Bupati Cianjur  itu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat membagi dan mendistribusikan dana hasil korupsinya.  Nilai DAK yang disunat sekitar 14,8 persen dari total Rp 46,8 miliar.

Bukan sekali ini DAK dikorupsi. Risiko korupsi pengelolaan DAK ini memang tinggi. Sebelumnya, KPK juga menetapkan  Muhammad Yahya Fuad (Bupati), Cipto Waluyo (Ketua DPRD), Taufik Kurniawan (Wakil Ketua DPR) sebagai tersangka dalam skandal korupsi DAK Kabupaten Kebumen.

Di Tasikmalaya, komplotan Sekretaris Daerah (non-aktif) Abdul Kodir dituduh  mengorkestrasi penyaluran  dana hibah yang diduga merugikan keuangan negara puluhan miliar rupiah. Kasusnya sekarang sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Kota Bandung.

Integritas pribadi

Jawaban atas pertanyaan itu menarik dan cukup mengejutkan. Mungkin karena sudah berbeda alam dan  berjarak jauh dengan peristiwanya, mereka lebih jernih dan jujur dalam menyampaikan pendapat.

Misalnya ketika bicara tentang isu integritas pribadi, mereka sepakat tidak terlalu risau. Katanya, integritas itu bisa dikemas.  Dengan strategi komunikasi dan media yang tepat penjahat atau koruptor bisa didekonstruksi dan direkonstruksi menjadi orang baik bahkan menjadi hero.

Sebaliknya, orang baik dan orang jujur, dengan cara yang sama, bisa  dianggap sebagai penjahat, pengkhianat, dan lain-lain. Apalagi memori kolektif masyarakat kita sangat pendek, cepat  melupakan peristiwa koruptif.

Pada zaman disruptif sekarang, upaya menerapkan cara itu sangat mudah. Itulah mengapa ada mantan napi korupsi, narkoba, dan kejahatan seksual yang sukses dipilih dan terpilih lagi menjadi pejabat publik.

Tentang efek jera juga sama. Mereka mengamini  tidak mungkin sistem peradilan di Tanah Air  menimbulkan efek jera. Kemungkinan efek jera mudah ditaklukkan dengan  surplus fulus hasil korupsi.

Rangkaian proses peradilan— mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan penghukuman—di lembaga pemasyarakatan bisa dibeli. Dalam satu gebrakan, seorang terpidana bisa mendapatkan remisi puluhan bulan. Remisi seperti diobral.

Penjara atau rumah tahanan bisa disulap menjadi kamar indekos mewah. Juga terbuka peluang keluyuran menikmati hiburan malam, bertemu keluarga, atau menonton pertandingan olahraga.

Ihwal dosa atau karma itu  tidak menghalangi orang untuk korupsi. Mereka beranggapan, dosa bisa dicuci dengan berhaji, sedekah, dan lain-lain. Seorang peserta diskusi bercerita. Ketika mayatnya  hendak dishalatkan, ustaz yang memimpin prosesi menanyai jemaah, "Apakah mayat ini baik?" Serentak  jemaah  mengiyakan. Jemaah juga kompak  memaafkan ketika ustaz menanyakan, apakah mereka mau memaafkan kesalahan dan dosa almarhumah?

Sebagai ganimah

Menanggapi persistennya ketidakefisienan, ketidakefektifan, dan korupsi dalam pengelolaan APBN/APBD, seorang peserta diskusi sampai pada kesimpulan bahwa risiko hancurnya integritas, efek jera, dan dosa bukan faktor yang bisa mencegah korupsi.  Nilai dan anggapan  APBN/APBD sebagai ganimah (harta rampasan perang) yang bisa dibagi-bagi dan jadikan bacakan itulah yang membuat orang permisif mengorupsi dana APBN/APBD. Membelanjakan uang negara dengan tidak efektif dan efisien. APBN/APBD tidak lagi dianggap amanah yang instrumental untuk meraih tujuan bernegara, menciptakan kesejahteraan dan keadilan.

Sistem perencanaan dan penganggaran yang tidak terintegrasi secara horizontal—dari tahap perencanaan, penganggaran pelaksanaan, dan pelaporan (kinerja dan keuangan)—baik di tingkat pusat maupun  daerah plus tidak terintegrasi secara vertikal antara tingkat pusat dan daerah memperkuat serta menyuburkan nilai dan anggapan APBN/APBD sebagai ganimah.

Diskusi akhirnya sampai pada kesimpulan dan rekomendasi bahwa mengintegrasikan sistem perencanaan  dan penganggaran di pusat dan di daerah juga pusat dengan daerah merupakan jalan keluar untuk mengatasi persistennya ketidakefektifan, ketidakefisienan, dan korupsi dalam pengelolaan APBN/APBD.

Disepakati para peserta, diskusi berikutnya akan membahas kerja-kerja politik, teknokratik, dan partisipatoris dalam mengintegrasikan sistem perencanaan dan penganggaran dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.

Kendati seorang peserta sempat meragukan keefektifan upaya memperbaiki integritas pribadi, meningkatkan efek jera dan takut akan dosa/karma  sebagai faktor pencegah korupsi, tetapi sebagian peserta diskusi masih percaya dan menaruh harapan besar bahwa memperbaiki ketiga hal itu akan kontributif mencegah pemborosan, ketidakefektifan dan korupsi dalam APBN/APBD.