Boleh jadi jauh sebelum Bantuan Hukum Timbal Balik ("Mutual Legal Assistance"/ MLA) ditandatangani  Menteri Hukum dan HAM RI Yassona H Laoly dengan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller- Sutter, 4 Februari 2019, aset ilegal  WNI yang disimpan di berbagai  lembaga keuangan Swiss sudah berpindah ke lain tempat. Pindah ke mana dan mengapa? Di mana sebenarnya aset  (dana, saham, properti, dan lain-lain) ilegal WNI bersemayam?

MLA itu mengatur bantuan hukum  tentang pelacakan, pembekuan, penyitaan, dan perampasan aset hasil kejahatan.

Dalam kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) yang baru lalu, kedua calon presiden bukan hanya mensinyalir adanya aset WNI senilai ribuan triliun rupiah yang berada di kawasan sekretif, melainkan mereka juga menjanjikan akan memburu (pelakunya) dan mengembalikan aset tersebut ke pasar modal/ keuangan domestik.

Mereka bahkan hendak menyitanya  menjadi aset negara. Masuk akal dan percayakah?

Akun dorman dan insafnya kawasan sekretif

Dipastikan aset WNI yang diduga ilegal itu pindah ke kawasan sekretif yang lain. Akhir tahun lalu, misalnya, diberitakan telah terjadi aliran dana senilai miliaran dollar AS yang diduga milik WNI dari Guernsey ke Singapura.

Di dunia ini ada 112 kawasan sekretif dengan derajat layanan  kerahasiaan beragam. Yang paling tinggi kerahasiaannya adalah Swiss. Hasil survei Tax Justice Network (TJN) menunjukkan, selama  2015-2018, Indeks Kerahasiaan Keuangan (IKK) Swiss meningkat dari  1.446,10 pada 2015 menjadi 1.589,57 kendati bobot skala global (global scale weight/GSW)-nya menurun dari 5,62 persen menjadi  4,50 persen.

GSW mencerminkan pangsa kontribusi kawasan tersebut terhadap pasar global jasa keuangan luar negeri.

Namun, Swiss termasuk kawasan sekretif yang mulai insaf. Keinsafannya bisa dilihat dari dua hal. Pertama, Swiss menandatangani The Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) tentang pertukaran informasi secara otomatis ihwal  informasi perpajakan/ keuangan (common report standard/CRS).  Kedua, Swiss juga mulai ketat  menerapkan Undang-Undang Antipencucian Uang.

Salah satu klausul  penting dalam penerapan UU Antipencucian Uang adalah implementasi prinsip kenali pelanggan  (know your costumer). Tindakan konkret Swiss dalam menerapkan prinsip ini adalah membuka ribuan akun dorman yang nilainya puluhan juta dollar AS. Para analis yakin nilai aset akun dorman ini jauh lebih besar dari yang dipublikasikan.

Langkah ini diambil sejak 2015. Kalau sampai 2019 akun dorman itu tak ada yang mengklaim, maka aset itu akan menjadi milik pemerintah federal Swiss.

Akun dorman itu akun yang sudah puluhan tahun tak aktif. Pemerintah Swiss mengundang para ahli waris yang merasa berhak atas akun dorman  itu untuk mengajukan klaim. Segera hubungi Ombudsman Swiss kalau mau mengklaim akun dorman itu. Ada beberapa nama atau warga Indonesia masuk dalam daftar akun dorman tersebut.

Keterlibatan Swiss dalam  konvensi pertukaran informasi secara otomatis dan kepatuhannya mengimplementasikan UU Antipencucian Uang jelas  akan mengurangi daya tariknya sebagai kawasan sekretif.

Bukan hanya Swiss yang insaf, Inggris juga. Peringkat kerahasiaan keuangan Inggris merosot dari posisi ke-15 menjadi ke-23. GSW Inggris menurun sedikit dari 17,39 persen menjadi  17,37 persen. Sementara kerahasiaan keuangan sembilan kawasan sekretif yang dikuasainya—Anguila, Bermuda, Kepulauan Virgin Britania Raya, Kepulauan Cayman, Gibraltar,
Guernsay, Isle of Man, Kepulauan Turks dan Caicos, dan Montserrat—bergerak ke arah yang berbeda: ada yang naik, ada juga yang turun.

