KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas

Pemilihan umum baru saja usai. Masyarakat sepertinya lega setelah berbulan-bulan kehidupan mereka diwarnai dengan obrolan soal pemilu. Salah satu yang membuat pusing adalah hoaks yang bertebaran. Jauh sebelum pemilihan, berbagai hoaks muncul di internet. Setiap hari sepertinya selalu saja ada hoaks. Dengan selesainya pemilu kemarin, kita boleh bangga karena bangsa ini bisa melewati satu ujian, yaitu mampu bertahan menghadapi gempuran hoaks.

Sejak akhir tahun lalu, media di dalam negeri dan luar negeri memberitakan hoaks yang makin bertebaran di dunia maya. Kecenderungan ini meningkat beberapa pekan menjelang hari coblosan. Data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menyebutkan, data hoaks pada Januari 2019 memperlihatkan peningkatan sebesar 61 persen. Data Kementerian Komunikasi dan Informasi menyebutkan, sebanyak 700 hoaks ditemukan sebulan menjelang pemilu.

Upaya-upaya masif menangani hoaks dilakukan lembaga seperti Mafindo, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi, dan tentu perusahaan teknologi. Mereka tak lelah memantau dan melaporkan sejumlah kabar hoaks yang bertebaran di berbagai platform. Tindakan menurunkan konten-konten hoaks, mengecek fakta, dan juga menyeret mereka yang membuat hoaks berhadapan dengan hukum setidaknya telah mengurangi penyebaran hoaks.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Mural kampanye antihoaks di bawah jembatan layang Rawa Buntu, Serpong, Tangerang Selatan, Senin (11/3/2019). Hoaks atau berita bohong makin marak terutama dengan semakin dekatnya pemilu serentak 17 April. Hoaks yang semakin masif dinilai merugikan dan merusak proses demokrasi serta memicu rusaknya kohesi sosial di masyarakat.

Dari beberapa lembaga diketahui bahwa hoaks menimpa calon presiden dan juga lembaga penyelenggara pemilu. Hoaks paling mengkhawatirkan berisi konten yang berusaha mendelegitimasi lembaga itu dan juga mempertanyakan hasil kerja mereka. Di samping itu, yang juga terlihat adalah konten-konten yang mengajak pemilih untuk tidak mencoblos atau yang akrab disebut golput.

Salah satu yang menjadikan maraknya penyebaran hoaks adalah kenyataan jumlah pemegang telepon pintar yang meningkat dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Data dari Tech in Asia menyebutkan, rata-rata jumlah pengguna telepon pintar aktif per bulan pada tahun 2014 sebanyak 38,3 juta dan pada tahun lalu telah mencapai 103 juta. Sudah tentu penyebaran informasi, termasuk hoaks, menjadi mudah dan cepat. Belum lagi berbagai platform media sosial makin marak digunakan sejak beberapa waktu lalu. Dua hal itu yang membedakan keruwetan dalam mengatasi peredaran hoaks pada pemilu kali ini dibandingkan pada tahun 2014.

Meski demikian, kita beruntung, kasus-kasus di sejumlah negara juga memberikan pelajaran untuk menangani penyebaran hoaks sehingga potensi perusakan berkurang. Sebagai contoh, perusahaan pengelola media sosial tidak menerima iklan dari luar negeri. Belajar dari kasus negara lain, iklan-iklan digital dari luar negeri kerap menjadi ajang untuk memengaruhi pemilih sehingga merusak demokrasi. Oleh karena itu, langkah menolak iklan digital dari luar negeri bisa mengurangi pengaruh kepentingan-kepentingan luar yang tak bisa dikendalikan.

Akan tetapi, langkah-langkah itu dinilai belum memadai. Dari beberapa perbincangan di kalangan pelaku industri digital, hoaks sengaja dibuat oleh beberapa kalangan dan menjadi semacam industri. Patut disayangkan pengaturan tentang mereka yang terlibat di dalam "pasukan digital" dari calon tidak memadai. Mereka dibiarkan liar dan mudah melakukan disinformasi. Di negara lain, mereka mulai diatur. Di Filipina dan India, mereka harus mendaftarkan akun-akun yang berafiliasi dengan calon. Bahkan, di Filipina, penyelenggara pemilu membatasi iklan-iklan di media sosial.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Kaus sebagai sarana kampanye antihoaks atau berita bohong dikenakan jajaran pejabat Polda Metro Jaya saat mendeklarasikan gerakan antihoaks di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (12/3/2018).

Langkah paling progresif tentu diambil oleh Inggris yang akan mendenda perusahaan teknologi jika mereka memuat konten hoaks, fitnah, dan disinformasi. Pemerintah juga akan membawa pengelola perusahaan media sosial ke meja hijau apabila diketahui tidak segera menurunkan konten berbahaya. Tindakan yang dilakukan Inggris sudah ditiru beberapa negara, seperti Australia dan Selandia Baru. Kabarnya, Uni Eropa juga akan mengambil langkah yang sama.

Pada masa depan, Indonesia masih perlu mengendalikan konten-konten yang berbahaya agar masyarakat mendapat informasi yang benar. Pemerintah perlu mengambil langkah yang strategis untuk memastikan penyebaran konten berbahaya jauh berkurang. Ketahanan masyarakat terhadap hoaks kali ini sangat baik. Namun, mereka harus dipastikan mendapat informasi yang benar dengan cara menekan informasi palsu, fitnah, dan konten berbahaya.


Kompas, 18 April 2019