Pasangan 01 (Joko WidodoMa'ruf Amin) unggul atas pasangan 02 (Prabowo Subianto- Sandiaga Uno). Pasangan calon 01 mendapat 54,29 persen suara dalam hitung cepat Indo Barometer dan 54,24 persen dalam hitung cepat Litbang Kompas. Sementara itu, pasangan calon 02 mendapat 45,71 persen suara pada hitung cepat Indo Barometer dan 45,76 persen pada hitung cepat Litbang Kompas.

Apa prospek jangka pendek, menengah, dan panjang dari hasil pilpres ini jika hasil hitung cepat nanti sama dengan hitung resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU)?

Jangka pendek
Prospek jangka pendek dari hasil hitung cepat di atas kemungkinan terjadi di dua ranah, yaitu politik dan hukum. Untuk prospek politik, kita mengharapkan tidak terjadi gejolak politik yang signifikan pasca-pilpres 17 April 2019. Etos pemilu dan demokrasi yang harus dibangun adalah sikap siap menang dan siap kalah, baik pada level akar rumput maupun elite.

Pemilu adalah "referendum politik" sekaligus people power yang sesungguhnya. Dalam pemilu, rakyat menggunakan kekuasaannya untuk mencabut atau melanjutkan mandat yang diberikan kepada seorang presiden. Pemilu adalah mekanisme damai untuk menyelesaikan perbedaan pendapat soal kebijakan atau kemampuan calon dalam memimpin republik.

Oleh sebab itu, yang perlu dihindari adalah adanya aksi people power dalam pengertian demonstrasi, apalagi kerusuhan, untuk menyelesaikan sengketa pilpres, sekiranya ada. Reformasi telah melahirkan mekanisme damai dan konstitusional untuk penyelesaian sengketa pilpres lewat Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan pengalaman Pilpres 2014 dan sebelumnya, semua keberatan hendaknya dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Kiranya Mahkamah Konstitusi menjadi jalan yang (kembali) ditempuh oleh Prabowo-Sandiaga mengingat Prabowo telah mengalami hal yang sama pada 2014. Inilah prospek hukum yang akan kita saksikan di media massa dalam beberapa hari ke depan.

Jangka menengah
Prospek jangka menengah dari hasil Pilpres 2019 adalah rekonsiliasi antara kubu Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi. Merupakan suatu keuntungan bahwa calon presiden yang maju pada 2019 merupakan rival pada Pilpres 2014 sehingga kita dapat membayangkan sekuens politik yang akan terjadi.

Kita ingat bahwa pada 2014, rekonsiliasi Jokowi dan Prabowo berjalan cepat. Dimulai dengan kunjungan Jokowi ke Aburizal Bakrie yang saat itu Ketua Umum Golkar. Disusul kunjungan Jokowi ke rumah Prabowo di Kertanegara.

Puncaknya adalah kehadiran Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa pada acara pelantikan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden 2014-2019.

Lepas dari saling serang, sindiran, dan retorika kampanye yang keras selama tujuh bulan masa kampanye, sesungguhnya Jokowi memiliki hubungan yang baik dengan Prabowo. Jokowi beberapa kali mengunjungi Prabowo, termasuk makan nasi goreng dan naik kuda di kediaman Prabowo di Hambalang.

Prabowo juga pernah datang ke Istana Negara dan Istana Bogor. Di Istana Bogor, Prabowo bahkan memberikan keris kepada Jokowi sebagai simbol sokongan politik saat Jokowi sedang meniti keseimbangan politik.

Sampai di sini, sesungguhnya terbuka peluang besar bagi masuknya Gerindra ke dalam koalisi pemerintahan Jokowi- Amin. Hubungan baik Jokowi dan Prabowo menjadi alasan pertama masuknya Gerindra ke dalam pemerintahan Jokowi- Amin.

Di luar cerita saling kunjung antara Jokowi dan Prabowo di atas, jangan lupa Gerindra dan Prabowo-lah yang mengusung Jokowi menjadi calon gubernur DKI Jakarta bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Alasan kedua, hubungan Prabowo dan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI-P juga sesungguhnya cukup baik. Almarhum Taufiq Kiemas (suami Megawati) yang membuka jalan kembalinya Prabowo ke Tanah Air pasca-tumbangnya Orde Baru.

Prabowo juga pernah menjadi calon wakil presiden Megawati pada Pilpres 2009. Terakhir, Megawati masih kelihatan cair dan tertawa ketika bertemu Prabowo yang menandakan pintu terbuka untuk masuknya Gerindra dalam kabinet.

Jadi, bagaimana wajah kabinet Jokowi-Amin 2019-2024? Kita bisa bayangkan bahwa di luar sejumlah nama profesional, maka isinya adalah partai-partai politik pengusung 01 ditambah Partai Gerindra. Partai-partai ini memiliki wakil-wakil di DPR yang jumlahnya lebih dari cukup untuk menjamin dukungan politik yang dibutuhkan Jokowi-Amin dalam pembuatan undang-undang ataupun penyusunan APBN lima tahun ke depan.

Jangka panjang
Presiden Jokowi telah terpilih dua kali. Maka, pada 2024 kita akan memasuki era pasca- Jokowi. Siapa kandidat presiden yang akan menggantikannya? Hal itu tidak terlalu dini untuk diterawang agar kita dapat mempersiapkan diri lebih baik. Yang jelas, dalam pemilihan langsung, elektabilitas calon presiden menjadi penentu jumlah koalisi yang terbentuk, selain jumlah kursi DPR.

Siapakah sosok yang memiliki elektabilitas tinggi pada 2024? Jika berkaca dari pengalaman Pilpres 2014 dan 2019, menarik bahwa elektabilitas Prabowo relatif terjaga selama lima tahun. Bukan mustahil elektabilitas Prabowo bertahan sampai 2024. Jika itu terjadi, Prabowo adalah capres paling berpotensi pada 2024 karena hasil hitung cepat menunjukkan suara Gerindra naik dan menduduki peringkat kedua.

Sebaliknya, jika kita melihat dari perjalanan Jokowi, calon berikut yang berpotensi naik elektabilitasnya adalah para gubernur daerah strategis, seperti Anies Baswedan (DKI Jakarta), Ridwan Kamil (Jawa Barat), Ganjar Pranowo (Jawa Tengah), Khofifah Indar Parawansa (Jawa Timur), dan Nurdin Abdullah (Sulawesi Selatan/Indonesia timur).

Jika undang-undang yang mengatur Pilpres 2024 mirip dengan saat ini, para "pemilik" partai besar akan menjadi tokoh kunci selanjutnya. Di sini ada Megawati Soekarnoputri (PDI-P) dan Prabowo Subianto (Gerindra). Dalam kondisi ini bisa lahir dua atau tiga koalisi.

Koalisi pertama dipimpin PDI-P. Koalisi kedua dipimpin Gerindra. Sisanya bergabung dengan dua koalisi ini. Atau Golkar menjadi "kuda hitam" dengan membentuk koalisi ketiga. Ini hanya tercipta jika ada calon presiden populer yang didukung Golkar.

Alternatif lain adalah dua poros di mana Gerindra bergabung dengan PDI-P, misalnya Prabowo-Puan Maharani atau Prabowo-Prananda versus Golkar dan partai-partai lainnya. Manakah yang akan mewujud? Kita lihat saja nanti.