Peringkat Anguila bergerak dari urutan  ke-63 menjadi ke-56,  Kepulauan Cayman dari urutan ke-5 menjadi  ke-3, Guernsey dari urutan ke-17 menjadi ke-10, dan Kepulauan Virgin Britania Raya dari urutan ke-21 menjadi ke-16. Sementara Gibraltar dari urutan ke-55 menjadi ke-83, Isle of Man dari urutan ke-32 menjadi ke-42, Kepulauan Turks dan Caicos dari urutan ke-68 menjadi ke-87, Jersey dari urutan  ke-18 menjadi ke-16, Bermuda dari urutan ke-34 menjadi ke-36, serta Montserrat dari urutan ke-92 menjadi ke-112.

Menurunnya peringkat kerahasiaan Inggris menunjukkan mulai  bekerjanya skema pertukaran informasi secara otomatis ihwal keuangan yang ditandatangani dan  mulai efektif berlaku sejak September 2017. Patut diduga terbitnya Paradise Papers juga memengaruhi turunnya peringkat kerahasiaan keuangan Inggris dan kawasan sekretif satelitnya.

Dinamika kawasan sekretif dan BEPS

Pergerakan aset ilegal antarkawasan sekretif itu berlangsung mudah dan cepat.  Nasabah bisa memindahkan aset ilegalnya  ke kawasan sekretif yang tidak atau belum menandatangani konvensi pertukaran informasi secara otomatis. Salah satunya Amerika. Peringkat kerahasiaan keuangan Amerika meningkat dari ketiga menjadi kedua  dengan IKK dari  1.254,80 menjadi 1.298,47.

Inilah urutan terbaru 20 kawasan paling sekretif sedunia: 1) Swiss, 2) Amerika, 3) Kepulauan Cayman, 4)Hong Kong, 5) Singapura, 6) Luksemburg, 7) Jerman, 8) Taiwan, 9) Uni Emirat Arab (Dubai), 10) Guernsey, 11) Lebanon, 12 ) Panama, 13) Jepang, 14) Belanda, 15) Thailand, 16) Kepulauan Virgin Britania Raya, 17) Bahrain, 18) Jersey, 19) Bahama, 20) Malta.

Ada  kawasan  yang baru masuk dalam daftar itu, yaitu: Taiwan, Belanda, Thailand, dan Malta. Dalam konteks persaingan antara kawasan sekretif kelihatannya Taiwan (peringkat ke-8) akan menyaingi Hong Kong (peringkat  ke-4). Sementara Thailand (peringkat ke-15) akan   menyaingi Singapura (peringkat ke-5). Taiwan dan Thailand, sampai Agustus 2017, belum tercatat sebagai penandatangan MCAA tentang CRS.

GSW-nya Amerika  juga meningkat dari 19,60 persen menjadi 22,30 persen. Ini menunjukkan pangsa kontribusi kawasan sekretif Amerika terhadap pasar global jasa   offshore financial paling besar di antara kawasan sekretif lainnya.

Delaware dan Nevada, dua kawasan sekretif yang paling penting di Amerika. Amerika tidak menandatangani MCCA tentang CRS meski sebenarnya CRS itu dikembangkan dari Foreign Account  Tax Compliance Act (FATCA)-nya Amerika.

Dengan FATCA itu, Amerika mencegah dan memberantas wajib pajaknya yang berada di luar negeri yang mengemplang pajak, tetapi pada saat yang sama mereka mengembangkan kawasan sekretif untuk orang asing. Kalau kecenderungan peningkatan kerahasiaan ini berlanjut, ada kemungkinan peringkat  kerahasiaan keuangan Amerika akan menggeser Swiss.

Kawasan sekretif menjadi lahan subur bagi tumbuh kembangnya base erosion and profit shifting (BEPS). BEPS itu modus penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan multinasional dengan cara memindahkan profit dari kawasan bertarif pajak tinggi ke kawasan bertarif pajak rendah.

