Platform "gitu aja kok repot", alih-alih menggambarkan kepribadian yang menyepelekan persoalan, justru secara implisit menunjukkan bahwa selalu ada jalan keluar dalam segenap hal ketika kita punya kesanggupan mendekatinya dengan tidak tergesa-gesa, dengan sikap riang dan lapang dada. Banyak buku yang telah menghimpun humor-humor Gus Dur dan beliau sendiri berkesempatan memberikan kata pengantar cukup bagus untuk sebuah kitab klasik, Mati Ketawa Cara Rusia.

Tentu saja ranah politik adalah yang paling subur menjadi lahan lelucon, seperti ditulis Gus Dur pada pengantar itu, kata seorang humoris Amerika, "Saya berhati-hati sekarang, tidak banyak menyatakan lelucon. Yang sudah-sudah kalau saya kemukakan  sejumlah lelucon politik kepada Presiden
Reagan, ia akan mengangkat mereka pada jabatan penting dalam pemerintahan."

Hari-hari menjelang pilpres pekan ini,   menjadi penting mendekatkan kembali politik pada jangkar humor. Politik dengan dua kubu yang saling berhadapan semestinya dicairkan dalam percakapan-percakapan ringan, hangat, penuh kekeluargaan. Pada humor, maka sekutu latennya yang bernama hoaks tak lagi dapat tempat. Khitah humor acuannya bukan memompa adrenalin untuk menertawakan orang lain, melainkan menyuntikkan kesanggupan menertawakan diri sendiri.

Ini berbalikan dengan hoaks yang sedari awal diniatkan untuk mengacaukan fakta dan memprovokasi seseorang supaya menjatuhkan pilihan dalam politik atas dasar kebencian.

Hoaks dan humor tak ubahnya air dan minyak. Tak mungkin dipersatukan. Humor akan mengantarkan seseorang (dan bangsa) menemukan marwahnya yang luhur, sebaliknya hoaks hanya kian mempercepat terciptanya situasi gelap. Humor adalah suluh peradaban, hoaks sampahnya. Atau dalam metafora Bung Karno, humor itu api dan hoaks abunya.

Kita kehilangan tokoh serupa Gus Dur, yang pernyataan-pernyataannya sangat dalam tapi dirumuskan lewat bahasa yang mudah ditangkap kaum awam, lontaran-lontaran pemikirannya menunjukkan seorang yang sudah selesai dengan dirinya sehingga tak khawatir dicaci maki, sosok dengan keberpihakan kuat pada terwujudnya keindonesiaan yang adil, demokratis, dan non-diskriminatif.

Memeluk politik

Clifford Geertz membuat kategori orang beragama menjadi dua, "dipeluk agama" dan "memeluk agama". Kira-kira penjelasannya dalam nomenklatur "dipeluk agama" umat lesap dalam keyakinan iman membatu, tak ada lagi rongga untuk mempertanyakan sebuah dogma. Agama dijauhkan dari tawa sehingga pemeluknya cenderung keras, serius, dan mudah marah. Fundamentalisme  pada titik tertentu bermula ketika tawa, lelucon, dan olok-olok dianggap tak Ilahi. Agama jadi tertutup dan doktrinnya tak boleh disentuh kecuali oleh mereka yang dipandang punya otoritas.

Sebaliknya, dalam "memeluk agama", umat diberi kebebasan menafsir ulang ajarannya secara kontekstual  sehingga agama tampak membumi. Dalam medan politik, yang semestinya dikembangkan adalah semangat "memeluk politik", bukan "dipeluk politik". Dalam "memeluk politik",  politik tak lagi menakutkan, tetapi menjadi sebuah seni mengelola suara untuk dikembalikan lagi ke pemiliknya dalam wujud kebajikan publik, kebijakan yang berpihak  kepentingan umum.

Bom bunuh diri di Sibolga atau   serangan teroris di Selandia Baru terhadap umat Islam yang sedang shalat Jumat, atau demo berjilid-jilid yang menating SARA adalah contoh paling telanjang bagaimana sekawanan orang "dipeluk agama" dan tak sempat berpikir jernih soal motif politik di belakangnya yang didesain kelompok kepentingan kaum predator oligarkis.

Setelah mendengarkan pemaparan capres dan cawapres dalam debat yang ditayangkan televisi, satu hal yang hilang adalah kemampuan melempar joke segar dan humor mencerahkan. Baik pertanyaan maupun jawaban selalu disampaikan dalam langgam resmi, teknis, dan  lengkap dengan bahasa tubuh tegang. Suasana yang dibangun seperti dua musuh yang saling berhadapan saat Perang Badar. Saya masih ingat ketika Gus Dur mengkritik DPR sebagai taman kanak-kanak atau saat ditanya tentang modal yang mengantarkannya jadi Presiden RI, dengan ringan dijawab, "Modalnya dengkul dan itu pun dengkulnya Amien Rais". Semua tertawa dan kemungkinan besar Amien, yang saat itu stok humornya masih berlimpah, terpingkal-pingkal.

Bagi saya, pemilu itu adalah hajat demokrasi yang sudah seharusnya dirayakan  penuh keriangan. Bukan saling merisak apalagi melempar tuduhan serampangan. Pemilu bukan untuk memilih malaikat yang tak pernah keliru, atau memilih setan yang selalu salah, tetapi memilih manusia yang kadang salah dan sering juga benar, tinggal kita menakar siapa di antara kedua capres atau di antara sekian calon anggota Dewan itu yang tingkat kekeliruannya paling kecil, tak memikul beban gelap endemi sejarah dan paling sedikit dosa sosialnya.

Pilgub DKI Jakarta 2017 adalah contoh paling jelek yang menyimbolkan bagaimana politik kehilangan preferensi humanistiknya. Bagaimana agama dengan brutal diseret ke ruang publik hanya untuk menyalurkan nafsu kekuasaan tanpa melihat dampak trauma psikologisnya. Relasi sosial berantakan dan hubungan perkawanan  yang semula rekat seketika retak gara-gara berbeda pilihan.

Akal sehat

Akal sehat itu sesungguhnya terletak pada humor, bukan rumor, pada keterampilan menyampaikan paparan dengan metafora sehingga membuka  cakrawala  bukan logika  instrumental yang membelah realitas jadi hitam-putih dengan stigmatisasi dungu dan tak dungu pada mereka yang tak sehaluan pikiran. Kewarasan akal itu tautannya tidak pada sikap nyinyir, tetapi mental tegak lurus dengan kebenaran, kesederhanaan, dan kemauan bekerja keras.

Maka, pantas kalau filsuf Belanda , Johan  Huizinga, menyebut bahwa inti kebudayaan (agama) itu adalah permainan. Dalam Umberto Eco, The Name of The Rose, Aristoteles telah melekatkan  martabat filosofis pada tawa. Pada abad skolastik tawa dicurigai karena bisa mengoyak kekeliruan bernegara dan merobohkan  kemapanan beragama. Manusia sebagai Humo ludens (manusia yang bercanda). Jantung permainan itu sering kali dirumuskan dalam  humor. Pemain yang bagus adalah mereka yang paham aturan main, di tangannya permainan yang diperankannya itu tampak rileks, otentik, memukau, dan bisa dengan mudah  mengalahkan lawan-lawannya tanpa harus menyakitinya.

Lewat humor, argumentasi dan persuasi menemukan kematangannya. Dengan humor, seseorang bisa melakukan konfrontasi!