Di sini kita mengenal istilah surga pajak perusahaan multinasional (multinational tax haven), yaitu yurisdiksi yang membuat  perusahaan multinasional tertarik mendirikan kantor pusat atau anak perusahaan karena rendahnya pajak dan kerahasiaan. Contoh kawasan sekretif yang masuk dalam kategori ini: Irlandia, Belanda, dan Singapura. Ini berbeda dengan kawasan sekretif konvensional seperti Bermuda, Kepulauan Cayman atau Jersey.

Kerugian finansial yang disebabkan praktik BEPS  berkisar antara 100 miliar dollar AS dan 250 miliar dollar AS per tahun. Korbannya  umumnya negara yang belum maju, termasuk Indonesia. Dalam bingkai kerja sama G-20, pemerintah kita  sudah berkomitmen ikut memerangi BEPS dengan menerapkan 15 aksi inklusif pengendalian BEPS. Dengan cara itu, praktik penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan multinasional lebih bisa dikendalikan.

Adili dulu, buru kemudian

Kalau ternyata aset ilegal itu lincah, mudah pindah, apakah penandatanganan MLA itu masih berguna dan efektif memerangi  korupsi dan kejahatan keuangan lintas batas?

Apa yang harus dilakukan agar MLA itu efektif ?

Pertama, selain dengan Swiss, tampaknya kita juga harus mengembangkan MLA dengan beberapa kawasan sekretif terkemuka lainnya, seperti Amerika, Kepulauan Cayman, dan Luksemburg. Karena belum "insaf" mengembangkan MLA dengan kawasan sekretif yang disebut belakangan itu pasti akan lebih sulit.

Kedua, ungkap dan adili orang  yang diduga menyimpan aset ilegal di kawasan sekretif. Pengungkapan dan pengadilan itu untuk membuktikan bahwa aset itu memang ilegal, diperoleh dengan cara-cara yang tidak sah. Penetapan ini bekal awal dan penting untuk memburu aset ilegal tersebut.

Untuk memulai langkah ini bisa dimulai dari publikasi dokumen  Panama Paper dan Paradise Paper. Ada banyak nama/warga Indonesia dalam kedua dokumen itu. Kita bisa  meniru Pakistan. National Accountability Bureau (NAB) Pakistan, semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di sini, menggunakan data Panama Paper untuk mengungkap dan mengadili Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif (NS) yang namanya tercantum dalam dokumen itu.

Dalam dokumen, NS disebut mempunyai properti di luar negeri senilai 10 juta dollar AS. Terbukti bersalah, NS dijatuhi hukuman berganda: dipenjara selama 10 tahun, aset propertinya disita,  didiskualifikasi dari jabatannya sebagai perdana menteri, dan dilarang berpolitik seumur hidup.

Kita bisa juga mengambil hikmah dari pengalaman Brasil menangani kasus korupsi Petrobras. Brasil sukses mengungkap dan mengadili pihak yang bertanggung jawab,  melacak dan mengembalikan aset hasil korupsi  yang dilarikan ke lembaga keuangan Swiss.

Sukses repatriasi aset Petrobras  dari Swiss juga dimulai dari diadilinya kasus ini. Penetapan pengadilan bahwa aset itu hasil kejahatan merupakan tiket Brasil untuk mengklaim aset Petrobras yang dilarikan ke Swiss. Keinsafan Swiss  juga ditunjukkan dalam kasus ini. Otoritas Swiss kooperatif dengan Brasil dalam  perburuan aset Petrobras.

Meski sudah sangat terlambat—sudah lebih dari 2 tahun sejak terbitnya dokumen Panama Paper (2016) dan Paradise Paper (2017)—aparat penegak hukum harus progresif mengusut pihak yang namanya tercantum dalam kedua dokumen itu.  Presiden Jokowi yang terpilih kembali sebagai presiden, versi penghitungan cepat Litbang Kompas, bisa lebih agresif mendorong dan mengorkestrasi pengusutan tersebut.

Secara terpisah dan mandiri KPK juga bisa melakukan hal yang sama.